Soal Tanah Ulayat, Lembaga KAN Perlu Diubah Kompas, Rabu, 16 April 2008 | 00:41 WIB
Padang, Kompas - Lembaga Kerapatan Adat Nagari perlu berubah peran agar tidak terjadi tumpang tindih fungsi dengan nagari, termasuk dalam tujuan mempertahankan keberadaan tanah ulayat di masing-masing nagari.
Demikian salah satu buah diskusi reguler ”Nagari dan Hak Ulayat” yang diselenggarakan oleh LSM Qbar, Padang, Selasa (15/4). Hadir dalam diskusi itu, aktivis HAM, pengamat hukum, dan aktivis LSM.
Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Andalas, Kurnia Warman, mengatakan, dengan kondisi peraturan yang berlaku sekarang di Sumatera Barat, wewenang Kerapatan Adat Nagari (KAN) menjadi sangat dominan, bahkan tumpang tindih dengan peran pemerintahan nagari.
”KAN memegang peraturan hukum pertanahan, sementara sudah ada institusi Badan Pertanahan Nasional atau BPN. Selain itu, setiap nagari mempunyai adat yang berbeda-beda. Kalau KAN tetap dipertahankan, bisa jadi ada kerancuan dalam penerapan peraturan adat di tiap nagari,” papar Kurnia.
KAN dibentuk di masa Orde Baru ketika seluruh nagari dijadikan desa. Resistensi masyarakat melahirkan lembaga bernama KAN yang menaungi persoalan adat nagari, mulai di tingkat kecamatan hingga kabupaten/kota. Setelah nagari kembali diakui, KAN ini dianggap perlu mengalami perubahan.
Kurnia mengusulkan agar lembaga KAN dibubarkan terlebih dahulu dan pengaturan tentang masalah tanah ulayat tiap nagari dikembalikan ke tiap-tiap masyarakat nagari. Apabila diperlukan, nantinya bisa dibuat sebuah lembaga baru bernama Kerapatan Nagari atau KN, yang beranggotakan wakil tiap kaum dan suku agar tidak terjadi dualisme lagi.
Nurul Firmansyah dari LSM Qbar, mengatakan, nagari mempunyai hak pengelolaan tanah ulayat yang baik karena setiap nagari mempunyai peraturan untuk melindungi agar tanah tidak lepas dari kaum atau suku pemiliknya.
”Hukum di tiap nagari ini penting untuk melindungi agar tanah tidak lepas ke tangan investor. Kalaupun digunakan untuk kepentingan investasi, maka investor hanya mempunyai hak pakai saja atau hak pengelolaan,” tutur dia.
Adi dari Komnas HAM mengatakan, tanah yang sudah terlepas dari masyarakat adat tidak selalu membawa kesejahteraan kepada masyarakat setempat.
Dia mencontohkan, pembukaan kebun sawit di lahan masyarakat tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan dan pengurangan angka kemiskinan masyarakat setempat. Dia mendukung proteksi terhadap tanah ulayat bagi masyarakat adat di tiap nagari.
Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya. Kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.
Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dan wilayah yang bersangkutan. (ART)
Selasa, September 23, 2008 | Label: advokasi | 0 Comments