KEDAULATAN PANGAN, MASIH JAUH DARI HARAPAN
Oleh : Mora Dingin
Konsep kedaulatan pangan baru dikenal sejak tahun 1996 untuk merespon ancaman Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kepada negara-negara miskin dalam menyediakan makanan pokok kepada penduduknya. Di populerkan pertama kali oleh organisasi petani Internasional La Via Campesina saat Deklarasi Tlaxcala di Mexico, kedaulatan pangan mengacu kepada aspek pengambilan keputusan secara berdaulat ditingkat nasional (lokal) dalam soal ketahanan pangan.
Intinya adalah bahwa urusan pangan menekankan kepada keputusan pemerintah nasional (lokal) bukan kepada badan perdagangan internasional seperti WTO. Sedangkan defenisi lengkap kedaulatan pangan adalah terumus dalam deklarasi akhir Worl Forum On Food Sovereignty di Havana, Kuba, lima tahun kemudian .Kedaulatan pangan adalah instrumen untuk menghapus kelaparan, kurang gizi serta untuk menjamin ketahanan pangan yang berkelanjutan bagi semua orang.
Kedaulatan pangan juga merupakan hak rakyat untuk menentukan kebijakan dan strategi sendiri atas produksi, distribusi dan konsumsi pangan yang berkelanjutan yang menjamin atas hak pangan bagi seluruh penduduk bumi berdasarkan produksi bersekala kecil, menengah menghargai kebudayaan lokal dan keberagaman kaum tani dan nelayan. La Via Campesina sendiri merumuskan kedaulatan pangan adalah sebuah hak rakyat suatu negeri atau negara dalam menetapkan kebijakan pertanian dan pangannya.
Kedaulatan pangan juga menentukan sejauh mana rakyat ingin memenuhi sendiri kebutuhan pangannya, dan untuk menolak dumping produk impor ke dalam pasar domestik. Kedaulatan pangan tidak menegasikan perdagangan, namun lebih mempromosikan formulasi kebijakan perdagangan dan praktek yang melayani hak rakyat untuk produksi pangan berkelanjutan yang aman, sehat dan ramah lingkungan.
Tikus Mati di Lumbung Padi
“Tikus mati di lumbung padi” mungkin ungkapan ini lah yang cocok untuk menggambarkan kondisi keberadaan pangan di negeri ini. Suatu ironi yang sangat menyedihkan dimana negara agraris yang tanahnya subur dan hasil alam yang berlimpah ruah, namun krisis pangan terjadi dimana-mana, sehingga tak asing lagi bagi kita di beberapa daerah timbul gizi buruk dan derita kelaparan.
Akhir-akhir ini menjadi sebuah pembicaraan yang hangat diberbagai media dimana baru dalam beberapa bulan tahun 2008 berlalu harga sebagian besar barang kebutuhan sehari-hari melonjak dengan tajam dan fenomena ini sudah seperti penyakit akut yang berulang setiap tahun. Di beberapa pasar tradisional semua kebutuhan pokok melonjak seperti halnya di pasar tradisional Pekanbaru. Misalnya, harga minyak goreng menembus Rp.13 ribu/kg. dari sebelumnya Rp.11 ribu/kg, minyak goreng kemasan yang biasanya di jual Rp.12 ribu/liter kini di jual 12.500/liter. Harga cabai merah sempat mencapai level tertinggi yaitu mencapai 40 ribu/kg, sementara sebelumnya Rp 20 ribu/kg (Riau Pos, 6/3/2008) begitu juga halnya dengan kebutuhan pokok lain seperti susu, gula pasir, telur ayam, dan dangin, semuanya naik.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula, mungkin istilah ini lah yang tepat menggambarkan keadaan rakyat kecil. Dimana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sudahlah sulit ditambah lagi dengan naiknya harga berbagai kebutuhan pokok, sungguh memang malang nasib simiskin. Masih segar dalam ingatan kita beberapa bulan yang lewat seiring dengan kebijakan pemerintah untuk mengkonversi pemakaian minyak tanah ke gas, justru di pasaran harga tabung gas dan isinya meroket naik. Di beberapa daerah seperti Jakarta misalnya, yang isi 12 kg mencapai Rp. 700 ribu-750 ribu. Setelah itu barangnya pun susah untuk didapat ( Kompas, 15/04/2008).
Melihat kondisi diatas memberikan sebuah gambaran bagi kita betapa tidak berdayanya bangsa ini. Sebuah bangsa yang penduduknya besar dan potensi alamnya melimpah, namun ketersedian akan kebutuhan pangan membelenggu rakyatnya. Lalu timbul sebuah pertanyaan bagi penulis, mau kita kemanakan harga diri bangsa ini? Karena terciptanya kedaulatan pangan akan menjamin tetap terjaganya keutuhan suatu bangsa dan sebaliknya ketika kedaulatan pangan terancam maka akan mengakibatkan kehancuran peradaban suatu bangsa.
Masih Jauh Dari Harapan
Bila kira runut lagi kebelakang arti sesungguhnya kedaulatan pangan.Timbul sebuah pertanyaan bagi penulis, sudahkah bangsa kita ini berdaulat atas pangan? Menurut hemat penulis meski kita sudah merdeka sejak 62 tahun yang silam untuk urusan pangan bangsa kita ini belum berdaulat, masih jauh dari harapan.
Ketersedian pangan yang cukup dan terjangkaunya daya beli masyarakat terkait dengan menegakkan kedaulatan pangan. Namun kedaulatan bangsa Indonesia dalam urusan pangan masih lemah sebab pihak asing begitu murah mendikte pemerintah Indonesia dalam kebijakan pangan. Akhirnya jalan pintas yang diambil oleh pemerintah dalam mengimpor kebutuhan pangan telah menodai terciptanya kedaulatan pangan. Ketergantungan pangan kepada pihak luar di tengah kesuburan lahan Indonesia menunjukkan stigma bangsa yang malas dan etos kerja yang lemah. Ini juga memperjelas bagi kita kegagalan negara dalam mengelola sumber daya manusia Indoneasi untuk meningkatkan produktifitas hasil pertanian.
Kedaulatan pangan harus dipahami bukan hanya sekedar sewasembada pangan atau setiap orang dari sabang sampai marauke harus menanam satu batang padi tetapi bagaimana bangsa Indonesia juga bisa menjadi exsportir. Karena ini nanti menunjukkan jati diri bangsa Indonesia di mata dunia sebagai negara yang punya potensi di bidang agraris. Merdeka atau berdaulat atas pangan merupakan bentuk kebebasan, rasa hormat dan harga diri yang harus ditegakkan. Ini juga menyangkut tumbuhnya roh patriotisme kebangsaan di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Diharapkan kepada pemerintah untuk melepaskan jeratan bangsa ini dari importir kebutuhan pangan serta untuk tegaknya kedaulatan pangan di negeri ini, maka pemerintah harus sungguh-sungguh melakukan revitalisasi bidang pertanian jangan hanya sebatas janji-janji saja, karena rakyat sudah muak dengan semua itu, dengan obralan janji melulu, sekarang rakyat hanya butuh tindakan yang nyata. Perlu mejadi perhatian bagi pemerintah bahwa permasalahan pemanasan global juga menjadi tantangan tersendiri bagi kelangsungan revitalisasi pertanian di negeri ini. Setelah itu pemerintah harus berpihak kepada rakyat kecil tak terkecuali pada petani, dimana pemerintah harus melindungi petani dari liberisasi perdagangan, sehingga kaum petani tidak selalu merasa dirugikan.
Hal yang sangat ironis juga, bagaimana generasi penerus bangsa ini bisa jadi maju kalau kekurangan gizi karena krisis pangan.Bagaimanapun kita memang tidak bisa meletakkan beban ini hanya di atas pundak pemerintah saja, tapi itu juga tak lepas dari tanggungjawab kita bersama. Moga kedepan keberadaan kebutuhan pangan di negeri ini akan bisa berdaulat. Semoga ***
Penulis adalah Mahasiswa FISIP UNAND dan Staf Pembaruan Hukum dan Kebijakan, Qbar
Senin, November 10, 2008 | Label: advokasi | 0 Comments