Perlu Perda Penentuan Tapal Batas Antarnagari
Rabu, 07 Januari 2009
Padang, Padek—Aroma konflik tapal batas antarnagari seakan tak mau beranjak dari Ranah Minang pascaotonomi daerah dan pembelakuan sistem pemerintahan nagari. Ketegangan demi ketegangan terus terjadi dan menjalar ke berbagai sudut nagari.
Tidak saja saling klaim kepemilikan tanah, tetapi sampai aksi bakar-bakaran seperti yang terjadi beberapa kali antara Nagari Saniang Bakar versus Muaro Pingai di Kabupaten Solok beberapa waktu lalu. Baru-baru ini, muncul lagi konflik antara Nagari Lubukbasung dan Nagari Kampung Pinang di Agam.
Bahkan ribuan massa dari Nagari Lubukbasung sudah sempat berkumpul untuk memasuki wilayah perbatasan. Warga nagari Kampung Pinang pun sudah berjaga-jaga, siap menghadapi segala kemungkinan. Untungnya polisi sigap dan segera menutup akses ke daerah konflik tersebut. Usut punya usut ternyata perang dingin itu sudah sejak lama. Padahal nagari itu dulunya satu keselarasan.
Dalam catatan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) terdapat beberapa nagari yang berpotensi konflik. Di antaranya Nagari Aua Kuning versus Aia Tabik di Payakumbuh, Nagari Pangkalan versus Kapur Sembilan di Limapuluh Kota, Palembayan versus Lawang di Agam, Padang Sibusuak versus Kampung Baru di Sawahlunto, Kataping versus Pasar Usang di Pariaman dan Siguntur versus Aka Lunang di Pessel dan lainnya.
Bahkan LSM Q-Bar menegaskan hampir semua nagari (543 nagari) berpotensi konflik sekalipun masih laten karena sampai sekarang batas antar nagari tidak jelas. Namun konflik laten bisa termanifestasi menjadi aksi kekerasan. Pagar Alam Masyarakat Sumbar (Palam) mengidentifikasi beberapa hal yang dapat memicu konflik tapal batas antar nagari. Di antaranya rebutan sumber daya alam di wilayah perbatasan, perbedaan antara wilayah administrasi adat dan nagari serta belum adanya aturan sebagai referensi tentang tata cara penetapan tapal batas tersebut.
Belum lagi, wilayah adat merupakan satu kesatuan adat yang tidak bisa ditarik secara administrasi. Sementara sistem pemerintahan nagari yang kini berlaku lebih bercorak administratif bukan keutuhan adat. Selain itu Q-Bar menilai penyelesaian yang dilakukan pemerintah selama ini cenderung pendekatan hukum formal dan mengabaikan pendekatan kultural. Padahal konflik dan klaim kepemilikan atas lahan bisa diurai karena umumnya mereka berasal dari nagari yang sama.
Saat ini Q-Bar terlibat dalam penyelesaian konflik Nagari Sumpur dengan Nagari Bungo Tanjung di Tanahdatar. Koordinator Bidang Pembaruan Hukum dan Kebijakan Q-Bar Nurul mengungkapkan dua nagari tersebut dulunya berasal dari satu nagari yakni Pariangan maka tidak mungkin tidak ada titik temu dan kesamaan. “Pasti ada titik temu. Asal usulnya kan sama. Kecuali konfliknya beda asal usul, misalnya warga trans dengan lokal Namun kita harus hati-hati karena resolusi konflik horizontal belum ada,” ungkapnya.
Kemudahan Akses
Rifai, Analis dari Palam mengungkapkan semangat pembentukan nagari lebih banyak dipengaruhi kemudahan akses pelayanan, jumlah penduduk dan potensi ekonomi nagari. Sistem sosial tidak menjadi pertimbangan utama dalam pembentukan nagari sehingga menimbulkan konflik tapal batas antar nagari.
“Berbeda dengan pembentukan desa yang nyaris tak ada persoalan tapal batas karena mereka tidak punya kekayaan bawaan seperti nagari. Kekayaan desa adalah kekayaan yang dibangun. Sementara kekayaan nagari adalah kekayaan bawaaan,” terang Rifai. Aktivis yang kini bergiat di Yayasan Cinta Mentawai (YCM) ini menegaskan pemerintah harus mengambil peran dalam menyelesaikan konflik tapal batas dengan mengedepankan format pengelolaan secara bersama antar nagari terutama yang menyangkut potensi ekonomi.
Format ini selain bisa meningkatkan kesejahteran masyarakat juga akan memudahkan dalam melakukan pengawasan dan perlawanan terhadap pihak-pihak yang ingin merusak nagari seperti cukong kayu. Menurutnya Pemprov Sumbar bisa menerbitkan peraturan gubernur (Pergub) tentang tata cara penetapan tapal batas tetapi dalam pelaksanaannya haru dilakukan secara partisipatif. Namun peran pemerintah hanya mengukuhkan tapal batas yang sudah disepakati bersama antar nagari.
Dengan pola ini katanya Badan Pertanahan Negara (BPN) tidak akan mengalami resistensi dari masyarakat saat melakukan pengukuran dan pemetaan batas-batas nagari. “Tapal batas yang sudah dikukuhkan pemerintah dan sudah diukur BPN harus dibuatkan penanda yang sifatnya permanen. Sebab penentuan tapal batas tidak lagi bisa dilakukan secara imajinatif dan berdasarkan petatah petitih,” jelasnya.
Sekretaris Umum Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar Muhammad Sayuti Datuk Rajo Pangulu juga menyampaikan hal yang sama. Menurutnya yang dibutuhkan bukan sekadar Pergub tetapi Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur penentuan batas-batas nagari. “Hal ini sudah sering kita sampaikan kepada pemerintah daerah tetapi tidak pernah digubris,” ungkapnya.
Meski bukan kewenangan provinsi terang Sayuti minimal daerah punya pedoman dalam penyelesaian konflik tapal batas tersebut. Namun pembahasan harus melibatkan semua pihak. Menurutnya jika konflik tapal batas ini tidak segera dituntaskan dampak ikutannya besar. Salah satunya investor bakal enggan masuk ke Sumbar. “Belum apa-apa sudah ada klaim dari berbagai pihak. Investor tidak akan pernah nyaman. Yang rugi masyarakat nagari,” tukasnya.
Muhammad Sayuti yang juga Sekretaris Komisi IV DPRD Sumbar ini menegaskan banyak referensi yang bisa digunakan untuk menentukan tapal batas di antaranya peta zaman belanda, peta nasional, keadaan alam dan sumpah dari jiha nan ampek (penunjuk yang empat, red) yang disumpah dengan Alquran untuk bakato bana (berkata benar, red). “Sayangnya, selama ini pemerintah tidak pernah memfasilitasi ninik mamak untuk menyelesaikan sengketa tapal batas ini secara adat,” ungkapnya.
Belum selesainya penetapan tapal batas ini lanjut Sayuti juga bakal mengganggu finishing penetapan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Sumbar. Sebab, ninim mamak yang mengerti potensi wilayah dan berperan dalam pengamanannya tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan RTRW. “Lembah Anai misalnya yang ditetapkan sebagai cagar alam dalam bahasa adatnya kan sama dengan rimbo rayo. Penetapan dan pengelolaannya harus melibatkan ninik mamak dan pemangku adat,” tukasnya. (geb)
Selasa, Januari 06, 2009
|
Label:
advokasi
|
This entry was posted on Selasa, Januari 06, 2009
and is filed under
advokasi
.
You can follow any responses to this entry through
the RSS 2.0 feed.
You can leave a response,
or trackback from your own site.
0 komentar:
Posting Komentar