tag:blogger.com,1999:blog-86515265496515099552024-02-07T02:52:17.923-08:00Nurul FirmansyahDALAM REFLEKSI-KONTEMPLASIUnknownnoreply@blogger.comBlogger23125tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-45246701549279110522009-03-16T21:00:00.000-07:002009-03-16T21:03:41.047-07:00Mengapa Wanita Menangis ?Oleh<br />Sepri Andi (singgalang)<br /><br />Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya pada ibunya. “ Ibu, mengapa ibu menangis ?”. ibunya menjawab, “ sebab aku wanita”. Sampai kemudian si anak anak itu tumbuh remaja, ia tetap bertanya-tanya, mengapa wanita menangis. Hingga pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada tuhan, “ya allah, mengapa wanita mudah sekali menangis ?”<br /><br />Dalam mimpi. Seolah tuhan menjawab, “ saat kuciptakan wanita, aku membuatnya menjadi sangat utama. Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur. Kuberikan wanita kekuatan untuk melahirkan dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walau kerap berulang kali ia menerima cerca dari anaknya itu.<br /><br />Kuberikan keperkasaan yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah saat semua orang sudah putus asa. Kepada wanita, kuberikan kesabaran untuk merawat keluarganya walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah.<br /><br />Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih saying untuk mencintai semua anaknya dalam kondisi dan situasi apapun. Walau acapkali anak-anaknya itu melukai perasaan hatinya. Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang mengatuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.<br /><br />Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya melalui masa-masa sulit dan menjadi pelindung baginya. Sebab bukannya tulang rusuk yang melindungi setiap hari dan jantung agar tak terkoyak.<br /><br />Kuberikan kepadanya kebijaksanaan dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya. Walau seringkali pula kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suaminya agar tetap berdiri sejajar, saling melengkapi dan saling menyayangi.<br /><br />Dan akhirnya kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya air ini adalah air mata kehidupan”.Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-4871519605129767582009-02-10T20:37:00.000-08:002009-02-12T23:06:44.182-08:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuotWYoWv0TTZ7gdGkMPzbRE-av3UGbwEEB_Ul8_4c8FzfXid8SwAtUJEU2n6wVzstPvvrEomd5E-QXxGpOsNa8Exln3NeRyUSH9fFr6pXI70iZDcvip9tJnVYVvLHWErbtpGLM7Cj40U4/s1600-h/DSC00381.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 225px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuotWYoWv0TTZ7gdGkMPzbRE-av3UGbwEEB_Ul8_4c8FzfXid8SwAtUJEU2n6wVzstPvvrEomd5E-QXxGpOsNa8Exln3NeRyUSH9fFr6pXI70iZDcvip9tJnVYVvLHWErbtpGLM7Cj40U4/s400/DSC00381.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5301394774123483938" /></a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-13116314495137194302009-02-09T22:43:00.000-08:002009-02-09T22:46:02.836-08:00Konflik Perkebunan Aie Maruok, Pasaman BaratKronologis Kasus<br /><br />Pengantar<br /> <br />Kampung Air Maruap secara administrasi berada dalam Jorong VI Koto Nagari Kinali Kab. Pasaman Barat. Sedangkan secara adat merupakan salah satu wilayah adat berdasarkan territorial dan geneologis dalam kenagarian Kinali, dimana masing-masing kampung memiliki ninik mamak yang dituakan secara adat. Di Kampung Air Marup yang dituakan secara adat adalah Tenku Imbang Langit sebagai ninik mamak dan sekaligus sebagai Hakim Tongga di Kenagarian Kinali. Secara adat di Kinali berlaku “Adat Babingkah Tanah”, artinya tanah ulayat di Kinali telah terbagi kepada masing-masing Ninik Mamak dan berada dibawah penguasaannya sesuai dengan wilayah adatnya (kampung). <br /> <br />Tanah ulayat Imbang Langit secara adat Kinali berada di Kampung Air Maruap (Kampung Imbang Langit) dengan batas sipadan digambarkan sebagi berikut : arah Lereng Gunung Pasaman ke utara berbatas dengan Datuak Tan Baraik Lubuk Lanur, Teuku Daulat Parit Batu dan ke Barat berbatas dengan IV Koto dan Langgam, ke timur Gunung Pasaman”( berdasarkan surat pernyataan batas tanah ulayat antara Luhak Anam Koto dengan Langgam menurut adat Kinali tanggal 18 Juli 1977). Kemudian diperkuat dengan surat pernyataan batas tanah antara Luhak dengan Langgam menurut adat Kinali pada tanggal 1 Mei 985 dengan perincian sebagai berikut :<br /> <br />a. Arah ke Gunung Pasaman dari Muaro Anak Aie Pauh (di dekat perbatasan antara kampung Aia Maruok VI Koto dengan Kampung Batang Bamban Langgam) ada 6 buah patok batas menurut pituah adat lamo pusako using, arah ke laut dari Muaro Anak Aie ada 8 buah patok batas menurut adat lamo pusako using”. <br />b. Arah Ke laut dari Muaro Anak Aie Pauh tersebut di atas ada 8 buah patok batas menurut adat lamo pusako usang.<br /> <br />B. Posisi kasus Tanah Ulayat Imbang Langit <br /> <br />Kasus tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap Nagari Kinali Kab. Pasaman Barat, merupakan konflik tanah ulayat yang pada awalnya diklaim oleh Pemda Kabupaten Pasaman sebagai tanah negara bekas Erfacht Verponding 372 sebagian di Kampung Air Maruap, selanjutnya dicadangkan sebagai lahan untuk perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan kebun inti dan plasma seluas 800 Ha di Kampung Air Maruap. Konflik ini dalam perkembangannya menimbulkan banyak permasalahan dengan melibatkan banyak pihak sehingga kemudian berujung pada tindakan kriminalisasi oleh Polres Pasaman Barat terhadap masyarakat dan Ninik Mamak Kampung Air Maruap. <br /> <br />Dengan kronologis permasalahan sebagai berikut :<br /> <br />1. Bahwa sekitar tahun 1992, sawah-sawah masyarakat Kampung Air Maruap (cucu kemenakan Imbang Langit) dan Durian Kandang yang telah dikeluarkan dari kebun inti PTPN VI pada tahun 1985 karena tidak termasuk dalam areal erfacht maatchappij ophir (Keputusan Panitia B), tergusur kembali dengan keberadaan PT. Tunas Rimba membuka perkebunan sawit di Kampung Air Maruap, hal mana atas dasar tanah negara Erfacht Verponding 372 sebagian yang di Kampung Air Maruap;<br /> <br />2. Bahwa masyarakat yang tergusur oleh PT. Tunas Rimba, kemudian dilakukan pendataan oleh BPN TK II Pasaman, diketahui Camat Pasaman dan Kepala Desa VI Koto Utara, dimana pada tanggal 19 September 1995 daftar nama masyarakat tergusur tersebut telah dilaporkan Ninik Mamak Kampung Air Maruap dan Durian Kandang Desa VI Koto Utara Kec. Perwakilan Pasaman ke Pemda TK II Kab. Pasaman; <br /> <br />3. Bahwa pada tanggal 26 Mei 1996, Bupati Daerah TK II Pasaman mengeluarkan Surat Keputusan No. 025/1276/Perak-1996, perihal pencadangan lahan untuk perkebunan kelapa sawit pada lokasi tanah Erpacht Verponding 372 sebagian di Kampung Air Maruap Kec. Kinali, dengan perincian sebagai berikut :<br /> <br />- Seluas ± 200 Ha untuk kebun Inti PT. Tunas Rimba<br />- Seluas ± 100 Ha untuk kebun plasma DPRD Pasaman<br />- Seluas ± 100 Ha untuk kebun plasma Kodim 0305 Pasaman<br />- Seluas ± 400 Ha untuk kebun plasma masyarakat<br /> <br />4. Bahwa pada tanggal 27 Mei 1996, Bupati Daerah TK II Kab. Pasaman menetapkan nama-nama peserta plasma perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan pada lokasi tanah negara bekas Erpacht Verponding 372 sebagian di Kampung Air Meruap dengan Surat Keputusan No. 188.45/348/BUP-PAS/1996, kemudian dirubah dengan Surat Keputusan No. 138.45/77/BUP-PAS/1996 pada tanggal 31 Juli 1996, memuat 217 orang teridiri dari 47 orang anggota DPRD TK I Sumbar periode 1992-1997, 47 orang anggota DPRD TK II Pasaman periode 1992-197, 73 orang keluarga Makodim 0305 Pasaman dan 50 orang dari masyarakat;<br /> <br />5. Bahwa pada tanggal 23 Juli 1997, KUD Saiyo Air Gadang dengan Bank Nagari Cab. Simpang Empat membuat persetujuan membuka kredit KKPA untuk pembangunan kebun kelapa sawit di areal plasma Keltan. Air Maruap seluas 600 Ha dengan nominal Rp. 19.730.179.600,00. Sedangkan penggerjaannya akan dilakukan oleh PT. Tunas Rimba selaku kontraktor sesuai dengan perjanjian kerjasama pada tanggal 4 Agustus 1997;<br /> <br />6. Bahwa pada tanggal 13 Juli 1998, PT. Tunas Rimba menyatakan menarik diri dari pekerjaannya karena adanya gangguan dari masyarakat Desa Durian Kandangan, Air Maruap dan masyarakat dari orang-orang Talu. Tetapi hingga tanggal 20 Desember 1998, PT Tunas Rimba masih mengerjakan perawatan tanaman di areal plasma anggota DPRD TK I Sumbar dan DPRD TK II Pasaman seluas 200 Ha, selanjutnya diserahkan kepada kepada Kelompok Tani Air Meruap, terhitung sejak tanggal 1 Januari 1999; <br /> <br />7. Bahwa pada tanggal 6 Mei 1999, Bupati Daerah TK II Kab Pasaman mengeluarkan surat keputusan No. 188.45/1718/BUP-PAS/1999 tentang perubahan sebagian nama peserta plasma perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan pada lokasi tanah negara bekas erpach verponding No 372 sebagian di Desa VI Koto Utara Kec. Kinali. Dimana nama peserta plasma seluruhnya berjumlah 335 orang, terdiri dari 47 orang anggota DPRD TK I Sumbar dan 47 orang DPRD TK II Pasaman, 176 orang masyarakat kampung Air Maruap (anggota Kodi), 36 masyarakat di Kampung Durian Kandang, 29 orang masyarakat di Kampung Langgam, dengan luas lahan masing-masing 2 Ha;<br /> <br />8. Bahwa sampai pada tahun 2000, kebun plasma kelapa sawit Keltan. Air Maruap seluas ± 600 Ha yang terealisasi menjadi kebun (berisi sawit) diperkirakan hanya seluas ± 165 Ha, sedangkan sisanya terlantar dan menjadi rimba kembali, kemudian diolah dan digarap kembali oleh masyarakat (anak cucu kemenakan Datuk Imbang Langit) Kampung Air Maruap menjadi kebun kelapa sawit;<br /> <br />9. Bahwa pada tanggal 8 Mei 2000 Bank Nagari, PTPN VI dan KUD Saiyo Air Gadang mengadakan rapat pembentukan Tim inventarisasi dan pengukuran ulang lahan plasma Keltan. Air Maruap Unit sawit KUD Saiyo Air Gadang (areal 200 Ha dan 400 Ha), karena banyaknya terjadi permasalahan dalam pengelolaan perkebunan plasma kelapa sawit Keltan. Air Maruap (masalah lahan dan kredit macet); <br /> <br />10. Bahwa pada tanggal 23 Juni 2007, Drs H. BGD Letter mewakili Mantan Anggota DPRD Prop Sumbar dan Drs. Jufri Hadi mewakili Mantan Anggota DPRD Kab. Pasaman periode 1992-1997, menyurati Pimpinan Cab. Bank Nagari BPD Simpang Empat, perihal mohon penghapusan bunga kredit kebun sawit mantan anggota DPRD Kabupaten Pasaman dan mantan angota DPRD Propinsi Sumbar peride 1992-1997, dengan alasan belum pernah sepersen pun menerima hasil dari lahannya seluas 200 Ha dan kondisi lahan tersebut berisi pohon sawit hanya 30 %, sisanya 70% kembali menjadi rimba dan tidak ada pohon sawitnya;<br /> <br />11. Bahwa pada tanggal 3 Juli 2007, Pengurus Kelompok Tani Air Maruap pimpinan Maesar mengirimkan surat kepada BPD Simpang Empat yang pada intinya persetujuan pindah hak, khusus areal lahan DPRD TK I dan TK II seluas 200 Ha di areal Keltan Air Maruap Kec. Kinali;<br /> <br />12. Bahwa pada tanggal 20 November 2007, Drs H. BGD Letter mewakili Mantan Anggota DPRD Propinsi Sumbar dan Drs. Jufri Hadi mewakili Mantan Anggota DPRD Kab. Pasaman periode 1992-1997 mengirimkan surat Ketua KUD Saiyo Air Gadang untuk memberitahukan jual beli kebun sawit miliknya kepada CV. Tiara Jaya dan pengelolaan selanjutnya diserahkan kepada CV. Tiara Jaya. <br /> <br />13. Bahwa pada tanggal 23 November 2007, KUD Saiyo Air Gadang mengirimkan surat No. 46/KUD-SAG/US/1107, kepada Pengurus Kelompok Tani Air Meruap, perihal pemberitahuan pengelolaan kebun Air Maruap yang pada intinya meminta kepada Pengurus Kelompok berserta jajaran pekerja lapangan untuk menghentikan pengelolaan kebun kelompok tani Air Meruap, khusus areal DPR seluas 200 Ha karena sudah menjadi milik CV Tiara Jaya dan pengelolaannya langsung ditangani oleh CV. Tiara Jaya.<br /> <br />14. Bahwa pada tanggal 27 November 2007, Ninik Mamak Air Maruap mengirimkan surat kepada Drs. H. Djufri Hadi mantan Anggota DPRD Kab. Pasaman periode 1992-1997 dan Drs. H. Bgd. M. Leter, mantan anggota DPRD Prov. Sumbar periode 1992-1997, yang pada intinya meminta mencabut kembali jual beli atas kebun sawit unit masyarakat yang berjumlah 100 Ha kepada CV. Tiara Jaya karena penjualan dilakukan tidak melalui kelompok unit kebun sawit masyarakat Air Meruap; <br /> <br />15. Bahwa pada tanggal 10 Desember 2007, Bank Nagari menyurati KUD Saiyo Air Gadang dan meminta pembatalan surat No 46/KUD-SAG/US/1107 tertanggal 23 November 2007, karena belum adanya penyelesaian kewajiban kredit kepada Bank Nagari dan sertifikat masih agunan kredit sehingga secara hukum CV. Tiara Jaya tidak berhak atas lahan areal tersebut, selanjutnya pada tanggal 11 Desember 2008, KUD Saiyo Air Gadang mengirimkan pembatalannya surat No 46/KUD-SAG/US/1107 kepada CV. Tiara Jaya dan meminta menghentikan pengelolaan kebun Keltan. Air Meruap terutama areal DPRD seluas 200 Ha; <br /> <br />16. Bahwa pada tanggal 12 Desember 2007, Bank Nagari Cab. Simpang Empat mengeluarkan surat Nomor : SR/1053/SE/CL/12-2007 kepada KUD Saiyo Air Gadang, perihal Sertifikat Hak milik (SHM) Keltan. Air Maruap yang pada intinya disampaikan SHM anggota Keltan. Air Maruap yang telah diterbitkan BPN Lubuk Sikaping dan telah diterima Bank Nagari Cab. Simpang Empat sebanyak 94 Persil dengan perincian 47 persil Mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan 47 Persil Mantan Anggota DPRD TK I Sumbar.<br /> <br />17. Bahwa pada tanggal 13 Desember 2007, Ninik Mamak Air Meruap mengirmkan surat kepada Bupati Pasaman yang pada intinya meminta Bupati Pasaman memfasilitasi penyelesaian kebun masyarakat Air Meruap terutama areal unit mantan anggota DPRD Pasaman periode 1992-1997 karena lahan yang diperjualbelikan merupakan kebun inti yang telah dikuasai masyarakat bukan lahan anggota DPRD;<br /> <br />18. Bahwa pada tanggal 24 Desember 2007, Ninik Mamak Air Meruap mengirimkan surat kepada Direktur CV. Tiara Jaya yang pada intinya meminta penangguhan pembayaran jual beli kebun kelapa sawit Air Meruab a.n unit mantan anggota DPRD Provinsi Sumbar 1992-1997, sebelum ada penyelesaiannya lebih lanjut;<br /> <br />19. Bahwa pada tanggal 7 Januari 2008, Ninik Mamak Air Meruap mengirimkan surat kepada Direktur CV. Tiara Jaya, yang pada intinya meminta menghentikan kegiatan perluasan penebasan di dalam areal kebun kelapa sawit, baik dalam areal 100 Ha maupun yang telah melampaui batas kebun milik masyarakat sebelum diukur ulang kembali oleh BPN dan disahkannya jual beli plasma kebun sawit yang dimaksud oleh Pemda Kab. Pasaman Barat;<br /> <br />20. Pada tanggal 3 Maret 2008, mulai Jam 08.00 Wib masyarakat anak cucu Imbang Langi melakukan demonstrasi dengan tertib ke lahan kebun masyarakat yang dikuasai oleh CV Tiara Jaya dan membuat portal berupa galian bandar seluas 1,5 M untuk menghambat jalur transportasi kegiatan CV Tiara Jaya, sebelumnya CV. Tiara Jaya juga membuat portal dengan besi melintang jalan. <br /> <br />21. Bahwa pada tanggal 28 Maret 2008, Bupati Pasaman Barat mengeluarkan surat Keputusan No. 188.45/96/Bup-Pasbar-2008 tentang Pembentukan Tim Indentifikasi tunjuk batas pada lahan erpacht 372 ex lahan anggota DPRD TK I Sumatera Barat periode 1992-1997 dan ex lahan anggota DPRD TK II Pasaman Periode 1992-1997 yang telah dijual kepada CV. Tiara Jaya di Air Meruap Nagari Kinali, Kecamatan Kinali;<br /> <br />22. Bahwa pada tanggal 30 Maret 2008, dibuat surat pernyataan dan kesepakatan bersama antara CV. Tiara Jaya dengan masyarakat cucu kemenakan Imbang Langit yang pada intinya menyatakan Kami sepakat untuk menghentikan aktifitas khusus panen sawit di lingkungan lokasi bermasalah yang dijual oleh mantan DPRD Periode 1992-1997 Kab Pasaman menjelang adanya keputusan menurut hukum yang berlaku yang difasilitasi oleh Pemda Kabupaten Pasaman Barat, bagi yang melanggar akan diselesaikan dengan masyarakat terlebih dahulu, kemudian akan diajukan sesuai hukum;<br /> <br />23. Bahwa pada tanggal 29 April 2008, Bupati Pasaman Barat mengeluarkan surat No 130/352/Pem-2008 yang ditujukan kepada Nazar Ikhwan Imbang Langit dan Pimpinan CV. Tiara Jaya, perihal identifikasi sertifikat lahan 200 Ha, CV. Tiara Jaya yang pada intinya menyatakan hasil identifikasi dan peninjauan ditambah dengan data pendukung peta menunjukan lahan tersebut berada pada sebagian lahan ex erpacht 372 Air Meruap;<br /> <br />24. Bahwa pada tanggal 28 Mei 2008, sekitar Jam 08.00 pagi masyarakat berkumpul di rumah Hasar untuk berangkat ke lahan menggunakan mobil Colt Diesel, dalam perjalanan ditemukan mobil milik CV. Tiara Jaya yang mengangkut buah sawit sekitar 2 Ton. Masyarakat meminta Datuak Bandaro untuk menghalangi pemanenan oleh CV. Tiara Jaya, selanjutnya pada pukul 11.00 WIB masyarakat bersama-sama menurunkan buah sawit dari mobil milik CV. Tiara Jaya dan meletakannya di depan Camp. Pada pukul 14.00 WIB, Sdr. Eti dari CV. Tiara Jaya datang bersama aparat kepolisian dengan memanggil Datuak Bandaro dan mengatakan perbuatan masyarakat yang melakukan pendudukan Camp adalah illegal;<br /> <br />25. Bahwa pada tanggal 31 Juni 2008, sekitar Jam 16.30 WIB, pihak CV Tiara Jaya bersama aparat kepolisian (1 mobil Dalmas) mengangkat sawit sebanyak 2 lansir (hartop) dari lahan dengan tidak ada perlawanan dari masyarakat yang pada saat itu berada di lahan;<br /> <br />26. Bahwa pada tanggal 4 Juli 2008, CV. Tiara Jaya kembali melakukan panen sawit, mulai sekitar jam 10.00-17.00 wib dengan dikawal oleh aparat kepolisian Polres Pasaman Barat (kira-kira sebanyak 14 orang-1 mobil Dalmas) dari pihak CV Tiara Jaya (3 orang atas Eti, Memen dan Beben) dan sekitar 10 orang dari karyawan bekerja memanen sawit. Pada panen sawit dilakukan masyarakat hanya berkumpul di Camp (Camp dibuat masyarakat) berada di atas tanah 200 Ha (objek sengketa). Selain itu polisi juga melakukan penimbunan portal yang dibuat oleh masyarakat sedangkan portal yang dibuat oleh CV. Tiara Jaya yang menghambat jalan ke perkebunan masyarakat tidak disentuh sama sekali.<br /> <br />Sekitar Jam 18.00 wib, panen sudah selesai dilakukan dan sambil pulang datang polisi memanggil Kasmir (sebanyak 3 kali), ketika panggilan ke 3 kali baru polisi menghampiri Kasmir pangilan Simir, ada reaksi dari warga sehingga polisi tersebut kemudian meletuskan tembakan ke udara sebanyak dua kali. Pada saat itu polisi menangkap Kasmir tanpa surat penangkapan (di lahan). <br /> <br />27. Bahwa pada tanggal 4 Juli 2008, Polres Pasaman Barat mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan atas nama Kasmir pgl Simir, karena dugaan melakukan tindak pidana perkebunan sebagaimana dimaksu Pasal 21 Jo 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dan sejak tanggal 5 Juli ditahan di Rutan Polres Pasaman Barat;<br /> <br />28. Pada tanggal 5 Juli 2008, lebih dari 100 masyarakat mendatangi Kapolres sampai disana sekitar pada jam 11.00 wib untuk menuntut pembebasan warga yang ditangkap oleh Kapolres dan meminta polisi juga menahan mereka, namun polisi menolak. Pada saat itu beberapa orang warga dipanggil dan diproses untuk memberikan keterangan sebagai saksi berkaitan dengan masalah portal, penurunan hasil panen sawit pada tanggal 28 Mei 2008 dan pengusiran CV. Tiara Jaya oleh warga. Warga yang diproses untuk memberikan keteranfan adalah Kalibasa, Sampono, Bandaro dan Basri. <br /> <br />Dihadapan penyidik Datuk Sampono menerangkan bahwa dia tidak ikut membuat fortal (berupa pengalian tanah), tetapi kesepakatan dibuat secara bersama, waktu penurunan buah sawit pada tanggal 28 Mei 2008 dia tidak ikut tetapi hasil panen di atas mobil disuruh turunkan oleh Bandaro atas permintaan dari warga dan warga menghalang-halanginya karena ada perjanjian warga dengan CV. Tiara Jaya. <br /> <br />Datuk Bandaro dihadapan penyidik mengakui menurunkan buah sawit dan melarang panen yang disampaikan atas permintaan warga, sedangkan masalah portal tidak ditanyanya sama sekali, sedangkan keterangan Kalibasa tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan Bandaro. Dari ke- 4 orang tersebut hanya Basri yang tidak diminta keterangannya pada saat itu dengan alasan telah cukup saksi 3 orang.<br /> <br />29. Bahwa pada tanggal 5 Juli 2008, Polres Pasaman Barat mengeluarkan Surat Penangkapan atas nama Rivai (55 th), karena diduga melakukan tindak pidana perkebunan sebagaimana dimaksud Pasal 21 Jo 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dan sejak tanggal 6 Juli 2008, Rivai ditahan di Rutan Polres Pasaman Barat;<br /> <br />30. Bahwa pada tanggal 8 Juli 2008, Polres Pasaman Barat juga mengeluarkan surat perintah penangkapan atas nama Nazar Ikhwan Imbang Langit, karena diduga melakukan tindak pidana perkebunan sebagaimana dimaksud Pasal 21 Jo Pasal 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang perkebunan Jo Pasal 55 Jo Pasal 56 KUHP dan sejak tanggal 9 Juli 2008 resmi ditahan di Rutan Polres Pasaman Barat;<br /> <br />31. Bahwa perkembangan terakhir kasus ini, pada tanggal 2 September 2008, Rivai dipindahkan ke LP Lubuk Sikaping dengan perpanjangan penahanan, sedangkan Kasmir sejak tanggal 2 September 2008 telah dibebaskan dari tahanan, saat ini hanya NI Imbang Langit yang masih berada di Rutan Polres Pasaman Barat dimana masa penahanannya akan berakhir pada tanggal 6 September 2008; <br /> <br />C. ANALISIS<br /> <br />Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di atas, maka dapat ditarik beberapa analisis atau cacatan penting dalam kasus ini, yakni sebagai berikut :<br /> <br />1. Bahwa tindakan Pemerintah Daerah TK II Kab. Pasaman mengklaim tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap sebagai tanah negara bekas Erfacht Verponding 372 dengan mengeluarkan izin (HGU) PT. Tunas Rimba pada tahun 1992 dan Surat Keputusan Bupati Kepada Daerah TK II No. 025/1276/Perak-1996 tanggal 26 Mei 1996 perihal pencadangan lahan untuk perkebunan kelapa sawit pada lokasi tanah Erpacht Verponding 372 sebagian di Kampung Air Maruap Kec. Kinali adalah :<br /> <br />a. Merupakan tindakan sepihak dan bertentangan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Jo Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Jo Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada intinya memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk di dalamnya hak atas tanah ulayat;<br /> <br />b. Keberadaan Tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap merupakan harta kekayaan Ninik Mamak Kampung Air Maruap yang diperoleh secara turun temurun sebagai lahan cadangan yang diperuntukan bagi anak cucunya dikemudian hari, memiliki batas-batas yang jelas dan telah mendapat pengakuan secara adat dari pihak batas sipadan sebagaimana dimaksud dalam surat pernyataan batas tanah ulayat antara Luhak Anam Koto dengan Langgam menurut adat Kinali tanggal 18 Juli 1977, dimana batas sipadan tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap adalah “arah Lereng Gunung Pasaman ke utara berbatas dengan Datuak Tan Baraik Lubuk Lanur, Teuku Daulat Parit Batu dan ke Barat berbatas dengan IV Koto dan Langgam, ke timur Gunung Pasaman”;<br /> <br />c. Keberadaan tanah ulayat di Minangkabau, termasuk tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap berlaku ketentuan hukum adat Minangkabau yang menyatakan “tak sejengkal-pun tanah di Minangkabau yang tak berpunya (bertuan), sebagaimana disebutkan dalam pepatah adat “sawah bapiring lah diagieh lantak, ladang babidang lah diagieh batumpak, tanah nan sabidang lah diagieh bamilik”, diperkuat juga dengan pepatah adat, tanah ulayat tidak dapat diperjualbelikan “Tajua indak dimakan bali, tak gadai indak dimakan sando, aienyo nan buliah diminum, buahnyo nan buliah dimakan, kabau tagak kubangan tingga, luluak sado nan tabao dibadan”. Oleh karenanya klaim tanah negara bekas Erfacht Verponding 372 di atas tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap tidak dapat dibenarkan secara adat karena di Minangkabau tidak dikenal adanya tanah negara; <br /> <br />d. Keberadaan tanah ulayat Imbang langit di Kampung Air Maruap juga diperkuat dengan adanya persetujuan Panitia B (Panitia Pemeriksaan Tanah Permohonan HGU PTP VI) dalam Risalah Pemeriksaan Tanah pada huruf C angka 2 tentang kepentingan orang lain dan kepentingan umum secara tegas disebutkan “Panitia B telah menyetujui permintaan masyarakat pemilik sawah (anak cucu kemenakan Imbang Langit) agar sawah-sawah rakyat yang terletak disekitar Patok X dikeluarkan dari kebun inti PTP VI karena sejak dahulu sawah tersebut telah ada dan tidak termasuk dalam areal Erfacht Maatchappij Ophir yang dimohonkan PTP VI”. Halmana juga diperkuat dengan Surat Pemerintah Propinsi Daerah TK I Sumbar Direktorat Agraria tanggal 31 Agustus 1985 yang pada intinya meminta PTP VI agar segera melakukan perubahan gambar situasi sesuai dengan hasil pemeriksaan Panitia B dan membuat patok-patok batas tanah dengan tanah penduduk yang telah dikeluarkan dari perkebunan PTP VI.<br /> <br />2. Bahwa tindakan Bupati Kepada Daerah TK II Kab. Pasaman yang mencantumkan nama-nama mantan anggota DPRD TK I Provinsi Sumbar periode 1992-1997 sebagai anggota plasma di atas lahan seluas 600 Ha dalam Surat Keputusan No. 138.45/77/BUP-PAS/1996 tanggal 31 Juli 1996 Jo surat keputusan No. 188.45/1718/BUP-PAS/1999 tanggal 6 Mei 1999 dan diterbitkan sertifikat hak milik (SHM) oleh BPN TK II Pasaman pada tahun 1997 bertentangan dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah TK II Kab. Pasaman No. 025/1276/Perak-1996 tanggal 26 Mei 1996 yang tidak ada memperuntukan lahan bagi mantan anggota DPRD TK I Provinsi Sumbar periode 1992-1997;<br /> <br />3. Bahwa tindakan mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan DPRD TK I Provinsi Sumbar periode 1992-1997 melakukan proses penjualan lahan plasma kebun kelapa sawit di areal Keltan. Air Maruap seluas seluas 200 Ha kepada CV. Tiara Jaya pada tanggal 20 November 2007, patut dipertanyakan keabsahan secara hukum karena :<br /> <br />a. Bertentangan Surat Keputusan Bupati Pasaman No. 138.45/77/BUP-PAS/1996 tanggal 31 Juli 2006 Jo surat keputusan Bupati No. 188.45/1718/BUP-PAS/1999 tanggal 6 Mei 1999 tentang penetapan nama-nama peserta plasma perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan pada lokasi tanah ex. Erpacht Verponding 372 sebagian di Kampung Air Maruap karena dalam penetapannya pada bagian ketiga nomor 3 (tiga) disebutkan Peserta Plasma tidak diperkenankan melakukan pemindahtanganan lahan tanpa seizin Bupati Pasaman;<br /> <br />b. Lahan plasma kebun kelapa sawit di areal Keltan. Air Maruap seluas seluas 200 Ha yang perjualbelikan oleh mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan DPRD TK I Provinsi Sumbar periode 1992-1997 kepada CV. Tiara Jaya merupakan angunan kredit KKPA Bank Nagari Cab. Simpang Empat berdasarkan persetujuan kerjasama kredit KKPA Bank Nagari Cab. Simpang Empat Pasaman dengan KUD Saiyo Air Gadang Nomor : 001/SE/KOP/INV/0797/0709 tanggal 23 Juli 1997 Jo perjanjian Addendum I Nomor : 002-001/SE/ADD/0198/0797 tanggal 5 Januari 1998 dengan nominal Rp. 19.730.179.600,00. Halmana dipertegas dengan Surat Bank Nagari Cab. Simpang Empat Nomor : SR/1053/SE/CL/12-2007 tanggal 12 Desember 2007 kepada KUD Saiyo Air Gadang, perihal Sertifikat Hak Milik (SHM) Keltan. Air Maruap yang pada intinya menyatakan SHM anggota Keltan. Air Maruap telah diterbitkan BPN Lubuk Sikaping dan telah diterima Bank Nagari Cab. Simpang Empat sebanyak 94 Persil dengan perincian 47 persil Mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan 47 Persil Mantan Anggota DPRD TK I provinsi Sumbar periode 1992-1997; <br /> <br />c. Proses penjualan lahan plasma kebun kelapa sawit di areal Keltan. Air Maruap seluas 200 Ha kepada CV. Tiara Jaya juga terdapat kejangalan-kejangalan dalam hal izin usaha perkebunan milik CV. Tiara Jaya, dimana izin usaha perkebunan milik CV. Tiara diduga tanpa dilengkapi dokumen AMDAL dan lebih dahulu dikeluarkan oleh Bupati Pasaman Barat tertanggal 31 Juli 2007 dari pada proses pembelian lahan oleh CV. Tiara Jaya pada tanggal 20 November 2007.<br /> <br />4. Bahwa tindakan Polres Pasaman Barat melakukan penangkapan, penahanan dan intimidasi kepada Ninik Mamak dan masyarakat Kampung Air Maruap, sejak tanggal 4 Juli 2008 hingga sekarang adalah tindakan sewenang-wenang, karena :<br />a. Sengketa penjualan lahan plasma kebun kelapa sawit seluas 200 Ha oleh mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan DPRD TK I Provinsi Sumbar periode 1992-1997 kepada CV. Tiara Jaya yang menimbulkan sengketa dengan Ninik Mamak dan Masyarakat Kampung Air Maruap adalah murni sengketa perdata, hal mana sedang dalam penyelesaian Tim berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kab. Pasaman No. 188.45/96/Bup-Pasbar-2008 tanggal 28 Maret 2008; <br /> <br />b. Terjadinya tindakan diskriminasi dan keberpihakan dari Polres Pasaman Barat kepada CV. Tiara Jaya dalam sengketa, dimana Polres Pasaman Barat secara langsung terlibat sebagai backing dalam panen kelapa sawit di lahan sengketa oleh CV. Tiara Jaya pada tanggal 28 Mei 2008, 31 Juni 2008 dan 4 Juli 2008, tindakan mana telah melanggar kesepakatan status quo atas lahan sengketa dan sekaligus mengabaikan keberadaan Tim yang dibentuk dengan Surat Keputusan Bupati Kab. Pasaman No. 188.45/96/Bup-Pasbar-2008 tanggal 28 Maret 2008.<br /> <br />c. Tindakan Polres Pasaman Barat sebagaimana tersebut di atas, merupakan tindakan yang telah melampaui kewenangannya dan berakibat terlanggarnya hak-hak Ninik Mamak dan masyarakat Kampung Air Maruap, berupa pelanggaran :<br />- Pelanggaran hak pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana terdapat dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang;<br /> <br />- Pelanggaran terhadap hak pengakuan dan jaminan keamanan masyarakat hukum adat untuk mengelola dan mempertahankan hak ulayat selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara serta peraturan yang lebih tinggi dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 Jo Pasal 5 Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; <br /> <br />- Pelanggaran terhadap beberapa hak sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terutama hak Sipil Politik, berupa hak :<br />a. Hak atas keadilan Pasal 17 Jo Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2);<br />b. Hak atas rasa aman sebagaimana di atur Pasal 30 Jo Pasal 9 ayat (1) dan (2);<br />c. Hak atas kesejahteraan sebagaimana di atur dalam Pasal 36 ayat (1) dan (2), Pasal 37 ayat (1) Jo Pasal 38 ayat (1);<br />d. Hak atas pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal (6). <br /> <br />- Pelanggaran terhadap hak untuk kebebasan dan keamanan pribadi sebagaimana termuat dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.<br /> <br />D. Rekomendasi<br /> <br />Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam posisi kasus sebagaimana tersebut di atas, maka berkaitan dengan pendampingan kasus yang akan dilakukan oleh LBH Padang, maka direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut :<br /> <br />1. Sengketa lahan kebun plasma di areal Keltan. Air Maruap seluas 200 Ha yang perjualbelikan oleh mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan anggota DPRD TK I Provinsi Sumbar, mestinya dilihat sebagai bagian yang tidak terpisah dari sengketa tanah ulayat Kampung Air Maruap yang klaim secara sepihak oleh Pemda TK II Pasaman sebagai tanah negara bekas Erfacht Verponding 372;<br /> <br />2. Kriminalisasi terhadap Ninik Mamak dan masyarakat Kampung Maruap, sejak tanggal 4 Juli 2008 sampai sekarang, mesti dilihat sebagai bagian dari skenario berbagai pihak (termasuk Pemda Kab. Pasaman Barat) untuk mematahkan (membungkam) perjuangan Ninik Mamak dan masyarakat Kampung Air Maruap, sekaligus upayanya untuk memperkuat legitimasi tanah negara bekas Erfacht Verponding 372 di atas tanah ulayat Ninik Mamak Kampung Air Maruap;<br /> <br />3. Berkaitan dengan pendampingan hukum terhadap Ninik Mamak dan masyarakat Kampung Air Maruap dalam permasalahan di atas, dapat dilakukan dalam 2 (dua) bentuk pendampingan :<br /> <br />a. Pendampingan hukum secara litigasi (di pengadilan), terutama pendampingan 3 orang Ninik Mamak dan masyarakat Kampung Air Maruap;<br /> <br />b. Pendampingan hukum secara non litigasi terutama advokasi terhadap upaya-upaya penyelesaian kasus tanah ulayat Imbang Langit dengan Pemda Kab. Pasaman Barat dan Perusahan perkebunan sawit. <br /> <br />E. Penutup<br /> <br />Demikianlah gambaran posisi kasus, kronologis dan beberapa catatan penting pada kasus tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap Kec. Kinali Kab. Pasaman, semoga dapat dipergunakan untuk membantu dalam –upaya upaya pendampingan kasus ini , terima kasih.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-68207757920192231462009-02-09T22:37:00.000-08:002009-02-09T22:49:54.951-08:00Batas Wilayah Harus DiprioritaskanPadang Panjang, Singgalang<br />Pemerhati masalah-masalah adat dan kebudayaan di Kota Padang Panjang, Uncu Affandi, meminta kepada Pemerintah Kota (Pemko) Padang Panjang untuk memprioritaskan penyelesaian batas-batas wilayahnya dengan Kabupaten Tanah Datar. Sementara Nagari Jaho mengaku telah jadi korban ‘perluasan diam-diam’ kota berjulukan Serambi Mekah itu.<br />“Ada beberapa kawasan yang kini telah berada di dalam wilayah Padang Panjang. Kami meminta agar Pemkab Tanah Datar dan Pemko Padang Panjang dapat menyelesaikan tapal batas itu sesegeranya. Bila tidak, masalah-masalah yang akan timbul di kemudian hari akan sulit diselesaikan,” ucap Plt. Walinagari Jaho, Kecamatan X Koto, Tanah Datar, Zulmurni menjawab Singgalang, Kamis (5/2), di ruang kerjanya.<br />Pengakuan Zulmurni, kawasan yang biasa disebut dengan Kelok Anjing dari arah Tugu Monas, Padang Panjang Timur, dan Pengairah Rupiah, dahulunya berada dalam wilayah Nagari Jaho, tapi kini secara diam-diam telah berada dalam wilayah administrasi pemerintahan Padang Panjang. Guna menghindari terjadinya konflik perbatasan di kemudian hari, Zulmurni berharap, tapal batas kedua daerah harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.<br /><br />Nagari Jaho, sebutnya, sebelah utara berbatasan langsung dengan Kelurahan Ekor Lubuk, Kota Padang Panjang, sementara di sebelah selatan berbatasan dengan Nagari Tambangan, di Barat dengan Kabupaten Padang Pariaman dan di Timur dengan Nagari Batipuah Baruah. Nagari ini, jelas Zulmurni, telah berhasil menyelesaikan peta nagari. Namun, karena menyangkut administrasi pemerintahan, patok wilayahnya dengan Kota Padang Panjang harus didudukkan oleh kedua pemerintah. Biaya pembuatan peta nagari itu sendiri dibantu oleh mantan Gubernur Sumbar H. Hasan Basri Durin selaku putra daerah.<br />Sementara itu, selaku warga Kota Padang Panjang yang mempunyai perhatian terhadap persoalan-persoalan nagari dan kebudayaan, Uncu Affandi meminta Pemko Padang Panjang mau menyahuti keinginan Pemkab Tanah Datar untuk membuat komitmen bersama guna mencapai kesepakatan soal tapal batas. Karena, alasnya, urusannya akan banyak berkait dengan kepentingan masyarakat di kedua daerah, baik dari sisi hukum adat maupun urusan-urusan keperdataaan.<br />“Saya ikut mendorong Pemko Padang Panjang untuk memperjelas tapal batas itu. Bisa saja, kedua daerah telah main serobot-menyerobot wilayah administrasi pemerintahan. Kalau itu terjadi, nanti persoalan keperdataan akan jadi rumit, misalnya dalam hal pensertifikatan tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di kedua daerah,” tegasnya.<br /><br />Menurut Uncu, sesungguhnya dalam hal bernagari, batas-batas nagari sudah jelas, yakni parik, banda dan pilar. Hanya tiga patokan itulah, sebutnya, yang dapat dipedomani untuk menentukan batas-batas nagari berdasarkan kesepakatan dan aturan adat di Minangkabau. <br />Sebagaimana diberitakan Singgalang kemarin, Pemkab Tanah Datar menyatakan kesiapannya untuk membuat komitmen dan melakukan perundingan dengan Pemerintah Kota (Pemko) Padang Panjang. Perundingan itu diperlukan guna menetapkan tapal batas dan menghindari tindakan sepihak dan penyerobotan teritorial yang akan dapat melahirkan persoalan hukum di kemudian hari. Kesiapan itu diutarakan Kepala Bagian Tata Pemerintahan (Tapem) Setdakab Tanah Datar Drs. H. Armen Yudi, M.si.<br />Kabupaten yang populer dengan sebutan Luhak Nan Tuo dan mengklaim diri sebagai ‘ayah’ Kota Padang Panjang, tahun ini mengalokasikan Rp100 juta dalam APBD-nya untuk menyelesaikan masalah perbatasan dengan kota/kabupaten yang bertetangga.<br /><br />Menurut Armen Yudi, berbicara soal tapal batas antara Tanah Datar dengan Padang Panjang, sesungguhnya mengandung banyak persoalan-persoalan yang cukup sensitif. Itu pulalah sebabnya, Armen mengaku selaku membuka diri membuat komitmen bersama dengan Pemko Padang Panjang untuk penyelesaiannya. Tanah Datar, tegasnya, mustahil akan ‘menyerobot’ teritorial Padang Panjang. Alasannya, hubungan kedua daerah diibaratkan hubungan ayah dengan anak. “Tak mungkinlah ayah akan menyerobot harta anak. Tapi kalau harta ayah yang digasak anak, itu sudah lumrah dan sering terjadi,” ucapnya diplomatis. o006Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-7516951077383015982009-02-09T18:56:00.000-08:002009-02-09T18:57:12.805-08:00Politik Pembangunan AgrariaOleh Gunawan Wiradi<br /><br /> Pendahuluan<br /><br />Sebelum masuk ke dalam pembahasan masalah politik Pembangunan dan Pembaruan Agraria, ada beberapa hal yang penting untuk dikemukakan, yang barangkali berguna sebagai pembuka pikiran-pikiran kita.<br /><br />Kita ini sering mengklaim sebagai orang yang peduli terhadap berbagai ketimpangan dan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat kita, pedulu terhadap bagian masyarakat yang “terpinggirkan”, peduli untuk membela, membantu, dan mendampingi mereka yang lemah, lemah dalam arti ekonomi, sosial maupun politik. Kepedulian itu tidak hanya sebatas wacana, tetapi seringkali juga diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan nyata.<br /><br />Mereka yang merasa mempunyai kepedulian seperti itu (atau jika boleh disebut sebagai “aktivis kemasyarakatan”) sesungguhnyalah mengemban misi yang tidak ringan. Kesadaran bahwa misinya berat, tidak berarti harus bersikap pesimis. Justru sebaliknya, seorang aktivis kemasyarakatan menghadapi tantangan itu dia justru harus menebalkan semangat baja, dan selalu meneguhkan kepastian sikap sehingga tidak tergiur oleh godaan apapun.<br /><br />Karena yang digarap adalah masyarakat, dan dia sendiri adalah bagian dari masyarakat, maka seorang aktivis kemasyarakatan perlu menyadari bahwa yang dia garap adalah “jaringan hubungan antarmanusia” yang dia sendiri merupakan salah satu unsur darinya. Dalam konteks inilah seorang aktivis dituntut untuk membekali diri dengan kemampuan tertentu. Dua butir berikut barangkali dapat dijadikan modal awal bagi upaya meningkatkan kemampuan-kemampuan lainnya.<br /><br />Imajinasi Sosiologis<br /><br />Seorang aktivis perlu untuk mempunyai kemampuan ber-“imajinasi sosiologis” (IS). Apa yang dimaksud? Di antara sejumlah aspek IS, empat yang terpenting untuk dimiliki adalah: (a) kemampuan untuk menghubungkan secara timbal-balik antara gejala-gejala di tingkat mikro (lokal) dengan tingkat makro (nasional, bahkan dunia); (b) kemampuan untuk meletakkan atau mendudukkan gejala yang diamatinya (atau yang dialaminya) dalam konteks yang mewadahinya, baik konteks tempat maupun, terutama konteks waktu (sejarah); (c) kemampuan untuk secara lincah dan timbal-balik bergeser-geser dari perspektif yang satu ke perspektif yang lain, dari konteks yang satu ke konteks yang lain; dan (d) kemampuan untuk melihat hubungan secara timbal balik antara persoalan-persoalan pribadi atau keluarga, dengan isu-isu umum (publik)<br /><br />Di dalam membangun kemampuan IS itu, para pakar dunia pada umumnya secara konsisten selalu mempertanyakan tiga hal, yaitu: <br /> <br />(a) bagaimana struktur masyarakat ini, apa saja komponen utamanya? Bagaimana hubungan antara komponen-komponen tersebut? Ciri-ciri utama apa saja yang membedakan masyarakat (kita) ini dengan struktur masyarakat lainnya? Ciri apa yang membuat masyarakat (kita) ini berlanjut dan/atau berubah, dan seterusnya? <br /> <br />(b) Perjalanan sejarah dapat dibagi ke dalam periode-perioder tertentu. Ciri apa yang membuat masyarakat (kita) ini berubah pada periode tertentu? Bagaimana “gambar” masyarakat pada periode yang satu berbeda dari periode sebelum dan/atau sesudahnya, dan seterusnya? <br /> <br />(c) Keragaman manusia (laki-laki dan perempuan) yang bagaimana yang menonjol sekarang ini? Bagaimana kira-kira yang dominan di masa mendatang? “Sifat manusia” macam apa yang mengemuka dalam watak dan pergaulan masyarakat dalam periode tertentu? Bagaimana hal itu terjadi? (Mengapa terbebaskan, mengapa tertindas, mengapa tercerahkan, mengapa terbodohkan), dan seterusnya?<br /><br />Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak harus terjawab walaupun tentu kita berusaha untuk mencari jawaban. Justru kita perlu mengembangkan pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih lanjut lagi. Kemampuan mengembangkan pertanyaan semacam itulah awal dari kemampuan IS (Cf. C. Wright Mills, 1970:9—32).<br /><br />Peran Aktivis<br /><br />Di dalam berbagai latihan dan kursus yang diselenggarakan oleh LSM/Ornop, barangkali sudah terlalu sering dibahas, peran apa yang sebenarnya harus dimainkan oleh para aktivis. Karena itu, makalah ini tidak berisi ulangan mengenai apa yang sudah pernah diuraikan dalam latihan-latihan itu. Namun menurut pendapat saya, ada dua hal yang masih perlu ditekankan (lepas dari apakah hal ini pernah disinggung dalam berbagai latihan di kalangan LSM/Ornop, atau belum). Pertama, sesuai dengan pengembangan kemampuan IS tersebut di atas, seharusnya para aktivis selalu bertanya sendiri di dalam hati: “Peran apakah yang sebaiknya saya ambil, dalam konteks masyarakat tempat saya berkecimpung? Kedua, kegiatan para aktivis, terutama dalam era reformasi dan khusus lagi dalam masa krisis ini, mirip atau bahkan pada hakikatnya sama dengan kegiatan para pejuang (sipil), pendiri republik, dalam gerakan mencapai Indonesia merdeka. Mereka itu hakikatnya adalah “aktivis”. Hanya saja saat itu mereka lebih populer dikenal dengan istilah “kaum pergerakan”. Salah satu peran yang dianggap penting adalah menjadi “guru”. Gurunya masyarakat. Tapi jangan salah paham! Mereka sangat sadar, bahwa yang dimaksud bukanlah guru yang sekadar menularkan pengetahuan, bukan “menggurui” rakyat, bukan “semau gue”, melainkan suatu proses pencarahan dengan cara-cara kritis dan partisipatif. Dengan istilah sekarang, sama dengan proses empowerment (pemberdayaan). Itulah sebabnya Bung Karno pada tahun 1940 menulis tentang “Menjadi Guru di masa Kebangunan”. Dia berkata: “Men kan niet onderwijzen wat men will. Men kan niet onderwijzen wat men weet. Men kan alleen onderwijzen wat men is!” Arti harfiahnya, orang tidak dapat mendidik orang lain “semau gue”; orang tidak dapat mendidik orang lain mengenai apa yang dia ketahui; orang hanya dapat mendidik orang lain mengenai apa sebenarnya dia sendiri itu? Maknanya adalah, secara ringkas, “partisipasi”, dan…. keteladanan untuk bersikap konsisten.<br /><br />Jadi, menjadi aktivis kemasyarakat di era reformasi, hakikatnya adalah menjadi “guru” di masa kebangunan (bukan pembangunan).<br /><br />Politik Pembangunan<br /><br />Istilah dan Pengertiannya<br /><br />Semula,istilah “pembangunan” sifatnya memang netral. Para pendiri republik, para tokoh tua sebelum Orde Baru, tokoh-tokoh pergerakan pun telah menggunakan istilah tersebut. Secara umum, yang dimaksud adalah suatu kegiatan untuk membangun, mendirikan, membentuk, menciptakan segala sesuatu (baik berupa bangunan-bangunan fisik/material, seperti jalan-jalan, jembatan, gedung, dan sebagainya, maupun yang sifatnya non-material, seperti “character building”, moral-spiritual, kelembagaan, sistem politik, sistem ekonomi, dan sebagainya), dengan tujuan agar kondisi masyarakat secara keseluruhan menjadi lebih baik.<br /><br />Atas dasar itu “kaum pergerakan” menggunakan istilah “pembangunan” dengan kondisi tekanan pada tiga hal, yaitu:<br /> <br />(a) membangkitkan semangat kemandirian, membangun jiwa merdeka, mengikis mentalitasnya bangsa terjajah; <br /> <br />(b) membangun susunan masyarakat baru yang bebas dari penindasan, yang adil dan demokratis; <br /> <br />(c) membangun sarana-sarana fisik bagi kesejahteraan rakyat. (Istilah “pembangunan” berbeda dari “kebangunan” Karena yang dimaksud dengan kebangunan adalah “kebangkitan”).<br /><br />Namun, semenjak Orde Baru, makna tersebut di atas diberi nuansa lain, bahkan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang dicanangkan oleh para pendiri bangsa ini. Semboyan Orde Baru” “Politik No, Ekonomi Yes” menuntun kepada pengertian bahwa tekanan pembangunan adalah pembangunan ekonomi saja, yang notabene terbukti tifak menguntungkan rakyat. Para intelektual pun tidak sadar (atau sengaja tidak menyadarkan diri) bahwa semboyan tersebut di atas itu sendiri adalah “politik”, yaitu politik Orde Baru untuk membunuh kesadaran politik rakyat.<br /><br />Sebenarnya, tidak ada padanan yang tepat dalam bahasa Inggris bagi istilah “pembangunan”. Kata development artinya “proses perkembangan”, atau “proses pengembangan” (lawan dari envelopment). Membangun dalam arti mendirikan atau membentuk, padanannya dalam bahasa Inggris adalah to build atau to construct (karena itu ada istilah character building,pembangunan watak). Jadi, kata pembangunan sebenarnya mempunyai makna yang lebih luas dari kata development. Di Barat, sesudah Perang Dunia Kedua, ketika ada program untuk membangun negara-negara berkembang (bekas jajahan yang kemudian merdeka), istilah yang dipakai adalah development. Ini kemudian menimbulkan perdebatan ilmiah, antara lain dalam konferensi ilmiah di Minnesota, Amerika Seikatr tahun 1955. Salah satu pandangan yang mencuat waktu itu adalah bahwa istilah development yang penggunaannya menjadi sangat populer sesudah Perang Dunia Kedua diartikan sebagai proyeksi, sebagai upaya yang diprogramkan untuk “mengembangkan” negara-negara Dunia Ketiga yang titik beratnya adalah “pengembangan ekonomi”. Tingkat kemajuan dari proses pengembangan itu dikukur dengan tingkat “pertumbuhan ekonomi”. Dengan demikian, semenjak Orde Baru, di Indonesia kata “pembangunan” digunakan sebagai terjemahan dari kata development dengan pengertian seperti itu.<br /><br />Latar Belakang Sejarah<br /><br />Atlantic Charter (1941)<br /><br />Dalam Perang Dunia Kedua, dengan siasat serangan cepat dan mendadak (blitzkrieg), dalam waktu singkat Jerman telah menguasai hampir seluruh Eropa, kecuali Inggris dan Rusia. Waktu itu, antara Jerman (Hitler) dan Rusia (Stalin) memang telah ada perjanjian tidak saling menyerang. Inggris, karena letaknya sebagai kepulauan di luar daratan Eropa, belum berhasil diduduki. Tetapi pesawat-pesawat udara Jerman, dan roket-roketnya sudah mulai mengancam Inffris. Inggris lalu meminta bantuan Amerika, walaupun Amerika sendiri sedang sibuk menghadapi Jepang di Asia. Maka berlangsunglah perundingan antara Presiden Roosevelt dengan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pada bulan Agustus 1941, dan lahirlah apa yang dikenal sebagai Piagam Atlantik (Atlantic Charter-AC) berisi 8 pasal. Meskipun isinya hanya merupakan kesepakatan antara duna negara, tetapi karena dianggap bagus maka jiwa dan semangatnya akhirnya juga diadopsi dalam Piagam PBB. Esensi dari AC adalah (menurut saya):<br /> <br />(a) PD-II bukan “perang wilayah”. Artinya, jika sekutu menang, maka wilayah yang diduduki akan dikembalikan kepada batas-batas semula (Pasal-1 AC).<br /> <br />(b) Jika sekutu menang, maka wilayah-wilayah yang semula merupakan koloni (jajahan) dari negara-negara Eropa harus dibebaskan, yaitu rakyat di situ harus diberi hak menentukan nasibnya sendiri (self determination), Apakah akan tetap berada di bawah bejas penjajahnya, atau merdeka tapi masih dalam ikatan “persemakmuran” dengan bekas penjajahnya, ataukah merdeka penuh.<br /><br />Dalam tahap-tahap akhir PD-II, ketika dengan detengah putus asa Jerman tidak juga berhasil untuk menyerbu Inggris, Hitler berganti haluan, dan melanggar perjanjiannya dengan Stalin yaitu menyerbu Rusia. Karena itu kemudian Rusia bergabung dengan sekutu. Ketika kemudian sekutu menang, tentu saja ada wilayah-wilayah yang diduduki oleh tentara Uni Soviet Rusia, dan lahirlah negara-negara sosialis di Eropa Timur. Sementara itu, sesudah PD-II itu selesai, bekas-bekas koloni Eropa di Asia, Afrika dan Amerika Latin satu persatu menjadi negara merdeka yang kemudian dikenal sebagai “Dunia Ketiga”.<br /><br />Sementara itu, negara-negara Eropa yang perekonomiannya berantakan akibat perang, lalu dibangun dengan bantuan Amerika melalui “Marshall Plan”. Ternyata hasilnya bagus. Dalam waktu singkat—kurang lebih lihat tahun—perekonomian Eropa bangkit kembali. Karena itu, dalam rangka perang dingin, Blok Barat berusaha agar negara-negara bari di Dunia Ketiga juga dibangun dengan pola yang serupa. Namun ternyata hasilnya tidak sebagus yang terjadi di Eropa. Maka lahirlah berbagai teori tentang “pembangunan” (development).<br /><br />Arti penting dari AC sebagai latar belakang sejarah, menurut pendapat saya adalah: <br /> <br />(a) Sekalipun di atas kertas tercermin suatu gagasan “luhur” (yaitu pembebasan bangsa-bangsa terjajah) tetapi agaknya, Amerika mempunyai strategi jangka panjang dalam rangka persaingannya dengan negara-negara Eropa pada umumnya. Dengan bebasnya bekas-bekas koloni itu, Amerika dapat menanamkan pengaruhnya melalui bantuan ekonomi di bekas-bekas koloni itu.<br /> <br />(b) Namun, di lain pihak bekas wilayah pendudukan tentara Uni-Soviet di Eropa Timur itu, meskipun merdeka, menjadi negara-negara sosialis di bawah pengaruh Uni-Soviet Rusia (“negara Dunia Kedua”). Hal ini, ditambah dengan kenyataan bahwa negara-negara Eropa Barat yang non-sosialis masih baru saja sembuh dari luka-luka PD-II, telah mendorong Amerika untuk mencurahkan bantuan ekonomi untuk menanamkan pengaruhnya agar negara-negara baru tersebut tidak jatuh ke dalam pengaruh Uni-Soviet. Pertarungan pengaruh inilah yang dikenal sebagai “Perang Dingin”. <br /> <br />(c) Penanaman pengaruh itu bukan hanya penting bagi kepentingan politik tapi juga kepentingan ekonomi. Barat berkehendak agar dunia ini menjadi satu sistem ekonomi, yaitu sistem pasar bebas yang kapitalistik. Inilah sebenarnya arti “globalisasi”.<br /><br />Kebijakan Pembangunan di Indonesia sebelum Orde Baru<br /><br />Sebelum Indonesia merdeka sejarah Indonesia dapat dibahwa menjadi empat periode, yaitu: <br /> <br />(a) Agustus 1945—Desember 1949: Masa revolusi fisik (melawan Jepang; melawan tentara Inggris yang mewakili sekutu; kemudian melawan Belanda); <br /> <br />(b) Januari 1950—Agustus 1950: Masa singkat pemerintahan negara dalam bentuk federal: Republik Indonesia Serikat (RIS), dalam payung Uni Indonesia-Belanda; <br /> <br />(c) 1950—Juli 1959: Masa Demokrasi Liberal dalam Negara Kesatuan RI di bawah UUDS-1950 (sistem parlementer; Presiden hanya sebagai simbol, dan karenanya can do no wrong); dan (d) Juli 1959—1965: Masa Demokrasi Terpinpin di bawah UUD-1945.<br /><br />Dalam tiga periode yang disebut pertama—kurang lebih lima belas tahun—kondisi Indonesia masih sangat tidak stabil. Bahkan dalam periode ketiga (yang relatif lebih stabil dari masa sebelumnya) pun masih terjadi berbagai gejolak sebagai ekses-ekses revolusi. Ada pemberontakkan APRA, ada RMS, ada pemberontakkan Andi Abdul Aziz, ada pemberontakkan Batalion-426, ada DI/TII, dan kemudian perang saudara, PRRI dan Permesta. Dalam kondisi yang demikian, tentu saja pembangunan dalam bidang ekonomi kurang memperoleh fokus, karena yang menjadi pusat perhatian utama adalah pembangunan sistem politik dan solidaritas nasional sebagai bangsa (nation and character building).<br /><br />Walaupun demikian, dari sejak awal para pendiri Republik Indonesia sadar bahwa bagaimanapun juga akhirnya pembangunan ekonomi harus diperhatikan. Tapi, sekali lagi, pembangunan diberi makna seperti telah diuraikan di depan (butir II-A-2). Artinya, yang hendak dibangun adalah sistem ekonomi yang demokratis (istilah Bung Hatta ”demokrasi ekonomi”). Kesadaran ini disertai pula dengan dua kesadaran lainnya, yaitu: (a) dalam konteks “Perang Dingin”, Indonesia harus membebaskan diri dari tarikan-tarikan dari kedua kubu (non-alignment); dan (b) latar belakang sejarah masyarakat Indonesia adalah feodal-agraris.<br /><br />Dengan berbagai kesadaran itulah, dari sejak awal para pendiri negara ini berpandangan bahwa pembangunan itu harus dilandasi oleh suatu penataan ulang strukrur agraria lebih dulu, karena masalah agraria itu melandasi atau mewadahi hampir semua aspek kehidupan. Itulah sebabnya, ketika RI bahkan belum berumur tiga tahun (dan masih dalam masa revolusi fisik), pemerintah sudah membentuk Panitia Agraria (1948) yang bertugas menjajaki dan mempersiapkan perumusan undang-undang agaria yang baru, untuk menggantikan Undang-Undang Agraria kolonial 1870. Melalui pergantian kepanitiaan sebanyak lima kali beriringan dengan dinamika politik saat itu, maka pada tahun 1960 akhirnya lahirlah Undang-Undang No. 5/1960 yang dikenal sebagai UUPA.<br /><br />Dalam masa Demokrasi Terpimpin sejak Dekrit 5 Juli 1959 (kembali ke UUD-1945), kondisi politik relatif stabil. Mulailah dicanangkan suatu program pembangunan secara terencana delapan tahunan, yang waktu itu dikenal dengan istilah “Poembangunan Nasional Semesta Bersama”, dan dibentuklah lembaga pusat yang bertugas menangani hal ini, yaitu Dewan Perancang Nasional (DEPERNAS, yang dikemudian hari sejak lahirnya Orde Baru diubah menjadi BAPPENAS).<br /><br />Sekalipun oleh sementara kalangan masa Demokrasi Terpimpin itu dianggap sebagai masa pemerintahan otoriter, namun visi, misi dan arah kebijakannya jelas, berciri populistik! Berusaha untuk tidak tergantung dari hutang luar negeri, tidak tergantung dari modal asing. Slogan yang terkenal saat itu adalah “berdaulat dalam politik”, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”. Di samping itu, di bidang politik, saat itu masih terdapat sepuluh partai politik yang berwibawa, sehingga presiden tidak dapat begitu saja “semau gue”! Bahwa peran presiden saat itu menjadi sangat dominan, hal itu semata-mata karena kharisma pribadi Bung Karno. Demikian juga, meksipun saat itu korupsi juga ada, tetapi tidak sedasyat korupsi semasa Orde Baru.<br /><br />Dalam konteks Perang Dingin, upaya negara-negara Dunia Ketiga yang ingin netral dengan melahirkan “Gerakan Non-Blok” oleh Barat dianggap sebagai “halangan” bagi kepentingan mereka. Operasi-operasi terselubung dilakukan untuk menggulingkan pemerintahan-pemerintahan di negara-negara yang bersikap non-blok dengan tuduhan “cenderung ke kiri”. Termasuk Indonesia. Tergulinglah pemerintahan Soekarno.<br /><br />Kebijakan Pembangunan selama Orde Baru<br /><br />Kebijakan umum Orde Baru bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan pemerintahan sebelumnya. Disengaja atau tidak, disadari atau tidak, Indonesia sedikit demi sedikit semakin tidak “non-blok” lagi, tapi menjadi “nge-blok” ke Barat.<br /><br />Pembaruan agraria melalui UUPA-1960 dan UU No. 56 tahun 1960, yang sedianya akan dijadikan landasan pembangunan, tidak digubris lagi. Kedua UU tersebut dimasukkan kotak—untuk selama kurang lebih 11 tahun sebelum akhirnya dikukuhkan kembali tahun 1978. Indonesia mulai mengambil kebijakan politik yang bersifat bukan saja “pintu terbuka” tetapi bahkan “rumah terbuka”. (Tidak hanya tiap departemen, bahkan hambir tiap ditjen ada konsultan dari mancanagara, dari berbagai bangsa). Pembangunan jangka panjang 25 tahun dengan tahapan lima tahunan (Repelita) dirancang dengan mengadopsi paradigma “modernisasi”.<br /><br />Dalam konteks global, “modernisasi” mencakup empat proses: (a) penanaman modal untuk meningkatkan produksi dan produktivitas; (b) alih teknologi; (c) munculnya organisasi-organisasi berskala besar baik di bidang politik maupun ekonomi; dan (d) proses urbanisasi (Cf. Shepherd, 1998:16—17). Dalam praktiknya, ciri yang segera menonjol adalah bahwa “pertumbuhan ekonomi” adalah segala-galanya. <br /> <br />Berapapun harganya, semua dana dan daya dikerahkan untuk itu, tidak peduli hasil pertumbuhan itu untuk siapa. Salah satu “harga” yang harus dibayar (oleh Barat) adalah bahwa pemerintahan yang otoriter pun harus ditolerir demi stabilitas, karena stabilitas merupakan sarana utama bagi pertumbuhan ekonomi, dan bagi penanaman modal. Tapi toleransi itu sebatas sejauh pemerintah negera yang bersangkutan “tunduk” kepada kepentingan penanam modal. Dalam praktik, teknologi yang dialihkan dari “negara maju” ke negara-negara “terbelakang”, ternyata adalah teknologi “bekas” (lihat juga Dube, 1988:32—34). Dengan demikian, negara-negara Dunia Ketiga menjadi tergantung dari NIM (Negara Industri Maju), paling tidak, dalam dua hal yaitu modal asing dan teknologi.<br /><br />Disengaja atau tidak, Orde Baru telah membawa Indonesia terjebak ke dalam jerat hutang yang sangat mengerikan, karena terhanyut oleh “arus globalisasi”, terutama semenjak runtuhnya Uni-Soviet dan negara-negara sosialis lainnya. Namun sebenarnya, bencana ini sudah dapat diduga sejak awal kelahiran Orde Baru, yaitu ketika lahir Undang-Undang Penanaman Modal Asing, 1967. (Sebenarnya kebijakan mengundang modal asing adalah sesuatu yang sangat ditentang oleh sebagian besar para pendiri republik). Bersama-sama dengan lahirnya UU Pokok Kehutanan dan UU Pokok Pertambangan, tahun 1967 dengan PMA-nya itu merupakan titik awal dari kebijakan pembangunan yang bersifat ekstraktif, menguras kekayaan sumber alam, semata-mata demi “pertumbuhan ekonomi”.<br /><br />Singkatnya, ciri utama kebijakan pembangunan selama Orde Baru adalah: (a) menggantungkan diri kepada modal asing, hutang luar negeri, dan bantuan asing; (b) bertumpu kepada yang kuat, yang besar (dengan mitos “tetesan ke bawah”); (c) sentralistik dan represif, atas dasar alasan stabilitas; dan (d) masalah agraria disempitkan maknanya menjadi sekadar masalah tanah, dan masalah tanah dikelola untuk memfasilitasi kepentingan modal.<br /><br />Dengan demikian, pembaruan agraria yang bersiat kerakyatan dianggap tidak relevan. Yang penting produksi pangan meningkat (melalui Revolusi Hijau), hutan bisa dibabat dan dijual kayunya, tambang bisa digali, laut bisa dikuras, dan seterusnya, semuanya demi pertumbuhan ekonomi.<br /><br />Sejauh mana kebijakan nasional tersebut di atas berdampak terhadap kondisi daerah, atau bagaimana hubunga antara kebijakan makro nasional itu dengan apa yang terjadi di daerah (seperti di Flores ini), tentu memerlukan analisis tersendiri, dan barangkali para aktivis di daerah lebih mampu untuk melakukan hal ini.<br /><br />Reforma Agraria (RA)<br /><br />Masalah “reforma agraria” dan “pembangunan” sebenarnya merupakan satu paket permasalahan, apalagi bagi negara-negar yang pada dasarnya bersifat “agraris” seperti Indonesia ini. Artinya, RA itu seharusnya menjadi landasan dasar bagi keseluruhan program pembangunan.<br /><br />Memang, inti dari RA adalah “penataan kembali” susunan politik pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah serta sumber-sumber agraria lainnya (hutan, tambang, air dan lain-lain) agar tercipta suatu susunan masyarakat yang adil terutama bagi rakyat banyak”. Inilah yan dahulu disebut dengan istilah “landreform”. (Memang intinya adalah “land”, karena tanah itu memang mewadahi semuanya). Tetapi, “land reform”itu perlu disertai dengan program-program pendukung atau infrastruktur yang akan menunjang keberlanjutannya. Jadi, “landreform” plus berbagai penunjangnya itulah yang sekarang disebut dengan istilah Reforma Agraria (bahasa Spanyol). Inilah yang kita maksud dengan “pembaruan agraria”.<br /><br />Dalam hubungan ini, terutama jika dikaitkan dengan masalah Otonomi Daerah (Otoda), agara RA dapet berlangsung secara demokratis maka seharusnya rakyat setempat sendiri yang menilai kondisi setempat, dan kmudian merencanakan dan melaksanakan pembaruannya. Namun harus diakui, kemampuan rakyat setempat itu mempunyai keterbatasan-keterbatasan. Dengan demikian, bagaimanapun juga peran pusat tidak dapat diabaikan begitu saja. Untuk semuanya ini, diperlukan proses penyadaran, tapi penyadaran yang bersifat partisipatif, sekaligus kritis. Inilah salah satu tugas aktivis yang peduli terhadap nasib rakyat kecil.<br /><br />Dalam rangka pemberdayaan masyarakat agar mampu menangani masalah pembaruan agraria, barangkali beberapa butir berikut ini ada gunanya untuk diperhatikan:<br /><br />(1) Dalam proses penyadaran yang partisipatif ddan kritis itu, perlu pemahaman mengenai bagaimana persepsi masyarakat setempat tentang apa yang dimaksud dengan “keadilan”.<br /> <br />(2) Apakah susunan (struktur) pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah dan sumber-sumber agraria yang ada itu dianggap sudah adil ataukah tidak. Kalau ya, mengapa, kalau tidak, juga apa sebabnya.<br /> <br />(3) Agar dapat membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, masyarakat setempat sendiri perlu melakukan semacam “registrasi” (sekadar pemetaan) mengenai pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Melalui “peta” itulah masyarakat sendiri kemudian menilai, menurut persepsinya, apakah struktur yang ada itu “adil” ataukah tidak.<br /><br />Seandainya dianggap tidak adil, dan sudah diketahiu akar sebabnya, pembaruan seperti aa yang dikehendaki masyarakat setempat.<br /><br />Semuanya itu nampaknya sederhana, tapi sebenarnya bukan hal yang mudah untuk melakukannya. “masyarakat” itu terdiri dari bermacam unsur dan lapisan, yang masing-masing tentu mempunyai kepentingan.<br /><br />Karena itu semua, maka bagaimanapun juga diperlukan pengetahuan atau pemahaman mengenai pembauran agraria dalam pengertian yang bersifat umum dunia. Dengan bekal semuanya itu, masyarakat sendiri kemudian menentukan apa yang harus dilakukan, secara bertanggungjawab.<br /><br />Penutup<br /><br />Demikianlah yang dapat saya paparkan dalam kesempatan ini. Hal-hal dasar yang seharusnya memang perlu diketahui, tapi tak sempat untuk dituliskan dalam makalah ini, dapat dibaca dalam tulisan-tulisan GWR yang lain. (Misalnya soal pengertian istilah “agraria”, istilah “reforma agraria”, istilah “reformasi”, istilah “sumberdaya alam”, dan sebagainya.<br /><br />Bahan Bacaan<br /><br />Chodak, Simon, 1973. Social Development, New York: Oxford University Press.<br /> <br />Dube, S.C., 1988. Modernization and Development the Search for alternative Paradigm, London and New Jersey: the United Nations University Zed Books Ltd.<br /><br />Encyclopedia Americana, 1980, Vol 2, hal. 618.<br /><br />Gunawan Wiradi, 200. Reforma Agraria: Perjalanan yang belum Berakhir, Yogyakarta: Insist, KPA dan Pustaka Pelajar.<br /><br />Mills, C. Wright, 1977. The Sociological Imagination, Hardmondsworth, Middlesex, England: Pelican Books, Penguin Books, Ltd.<br /><br />Shepherd, A., 1998. Sustainable Rural Development, London: Mac Millan press Ltd.<br /><br />Soekarno, 1941 (?), “Menjadi Guru di masa Kebagunan”,dalam Di bawah Bendera Revolusi (1963), Jilid Pertama, hal. 611—627.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-55294578123401838292009-02-09T18:46:00.000-08:002009-02-09T18:52:03.247-08:00Mengapa Diperlukan Reforma AgrariaOleh Gunawan Wiradi<br /><br />Pengantar<br /><br />Ini pengantar dari “pengantar”. Sebab, tulisan pendek ini secara keseluruhan memang hanya sekadar pengantar diskusi. Masalah reforma agraria (yang intinya adalah land reform) sudah terlalu sering saya kemukakan, baik melalui tulisan-tulisan yang sudah diterbitkan maupun melalui makalah-makalah yang disampaikan dalam berbagai kesempatan. Hampir dua tahun yang lalu, di LP3ES (PSDAL) saya menyampaikan masalah agraria. Dengan demikian, barangkali akan membosankan jika harus mengulang-ulang hal yang sama walaupun itu penting. Oleh sebab itu, tulisan ini hanya mengandung dua bagian saja, yaitu: pertama, menguraikan secara amat ringkas konsep Reforma Agraria (RA) dan menjelaskan alasan-alasan mengapa RA diperlukan. Kedua, mencoba menjawab pertanyaan pertama.<br /><br />Mengapa Reforma Agraria<br /><br />Dalam sejarahnya yang amat panjang, yaitu lebih dari 2500 tahun, gagasan tentang ”pembaruan agraria” tentu saja mengilhami perkembangan, baik dalam konsptualisasinya maupun modal dan programnya. Namun, intinya tetap sama, yaitu ”penataan-ulang struktur pemilikan dan penguasaan sumber agraria demi kesejahteraan masyarakat, khususnya rakyat kecil, petani dan buruh tani” (Cf. Russel King, 1977). Inilah yang biasa disebut land reform.<br /><br />Sampai akhir abad XIX, kebijakan land reform pada dasarnya lebih merupakan kebijakan sosial-politik daripada kebijakan ekonomi, karena yang dipentingkan adalah keadilan dan pemerataan. Namun kemudian, aspek ekonomi menjadi pertimbangan penting agar hasil land reform itu sustainable. Demikianlah pada tahun 1880, Bulgaria melakukan land reform yang disertai dengan program-program penunjang di bidang ekonomi (King, 1977: ibid). Inilah yang kemudian disebut dengan istilah Agrarian Reform.<br /><br />Sesudah Perang Dunia Kedua, gagasan tentang Agrarian Reform ini juga menjadi program berbagai negara, bahkan juiga dipromosikan oleh PBB. Namun, istilah Agrarian Reform itu kemudian diperdebatkan, apakah jika maknanya demikian itu tidak berarti sama dengan Agricultural Development? Penggunaan istilah land reform dan agrarian reform lalu menjadi rancu, dan orang lalu lebih banyak menggunakan istilah Adricultural Development yang memang turut dipromosikan oleh mereka yang pada dasarnya anti-reform, sehingga lama-lama, tanpa disadari, gagasan land reform ditinggalkan. Akibatnya, selama 20 tahun terakhir ini, di berbagai negara berkembang timbul gejolak-gejolak sosial karena terhadinya keridakadilan agraria.<br /><br />Untuk menghindari kerancuan istilah, maka dalam wacana tingkat dunia, sebagian ilmuwan lalu menggunakan istilah dalam bahasa Spanyol, Reforma Agraria. Makna agraria bukanlah hanya sebatas tanah, apalagi hanya sebatas tanah pertanian.<br /><br />Mengapa perlu Reforma Agraria?<br /><br />Mengapa diperlukan Reforma Agraria? Ada dua tujuan utama, yaitu: (a) mengusahakan terjadinya transformasi sosial, dan (b) menangani konflik sosial, serta mengurangi peluang konflik di masa depan.<br /><br />Dalam proses Reforma Agraria, memang akan terjadi juga konflik, dan ini merupakan social cost yang harus dibayar. Tetapi, menurut seorang pakar, biaya sosial ini akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya sosial jika tidak dilakukan Reforma Agraria (lihat Eric Eckholm, 1979).<br /><br />Kondisi Keagrariaan Kita Dewasa ini dan 2—3 Tahun Mendatang<br /><br />Untuk dapat mengantisipasi apa yang akan terjadio di masa datang, diperlukan data yang memadai dan analisis yang cermat. Ini bukan hal yang mudah! Apalagi jika dilihat bahwa ketimpangan yang ada sekarang ini sedang diperumit oleh proses ”tarik-ulur” masalah otonomi daerah, oleh kekuatan-kekuatan neo-liberal melalui slogan ”globalisasi”.<br /><br />Suatu gejala yang sudah sangat dikenal oleh kita semua adalah bahwa Orde baru telah mewariskan ribuan kasus konflik agraria. Berbagai kasus tersebut tidak diselesaikan secara konfrehensif dan integral, sehingga ketika kemudian Orde Baru ”lengser”, maka kasus-kasus konflik itu meledak melalui ”panggung” lain (konflik antaretnik, antaragama, antarkelompok dan lain-lain), walaupun ”inti ceritanya” sebenarnya sama, yaitu ”agraria”.<br /><br />Jika didasarkan atas data statistik makro, dan dibandingkan antara hasil sensus pertanian tahun 1963, 1973, 1983, dan 1993, ternyata tringkat ketimpangan itu semakin tinggi, terutama dalam hal distribusi penguasaan tanah pertanian rakyat (diukur dengan Index Gini, berturut-turut keempat sensus itu angkanya adalah o,55; 0,52; 0,57; dan 0,59). Dari 1963 ke 1973, ketimpangan itu nampak menurun, disebabkan oleh pelaksanaan land reform di masa sebelum Orde Baru.<br /><br />Lebih dari 60% dari total produksi pangan nasional Indonesia (khususnya beras), dihasilkan di pulau Jawa, suatu pulau yang luasnya hanya 7% dari luasan seluruh Indonesia. Tetapi, selama Orde Baru, sampai dengan 1995 saja, tercatat sekitar 22 ribu hektar per tahun tahan pertanian di Jawa beralih fungsi. Padahal, secara agronomis, pulau Jawa-lah yang tanahknya paling subur bagi produksi pangan. Barangkali itulah salah satu sebab mengapa kita akhirnya terpaksa mengimpor beras.<br /><br />Barangkali, bagaimanapun juga, dalam pembangunan itu, alih dungsi lahan pertanian memang tidak bisa dielakkan. Namun, masalahnya adlah alih fungsi itu perlu diatur secara propoprsional dan terencana dengan mempertimbangkan keadilan dalam hal akses rakyat tani terhadap tanah garapannya. Masalah yang lebih krusial lagi adalah kenyataan bahwa alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian itu ternyata sebagian besar justru menjadi objek spekulasi. Artinya, tanah-tanah rakyat yang sudah ”dibebaskan” (digusur) itu ternyata tidak dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya. Sampai dengan tahun 1998, tanah-tanah tersebut yang sudah dialokasikan untuk perumahan, industri, jasa/pariwisata, dan perkebunan, sebagian besar (berturut-turut, 85%; 88%; 86%; 74%) diterlantarkan (lihat majalah Informasi, no. 224, Th. XVIII, 1998). Alasan ”terlantar” itu bisa saja bermacam-macam. Tapi, di balik itu, motifnya adalah spekulasi tanah.<br /><br />Semua krisis ekonomi yang pernah dialami dunia sumber pokoknya adalah satu, yaitu merajalelanya praktik spekulasi tanah (lihat Fred Harrison, 1983). Mekanismenya dua macam. Tanah didiamkan saja, tunggu harga naik, lalu dijual. Atau, tanah ditaruh sebagai agunan untuk mendapatkan kredit dari bank, tetapi kredit itu tidak dipakai untuk memanfaatkan atau membangun tanah tersebut sesuai dengan peruntukannya, melainkan dipakai untuk usaha lain. Akibatnya, banyak tanah-tanah ”terlantarkan”. Secara agregat nasional implikasinya adalah (a) pengangguran meningkat; dan (b) produktivitas menurun. Inilah, menurut Harrison, yang menjadi sumber krisis.<br /><br />Kondisi keagrariaan dalam beberapa tahun mendatang saya kira belum banyak berubah, karena seperti telah disinggung di depan, dalam berbagai hal sikap politik pemerintah maupun pihak legislatif masih belum menentu. Di samping itu, perkembangan kondisi agraria ke depan itu juga tergantung dari hasil ”tarik-ulur” mengenai wewenang antara pusat dan daerah dalam kerangka otonomi daerah.<br /><br />Jika pemerintah mempunya komitmen kuat untuk melakukan RA dan di lain pihak ”globalisasi” dianggap sebagai given, maka otronomi daerah akan menjadi ”pisau bermata dua”. Di satu sisi otonomi daerah bisa menjadi peluang bagi reform by leverage; tetapi di sisi lain, jika pemda-pemda mempunyai persepsi mengenai globalisasi, mengenai RA, dan mengenai otonomi daerah itu sendiri secara keliru, maka yang akan terjadi adalah kekacauan.<br /><br />Demikianlah secara amat singkat catatan-catatan yang dapat saya sampaikan sebagai ”pengantar”. Mudah-mudahan isinya dapat merangsang diskusi dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.<br /><br />Daftar Acuan<br /><br />Eckholm, Eric, 1979. The Dispossessed of the Earth: Land Reform and Sustainable Development, Worldwatch Paper-30, Worldwatch Institute.<br />Gunawan Wiradi, 2001. “Memperkuat Posisi Masyarakat dalam Pendayagunaan Sumberdaya Alam”, Makalah dalam Acara Seminar yang Diselenggarakan oleh PSDAL-LP3ES, Jakarta, Oktober 2001.<br />Harrison, Fred, 1983. The Power in the Land, Landon: Shepherd-Walwyn (Publisher) Ltd.<br />King, Russell, 1977. Land Reform: A World Survey, Colorado: Westview Press.Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-76437138257115514782009-02-04T03:01:00.000-08:002009-02-04T03:07:41.055-08:00Materialisme HistorisMaterialisme histori adalah penerapan pandangan materalis dan metode dialektis dari filsaffat materialisme dialektik pada gejala sosial atau didalam masyarakat. Materialisme histori adalah materialisme dialektiknya sejarah, atau materialisme dialektik yang berlaku didalam keadaan sosial atau didalam masyarakat.<br />Materialisme histori merupakan ciri dari kelengkapan dan kekonsekwenan filsafat materialisme dialektika Marx, yang membedakan filsafat Marx dari filsafat-filsafat sebelumnya.<br /><br /><br />Perbedaan filsafat Marx dengan filsfat-filsafat sebelumnya terletak pada soal : bahwa filsafat-filsafat sebelum Marx hanya berbicaa tentang gejala alam, sedang pendangannya tentang sejarh masyarakat tidak jelas dan konsekuen berbicara tentang gejala sosial atau sejarah masyarakat. Karena itu lahirnya filsfat MDH Marx merupakan suatu revolusi dari sejarah filsafat.<br />Materialisme Historis Marx mengajarkan tentang : keadaan sosial menentukan kesadaran sosial, hukum umum perkembangan masyarakat, basis dan bangunan atas.<br />Keadaan sosial menentukan kesadaran sosial.<br />Keadaan sosial mempunyai syarat-syarat dan terdiri dari tiga faktor yaitu : geografi, penduduk dan cara produksi.<br />Dari ketiga faktor keadaan sosial itu, yang paling menentukan adalah faktor cara produksi. Faktor cara produksi adalah faktor yang paling mobil, progresif dan revolusioner dalam mendorong maju keadaan sosial. Sedang faktor geografi dan faktor penduduk adalah faktor yang mempunyai pengaruh dan ikut menentukan dalam mendorong maju keadaan sosial, tapi tidak lebih cepat dari faktor cara produksi.<br />Faktor geografi dan faktor penduduk itu berubah dan berkembang sangat lamban. Begittu lambatnya berubah dan berkembanganya faktor georgrafi dan faktor penduduk itu, sehingga ketinggalan sangat jauh dari berubah dan berkembangnya faktor cara produksi. Karena itu peranannya dalam mendorong maju keadaan sosial sampai seperti tidak terasa. Maka hakekatnya berubah dan berkembangnya keadaan sosial menjadi ditentukan oleh berubah dan berkembangnya faktor cara produksi. Demikian kesadaran sosial yang ditentukan oleh keadaan sosial pada hakekatnya juga ditentukan oleh faktor cara produksi.<br />Adapun kesadaran sosial adalah suatu pengertian, pandangan dan sikap sosial manusia terhadap hidup dan kehidupannya. Serta terhadap hidup dan kehidupan sosial masyarakat. Kesadaran sosial seseorang tergantung dan ditentukan oleh keadaan sosialnya.<br />Keadaan sosial menentukan kesadaran sosial. Perubahan dan perkembangan keadaan sosial juga membawa dan menentukan perubahan dan perkembangan keadaan sosial. Walau begitu kesadaran sosial tidak bersikap pasif terhadap keadaan sosial. Kesadaran sosial mempunyai pengaruh aktif terhadap keadaan sosial, terhadap perubahan dan perkembangan keadaan sosial itu.<br />Faktor – faktor sosial yang mempengaruhi dan menentukan kesadaran sosial adalah geografi, penduduk dan cara produksi dengan peranannya masing-masing :<br />• Geografi ; Geografi meliputi unsur-unsur letaknya, bentuknya dan kegunaannya bagi produksi. Dari ketiga unsur itu yang paling penting peranannya dalam mempengaruhi dan ikut menentukan keadaan sosial, serta lebih lanjut mempengaruhi dan mentukan kesadaran sosial adalah unsur kegunaannya bagi produksi.<br />Geografi yang berbeda dari suatu negeri dan masyarakat, menimbulkan pula perbedaan keadaan sosial serta kesadaran sosial dari negeri dan masyarakat itu dengan keadaan dan kesadaran dari negeri negeri dan masyarakat lain yang berbeda geografinya.<br />Perubahan dan perkembangan geografi membawa dan menentukan pula perubahan dan perkembangan keadaan sosial. Dan lebih lanjut membawa perubahan dan perkembangan kesadaran sosial.<br />• Penduduk ;<br />Penduduk mempunyai dan meliputi unsur-unsur jumlah dan kepadatan. Unsur-unsur itu mempengaruhi dan ikut menentukan keadaan sosial yang selanjutnya mempengaruhi dan menentukan kesadaran sosial. Perubahan dan perkembangan penduduk ikut membawa dan menentukan perubahan dan perkembangan keadaan sosial yang lebih lanjut juga membawa perubahan dan perkembangan kesadaran sosial.<br />Perubahan dan perkembangan penduduk berlangsung dalam proses yang lebih cepat daripada proses perubahan dan perkembangan geografi.<br />• Cara produksi ;<br />Cara produksi terbentuk dan terdiri dari tenaga produktif dan hubungan produksi.<br />Cara produksi adalah faktor yang paling mempengaruhi dan paling menentukan keadaan sosial. Yang lebih lanjut berarti paling mempengaruhi dan paling menentukan kesadaran sosial. Perubahan dan perkembang cara produksi membawa dan menentukan pula perubahan dan perkembangan keadaan sosial yang lebih lanjut juga membawa dan menentukan perubahan dan perkembangan kesadaran sosial.<br />Proses perubahan dan perkembangan cara produksi sangat cepat, paling mempengaruhi dan paling menentukan dibanding dengan proses perubahan dan perkembangan geografi dan penduduk. <br />Proses perubahan dan perkembangan cara produksi dimulai dari proses perubahan dan perkembangan tenaga produktif serta ditentukan pada akhirnya oleh perubahan dan perkembangan hubungan produksi. Hubungan produksi menentukan cara produksi. Perubahan dan perkembangan hubungan produksi membawa perubahan dan perkembangan cara produksi.<br />Inti persoalan hubungan produksi adalah pemilikan atas alat produksi. Sedangkan inti persoalan pemilikan alat produksi adalah penentuan kedudukan sosial manusia dalam hubungannya antara yang satu dengan yang lain dalam proses produksi, dan lebih lanjut kedudukan sosial itu menentukan kesadaran sosial.<br />Kedudukan sosial manusia sebagai pemilik alat produksi menimbulkan dan menentukan kesadaran sosialnya, sebagai pemilik alat produksi untuk mempertahankan kepemilikannya atas alat produksi. Sebaliknya, kedudukan sosial manusia sebagai bukan pemilik alat produksi menimbulkan dan menentukan kesadaran sosialnya sebagai bukan pemilik alat produksi untuk anti pada pemilikan atas alat-alat produksi.<br />Demikian pada hakekatnya keadaan sosial ditentukan oleh hubungan produksi, dan kesadaran sosial ditentukan oleh kedudukan sosial dalam hubungan produksi itu. Kesadaran sosial itu hanya ada dua macam yaitu kesadaran sosial untuk mempertahankan pemilikan perseorangan atas alat produksi dan kesadaran sosial untuk pemilikan bersama secara kolektif atas alat produksi sebagai milik masyarakat.<br />Hukum umum perkembangan masyarakat :<br />Hukum umum perkembangan masyarakat adalah suatu hukum yang obyektif. Hukum itu timbul dan berlangsung secara obyektif didalam masyarakat, diluar kesadaran dan diluar kemauan manusia. Berlangsung dan terlaksananya tidak bisa dihindari dan tidak bisa ditolak oleh manusia dan oleh kekuatan apapun. Itu sudah menjadi kepastian sejarah dalam proses perkembangan masyarakat.<br />Hukum perkembangan masyarakat dimulai dari proses kebutuhan hidup manusia yang pokok, yaitu mempertahankan dan melangsungkan hidup dalam proses kehidupan dan perkembangan selanjutnya. Proses itu berlangsung secara obyektif dan berlaku sebagai hukum umum perkembangan masyarakat, bahwa :<br />1. Kebutuhan hidup manusia yang pokok adalah memepertahankan dan melangsungkan hidup.<br />2. Untuk bisa mempertahankan dan melangsungkan hidup, manusia harus makan, berpakaian dan bertempat tinggal. Itu merupakan syarat dan sebagai kebutuhan primer.<br />3. Untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya yang primer itu, manusia harus bekerja memproduksinya.<br />4. Untuk bisa bekerja dan memproduksi, manusia harus menggunkana alat kerja dan ada sasaran kerja. Alat kerja dan sasaran kerja itu merupakan dan disebut sebagai alat produksi. Dalam hal kerja itu juga harus ada atau tersedia tenaga kerja.<br />5. Tenaga kerja manusia dengan kecakapan dan keahliannya yang didapat dari pengalaman kerjanya beserta alat produksi merupakan tenaga produktif.<br />6. Tenaga produktif itu selalu berubah dan berkembang, tidak pernah tinggal diam atau berhenti pada satu saatpun. Tenaga produktif itu merupakan motor dari perkembangan maju masyarkat.<br />7. Perkembangan dan perubahan tenaga produktif dimulai pertama-tama dari perubahan dan perkembangan kecakapan dan keahlian tenaga kerja yang menggunakan alat kerja itu. Tenaga kerja itu merupakan faktor yang terpenting dalan tenaga produktif.<br />8. Tenaga produktiff selalu menuntut keharusan sesuainya hubungan produksi dengan perkembangan dan perubahan tenaga produktif itu pad setiap tingkat.<br />9. Hubungan produksi adalah hubungan antara manusia yang satu dengan lain dalam proses produksi, Hubunan produksi itu berlangsung karena untuk memproduksi, manusia tidak cukup hanya dengan menggunakan tenaga kerjanya sendiri dan alat produksi, tapi masih harus mengadakan hubungan dengan manusia lain yang merupakan dan disebut sebagai hubungan produksi.<br />10. Hubungan produksi mengandung isi yang pokook, yaitu kedudukan pemilikan atas alat produksi dalam proses produksi itu, artinya alat produksi dalam prroses produksi itu milik siapa. Milik bersama atau kolektif dari semua manusia dalam hubungan produksi itu, atau milik perseorangan secara sepihak dalam proses produksi itu juga.<br />11. Hubungan produksi itu menuntukan kwalitas suatu masyarakat. Berubah dan berkembangnya hubungan produksi berarti berubah dan berkembangnya suatu masyarakat.<br />12. Hubungan produksi harus selalu sesuai dengan tenaga produktif dalam setiap tingkat perubahan dan perkembangan tenaga produktif itu. Hubungan produksi itu berlangsung diluar kesadaran manusia,. Tetapi kesadaran manusiaa tidak berarti pasif. Kesadaran manusia juga mempeunyai peranan aktif dalam proses perubahan dan mendorong maju perkembangan hubungan produksi sesuai dengan perkembangan tenaga produktif.<br />13. Hubungan produksi merupakan bingkai dari tenaga produktif sebagaimana bentuk merupakan bingkai dari isi. Hubungan produksi itu bersifat pasif dalam setiap proses perubahan dan perkembangannya. Sebaliknya, tenaga produktif bersifat akttif dalam setiap proses perubahan dan perkembanganya. Perubahan dan perkembangan hubungan produksi selalu kemudian dari pada perubahan dan perkembangan tenaga produktif.<br />14. Hubungan produksi yang sudah menjadi sempit bagi perubahan dan perkembangan tenaga produktif, pada akhirnya akan dibongkar dan dihancurkan oleh perkermbangan dan watk tenaga produktiff itu. Dengan berubah dan berkembangnya hubungan produksi, berubah dan pberkembang pula masyarakatnya.<br />15. Keharusan sesuainya jhubungan produksi dengan perkembangan tenaga produktif itu merupakan suatu hukum dan yang mendorrong maju perkembangan masyarakat. Itu adalah hukum umum perkembangan masyarakat.<br />16. Hubungan produksi dan tenaga produk\tif merupakan cara produksi, dengan hubungan produksi sebagai ffaktor yang menentukan cara produksi, sebagaimana hubungan produksi menentukan kewalitas suatu masyarakat. Begitu hubungan produksinya, begitu pula cara produksi dan sistem ekonominya, yang berarti begitu juga kwalitas masyarakatnya. Berubah hubungan produksinya berarti berubah cara produksi dan sistem ekonominyaa, juga kwalitas masyarakat.<br />Basis dan bangunan atas<br />Basis adalah suatu sistem ekonomi. Faktor-faktor sistem ekonomi adalah pemilikian alat produksi, distribusi hasil produksi dan pertukaran dari hasil produksi itu. Dari tiga faktor itu yang paling menentukan adalah faktor pemilikan alat produksi.<br />Adapun bangunan atas adalah suatu pencerminan dari basis.<br />Bangunan atas berdiri diatas dan karena kekuatan basis. Bangunan atas terdiri atas dua faktor pelaksana atau realisator ide. Dari dua faktor itu, akhirnya yang penting dan menentukan adalah faktor alat pelaksana atau alat realisator itu.<br />Basis menentukan bangunan atas. Berubah dan berkembangnya basis, berarti berubah dan berkembangnya bangunan atas. Tapi bangunan atas tidak bersifat pasif. Bangunan atas mempunyai peranan aktif dalam mempengaruhi perubahan dan perkembangan basis, juga dalam mengubah dan mengembangkan basis itu. Pengalaman sejarah menunjukan bahwa pengubahan dan perubahan revolusioner basis selalu dimulai dari pengubahan dan perubahan revolusioner bangunan atas.<br />Pengubahan dan perubahan basis yang selalu dimulai dari pengubahan dan perubahan bangunan atas itu tidak berarti bahwa bangunan atas yang menentukan basis. Tapi tetap basis yang menentukan bangunan atas. Sebab bila pengubahan dan perubahan bangunan atas itu berhenti hanya pada pengubahan dan perubahan bangunan atas itu saja, dan tidak terus sampai pada pengubahan dan perubahan basis, maka akhirnya bangunan atas yang sudah berubah itu akan kembali seperti semulai sesuai dengan basisnya yang belum atau tidak berubah karena tidak diubah.Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-83152295019991030882009-01-30T05:34:00.000-08:002009-02-04T03:04:47.693-08:00Batu Sangkar, 28 – 29 Januari 2009.<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmcJ9cDBIlhAzNZpHdAdxIGQ9VSSOfEytfb89SOb3MVFxxL4YTrkOkn7EASbanhubfelS942pGMNqed9A300tQtGPDbbhuFJ3gmY5zUghMZITvy2vS_rrezUJNIPTiC4vMqyG_Xxncffkm/s1600-h/DSC02953.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 112px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmcJ9cDBIlhAzNZpHdAdxIGQ9VSSOfEytfb89SOb3MVFxxL4YTrkOkn7EASbanhubfelS942pGMNqed9A300tQtGPDbbhuFJ3gmY5zUghMZITvy2vS_rrezUJNIPTiC4vMqyG_Xxncffkm/s200/DSC02953.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5297080582988461298" /></a><br />Lokakarya hasil riset tentang Konflik penguasaan SDA di Nagari Guguk Malalo dan Nagari Sumpur di gelar. Agenda ini merupakan proses advokasi resolusi konflik SDA di nagari Guguk Malalo dan Nagari Sumpur yang digagas Qbar bersama mitranya sejak dua tahun terakhir.<br /> <br />Dalam lokakarya tersebut terungkap berbagai hal tentang konflik dua nagari tersebut, yaitu; pertama, konflik vertikal terjadi di nagari guguk malalo antara masyarakat nagari Guguk Malalo sebagai pemangku hak ulayat dengan pemerintah (Dephut) dalam kawasan hutan lindung dan cagar alam. Kedua, konflik horizontal terjadi di nagari sumpur seputar batas nagari dengan nagari tetangganya, yakni Nagari Bungo Tanjung.<br /> <br />Berbagai upaya resolusi konflik telah di tempuh dua nagari ini. Bagi nagari guguk malalo melahirkan Peraturan Nagari tentang “Pengukuhan Hak Ulayat dan Pengelolaan Hak Ulayat di Nagari Guguk Malalo” sebagai bentuk tuntutan pengakuan hak ulayat atas hutan / SDA, sedangkan di nagari Sumpur, upaya pemahaman ke pelbagai stakeholder (terutama Pemerintah Kabupaten Tanah Datar) tentang konflik tapal batas nagari di lakukan.<br /><br />Respon pemerintah daerah kabupaten tanah datar sangat baik soal konflik yang terjadi. Dalam audensi bersama Bpk Shadig Pasadigue (bupati tanah datar) di sela-sela lokakarya terlihat bahwa pemahaman dan komunikasi para pihak tentang konflik SDA perlu dibangun untuk upaya solusi konflik SDA yang sinerjis dengan cara-cara damai dan seimbang.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-59547985381910269572009-01-06T20:20:00.000-08:002009-02-04T03:05:38.610-08:00Perlu Perda Penentuan Tapal Batas AntarnagariRabu, 07 Januari 2009<br />Padang, Padek—Aroma konflik tapal batas antarnagari seakan tak mau beranjak dari Ranah Minang pascaotonomi daerah dan pembelakuan sistem pemerintahan nagari. Ketegangan demi ketegangan terus terjadi dan menjalar ke berbagai sudut nagari. <br />Tidak saja saling klaim kepemilikan tanah, tetapi sampai aksi bakar-bakaran seperti yang terjadi beberapa kali antara Nagari Saniang Bakar versus Muaro Pingai di Kabupaten Solok beberapa waktu lalu. Baru-baru ini, muncul lagi konflik antara Nagari Lubukbasung dan Nagari Kampung Pinang di Agam. <br />Bahkan ribuan massa dari Nagari Lubukbasung sudah sempat berkumpul untuk memasuki wilayah perbatasan. Warga nagari Kampung Pinang pun sudah berjaga-jaga, siap menghadapi segala kemungkinan. Untungnya polisi sigap dan segera menutup akses ke daerah konflik tersebut. Usut punya usut ternyata perang dingin itu sudah sejak lama. Padahal nagari itu dulunya satu keselarasan. <br />Dalam catatan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) terdapat beberapa nagari yang berpotensi konflik. Di antaranya Nagari Aua Kuning versus Aia Tabik di Payakumbuh, Nagari Pangkalan versus Kapur Sembilan di Limapuluh Kota, Palembayan versus Lawang di Agam, Padang Sibusuak versus Kampung Baru di Sawahlunto, Kataping versus Pasar Usang di Pariaman dan Siguntur versus Aka Lunang di Pessel dan lainnya. <br />Bahkan LSM Q-Bar menegaskan hampir semua nagari (543 nagari) berpotensi konflik sekalipun masih laten karena sampai sekarang batas antar nagari tidak jelas. Namun konflik laten bisa termanifestasi menjadi aksi kekerasan. Pagar Alam Masyarakat Sumbar (Palam) mengidentifikasi beberapa hal yang dapat memicu konflik tapal batas antar nagari. Di antaranya rebutan sumber daya alam di wilayah perbatasan, perbedaan antara wilayah administrasi adat dan nagari serta belum adanya aturan sebagai referensi tentang tata cara penetapan tapal batas tersebut. <br />Belum lagi, wilayah adat merupakan satu kesatuan adat yang tidak bisa ditarik secara administrasi. Sementara sistem pemerintahan nagari yang kini berlaku lebih bercorak administratif bukan keutuhan adat. Selain itu Q-Bar menilai penyelesaian yang dilakukan pemerintah selama ini cenderung pendekatan hukum formal dan mengabaikan pendekatan kultural. Padahal konflik dan klaim kepemilikan atas lahan bisa diurai karena umumnya mereka berasal dari nagari yang sama. <br />Saat ini Q-Bar terlibat dalam penyelesaian konflik Nagari Sumpur dengan Nagari Bungo Tanjung di Tanahdatar. Koordinator Bidang Pembaruan Hukum dan Kebijakan Q-Bar Nurul mengungkapkan dua nagari tersebut dulunya berasal dari satu nagari yakni Pariangan maka tidak mungkin tidak ada titik temu dan kesamaan. “Pasti ada titik temu. Asal usulnya kan sama. Kecuali konfliknya beda asal usul, misalnya warga trans dengan lokal Namun kita harus hati-hati karena resolusi konflik horizontal belum ada,” ungkapnya. <br />Kemudahan Akses <br />Rifai, Analis dari Palam mengungkapkan semangat pembentukan nagari lebih banyak dipengaruhi kemudahan akses pelayanan, jumlah penduduk dan potensi ekonomi nagari. Sistem sosial tidak menjadi pertimbangan utama dalam pembentukan nagari sehingga menimbulkan konflik tapal batas antar nagari. <br />“Berbeda dengan pembentukan desa yang nyaris tak ada persoalan tapal batas karena mereka tidak punya kekayaan bawaan seperti nagari. Kekayaan desa adalah kekayaan yang dibangun. Sementara kekayaan nagari adalah kekayaan bawaaan,” terang Rifai. Aktivis yang kini bergiat di Yayasan Cinta Mentawai (YCM) ini menegaskan pemerintah harus mengambil peran dalam menyelesaikan konflik tapal batas dengan mengedepankan format pengelolaan secara bersama antar nagari terutama yang menyangkut potensi ekonomi. <br />Format ini selain bisa meningkatkan kesejahteran masyarakat juga akan memudahkan dalam melakukan pengawasan dan perlawanan terhadap pihak-pihak yang ingin merusak nagari seperti cukong kayu. Menurutnya Pemprov Sumbar bisa menerbitkan peraturan gubernur (Pergub) tentang tata cara penetapan tapal batas tetapi dalam pelaksanaannya haru dilakukan secara partisipatif. Namun peran pemerintah hanya mengukuhkan tapal batas yang sudah disepakati bersama antar nagari. <br />Dengan pola ini katanya Badan Pertanahan Negara (BPN) tidak akan mengalami resistensi dari masyarakat saat melakukan pengukuran dan pemetaan batas-batas nagari. “Tapal batas yang sudah dikukuhkan pemerintah dan sudah diukur BPN harus dibuatkan penanda yang sifatnya permanen. Sebab penentuan tapal batas tidak lagi bisa dilakukan secara imajinatif dan berdasarkan petatah petitih,” jelasnya. <br />Sekretaris Umum Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar Muhammad Sayuti Datuk Rajo Pangulu juga menyampaikan hal yang sama. Menurutnya yang dibutuhkan bukan sekadar Pergub tetapi Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur penentuan batas-batas nagari. “Hal ini sudah sering kita sampaikan kepada pemerintah daerah tetapi tidak pernah digubris,” ungkapnya. <br />Meski bukan kewenangan provinsi terang Sayuti minimal daerah punya pedoman dalam penyelesaian konflik tapal batas tersebut. Namun pembahasan harus melibatkan semua pihak. Menurutnya jika konflik tapal batas ini tidak segera dituntaskan dampak ikutannya besar. Salah satunya investor bakal enggan masuk ke Sumbar. “Belum apa-apa sudah ada klaim dari berbagai pihak. Investor tidak akan pernah nyaman. Yang rugi masyarakat nagari,” tukasnya. <br />Muhammad Sayuti yang juga Sekretaris Komisi IV DPRD Sumbar ini menegaskan banyak referensi yang bisa digunakan untuk menentukan tapal batas di antaranya peta zaman belanda, peta nasional, keadaan alam dan sumpah dari jiha nan ampek (penunjuk yang empat, red) yang disumpah dengan Alquran untuk bakato bana (berkata benar, red). “Sayangnya, selama ini pemerintah tidak pernah memfasilitasi ninik mamak untuk menyelesaikan sengketa tapal batas ini secara adat,” ungkapnya. <br />Belum selesainya penetapan tapal batas ini lanjut Sayuti juga bakal mengganggu finishing penetapan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Sumbar. Sebab, ninim mamak yang mengerti potensi wilayah dan berperan dalam pengamanannya tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan RTRW. “Lembah Anai misalnya yang ditetapkan sebagai cagar alam dalam bahasa adatnya kan sama dengan rimbo rayo. Penetapan dan pengelolaannya harus melibatkan ninik mamak dan pemangku adat,” tukasnya. (geb)Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-34994282504289986742009-01-04T21:16:00.000-08:002009-02-04T03:06:07.141-08:00Nasib Hak Ulayat Atas Tanah dan Hutan<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjrV_W9Kdq4SShfaFecbOmyRrBVi9ASb-qIvDR2BDn9owQ6KuzVqqVrXxhcXYJ1guruWR_art3R8wUU4IRbbvKfX7flJN6dsBurB2X-vwIvsfJ9fk49mYlCsgktbf_H07XIMEQvydWEYbGQ/s1600-h/Foto(187).jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjrV_W9Kdq4SShfaFecbOmyRrBVi9ASb-qIvDR2BDn9owQ6KuzVqqVrXxhcXYJ1guruWR_art3R8wUU4IRbbvKfX7flJN6dsBurB2X-vwIvsfJ9fk49mYlCsgktbf_H07XIMEQvydWEYbGQ/s200/Foto(187).jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5287675842350543234" /></a><br />Oleh<br />Nurul Firmansyah, SH<br />(Peneliti Pada Perkumpulan Qbar, Padang (www.Qbar.or.id))<br /><br />Konflik-konflik hak ulayat atas tanah dan hutan pada tahun 2008 mewarnai perjalanan kehidupan bermasyarakat di sumatera barat. Menurut catatan BPN Propinsi Sumatera Barat (2008), terdapat 801 konflik tanah (agraria) dengan proporsi terbesar di konflik tanah ulayat, sehingga daerah ini menduduki peringkat ketiga Nasional dalam sengketa agraria. Berbagai Konflik-konflik tersebut bila di telaah lebih cermat di bagi atas dua kategori, yakni konflik yang bersifat horizontal, dan konflik yang bersifat vertikal.<br /><br />Pada kategori pertama berhubungan dengan konflik hak ulayat yang melibatkan masyarakat nagari dengan masyarakat nagari lainnya dan konflik dalam internal masyarakat nagari, seperti; konflik tapal batas nagari muaropingai-saniangbaka di kabupaten solok--- yang terakhir di nagari lubuk basung, kabupaten agam --- dan berbagai konflik tanah kaum dalam nagari. Sedangkan pada kategori kedua berhubungan dengan konflik hak ulayat yang melibatkan masyarakat nagari dengan negara (pemerintah) dan atau pemilik modal, seperti; konflik nagari-nagari dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di pesisir selatan, konflik perkebunan kelapa sawit di kampung aie maruok kabupaten Pasaman Barat, dan berbagai konflik lainnya yang melibatkan peran aktif negara dan pemilik modal dengan masyarakat nagari.<br /> <br />Mengurai Konflik <br />Konflik-konflik hak ulayat menurut DR. Afrizal ( FISIP UNAND, 2007) berkaitan dengan tekanan kekuatan dari luar komunitas (masyarakat) nagari sehingga melemahkan otonomi nagari dalam meresolusi konflik dan bahkan mengancam eksisitensi penguasaan ulayat itu sendiri, artinya konflik horizontal berhubungan erat dengan konflik vertikal. Kekuatan-kekuatan yang menekan tersebut aktif dilakukan oleh negara dan pemilik modal, baik melalui penerapan hukum formil (baca; hukum negara) represif yang nirperlindungan hak-hak masyarakat adat dengan acap kali dibarengi oleh dukungan modal. Tesis ini secara praksis terlihat dari; Penunjukan kawasan hutan negara secara sepihak, klaim HGU, HPH, dan hak-hak lainnya dari hukum negara terhadap hak ulayat masyarakat nagari. Berbagai kasus di sumatera barat menunjukkan fenomena tersebut, tengok saja konflik hak ulayat di pelbagai kawasan hutan di sumatera barat, konflik tanah ulayat di sentra-sentra perkebunan kelapa sawit, yakni; pasaman barat, solok selatan dan pesisir selatan, dan berbagai konflik hak ulayat lainnya memperlihatkan peran penting negara dan pemilik modal dalam kasus-kasus itu.<br /> <br />Fenomena diatas berakibat pada penghilangan dan atau pengkaburan hak ulayat atas tanah dan hutan. Selain itu berakibat juga pada peruntuhan daya paksa norma-norma adat dalam mengatur lalu lintas pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan hutan bagi anggota masyarakat nagari maupun terhadap kelompok lain di luar masyarakat nagari. Artinya hal ini bukan hanya melulu pada soal konflik hak ulayat, namun telah berlanjut pada konflik hukum, yakni antara hukum negara dengan hukum adat yang hidup di masyarakat nagari yang berpengaruh besar terhadap kebutuhan tertib sosial masyarakat secara lebih luas.<br /><br />Alpanya Perlindungan hak Ulayat.<br />Perbedaan paradigma antara hukum negara dengan hukum adat merupakan penyebab utama konflik ini. Paradigma hukum negara yang mengatur tanah dan hutan bersifat individual, formal dan menitikbertakan pada sisi ekonomi bertabrakan dengan paradigma hukum adat yang komunal, informal dan bukan hanya bersisi ekonomi, namun juga kultural - sosial. Perbedaan tersebut nyata-nyata belum diakomodir oleh hukum negara sehingga memunculkan ruang kosong antara hukum negara dengan hukum adat (Legal Gap) yang tentunya mendorong marjinalisasi hak ulayat atas tanah dan hutan dalam hukum negara. Baik itu UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan (UUK) dan UU Pokok Agraria (UUPA) belum tuntas mengakui keberadaan hak ulayat secara utuh atas hutan dan tanah. UUK memposisikan hutan adat (ulayat) determinan atas hutan negara sedangkan UUPA membatasi berlakunya hak ulayat dengan dalil “kepentingan nasional.” Memisahkan hak ulayat dari kepentingan nasional bukanlah hal yang logis sebab kepentingan-kepentingan masyarakat adat seutuhnya bagian dari kepentingan nasional. Pemisahan tersebut tentunya melahirkan stereotipe negatif bagi keberadaan hak ulayat dan masyarakat adat itu sendiri.<br /><br />Batasan kepentingan nasional dalam UUPA tidak dijelaskan lebih lanjut, sehingga melahirkan interpretasi beragam. Interpretasi itu disesuaikan dengan kebutuhan rezim yang berkuasa di negeri ini. Secara in concreato penafsiran kepentingan nasional acap kali di distorsi sesuai dengan kebutuhan rezim yang berkuasa terutama setelah rezim Orde Baru hadir yang memilih pertumbuhan ekonomi dengan topangan pemilik modal besar sebagai strategi ekonominya, sehingga kebutuhan ekstraksi tanah dan hutan adalah keniscayaan. Sampai saat ini pun kecenderungan tersebut masih berlaku.<br /><br />Otonomi daerah<br />Bergulirnya reformasi membuka “kran” politik dan partisipasi masyarakat dalam proses hukum, dibarengi dengan penyebaran kuasa-kuasa negara ke daerah. Pada prinsipnya, otonomi daerah menghargai kebutuhan keberagaman daerah dalam kehidupan bernegara yang tentunya menghargai juga keberagaman identitas masyarakat adat. Propinsi sumatera barat menangkap peluang itu dengan mencoba merekonstruksi ulang nagari sebagai basis pemerintahan dan kesatuan masyarakat adat melalui perda 9 tahun 2000 sebagaimana di rubah dengan Perda No.2 tahun 2007 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari (perda Pemerintahan nagari), sejak itulah semangat kehidupan bernagari bergeliat <br /><br />Perda pemerintahan nagari secara jelas menyebutkan ulayat nagari sebagai bagian dari harta nagari yang bisa dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan hukum adat yang ada di nagari, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Perda Propinsi Nomor 6 tahun 2007 tentang tanah ulayat dan pemanfaatannya (Perda TUP), Nyatanya hal tersebut belum sepenuhnya terpenuhi akibat benturan kebijakan kehutanan dan pertanahan nasional dan substansi Perda TUP yang belum tuntas mengatur perlindungan hak ulayat atas tanah dan hutan. Dalam Perda TUP , semangat pemanfaatan lebih ketara dari pada semangat perlindungannya, sehingga belum menjawab persoalan mendasar hak ulayat atas tanah dan hutan, hal ini terlihat dari; pertama, masih diadopsinya HGU, dan Hak Pakai dalam memanfaatkan hak ulayat yang selama ini sebagai sumber konflik hak ulayat. Kedua, mendorong sertifikasi tanah ulayat yang berpotensi pada penyerahan hak kepada pihak ketiga di luar komunitas nagari. Ketiga, belum jelasnya mekanisme resolusi konflik pada tanah dan hutan ulayat yang telah dikuasai oleh negara dan atau pemilik modal (pihak ketiga).<br /><br />Nasib hak ulayat atas tanah dan hutan di sumatera barat nampaknya tidak berbeda jauh dari kondisi sebelumnya, sehingga berbagai konflik hak ulayat niscaya masih berkobar. Namun dari kondisi itu, peluang untuk mencari solusi persoalan hak ulayat atas tanah dan hutan masih terbuka dengan melahirkan kebijakan di tingkat daerah kabupaten dan kota yang mengutamakan perlindungan hak ulayat, bukan pada pada sisi pemanfaatannya saja. Urgensi pengaturan perlindungan hak ulayat terutama di daerah-daerah sentra perkebunan besar dan konsesi kehutanan, yakni kabupaten Pasaman Barat, Solok Selatan dan Pesisir Selatan. Adapun substansi perlindungan tersebut, adalah; pertama; mengukuhkan hak ulayat atas tanah dan hutan, kedua, menghargai pola pemanfaatan yang hidup di nagari, baik itu bagi masyarakat nagari maupun pihak ketiga dan ketiga, merancang resolusi konflik yang utuh terutama pada tanah dan hutan yang telah dikuasai oleh negara dan atau pemilik modal serta peran aktif-partisipatif pemerintah kabupaten dalam menyikapi konflik horizontal hak ulayat dengan pendekatan sosial – kultural. Akhir kata, Semoga persoalan hak ulayat atas tanah dan hutan di tahun 2008 dapat menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua dalam mencari solusi yang baik untuk menjawab pelbagai persoalan tersebut di tahun 2009 ini.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-60756015255018343332009-01-04T21:09:00.000-08:002009-01-04T21:11:41.140-08:00Konflik Nagari Lubuk Basung-Nagari Kampung Pinang di Kabupaten AgamMinggu, 04 Januari 2009<br />Nyaris Perang Saudara, Akhirnya Sepakat Musyawarah<br />”Perang saudara” nyaris pecah di Lubukbasung, Sabtu (3/1). Ribuan warga yang sudah berkumpul sejak pagi di kantor KAN Lubukbasung berniat menggelar aksi goro massal di kawasan perbatasan yang menjadi pemicu persoalan antar nagari tersebut, Lubukbasung dan Kampung Pinang. Untungnya Polres Agam sudah menutup semua akses menuju perbatasan dengan brikade polisi. <br />Di tengah-tengah hujan lebat sekitar pukul 11.00 WIB, ratusan massa terus merengsek dari kantor KAN Lubukbasung kawasan Pasar Lamo Lubukbasung menuju lokasi Goro. Warga Nagari Lubukbasung yang emosi menggunakan pita kuning bergerak menggunakan truk, mobil dan sepeda motor melintasi kawasan pusat kota melewati Surau Kariang menuju Cumateh. <br />Namun di Simpang Ujuanglabuah, ratusan massa terhanan barikade polisi yang sudah siaga sejak pagi mengantisipasi berbagai kemungkinan dan dipimpin langsung Kapolres Agam Maulida Gustina didampingi Wakapolres Kompol Febrialta, Kasat Reskrim AKP Masril, Kasat Intelkam Elvi Rinaldi, Kasat Lantas AKP Sukatno, Kabag OPS, Kapolsek Lubukbasung AKP Sumintak serta para perwira lain termasuk PJ Danramil Lubukbasung Kapten CZI Imam Safei. <br />Seluruh akses jalan sengaja ditutup untuk menghindari masa menuju lokasi perbatasan. Di Ujuang Labuah, sempat terjadi perdebatan hangat, namun tidak memicu bentrokan dengan aparat kepolisian yang bersama pasukan anti huru-hara yang siaga. <br />Untungnya unsur ninik mamak Lubukbasung langsung terjun ke lapangan, seperti M Dt Singo Marajo, N Dt Rajo Marah, Wali Nagari Lubukbasung Yunaldi St Arifin, Irwan Dinar dan tokoh pemuda lain memberi pengertian kepada massa agar masalah tersebut diselesaikan secara musyawarah. Ninik mamak meminta seluruh warga kembali ke kantor KAN Lubukbasung sampai ada putusan musyawarah bersama Muspida Agam yang dijadwalkan berlangsung pukul 14.00 WIB. <br />Walau banyak yang mengomel, massa akhirnya berhasil ditarik mundur ke Lubukbasung namun, di kawasan Padang Baru—massa yang emosi justru berputar ke Pasar Balai Salasa. Di Pasar Balai Salasa, juga sudah menunggu barikade polisi persis di simpang Pasar Balai Salasa menggunakan meja, kursi dan mobil aparat. <br />Massa yang dibalut emosi, nyaris tak terbendung saat bersikeras masuk ke simpang Balai Salasa itu, namun setelah dijelaskan pelaku pemukulan wali nagari Yunaldi St Arifin dan pelecehan ninik mamak N Dt Simarajo sedang menjalani pemeriksaan di Polres Agam dan utusan pemuda diperkenankan untuk melihat langsung untuk pembuktian. <br />Di Polres Agam sendiri sempat terjadi insiden, namun langsung diatasi, saat utusan pemuda Lubukbasung menyaksikan para pelaku sedang diperiksa aparat di ruang riksa satreskrim Polres Agam. Upaya maksimal tokoh ninik mamak dan pemuda masyarakat dari dua nagari, Lubukbasung dan Kampung Pinang berhasil meredam gejolak emosi masyarakat sehingga bentrokan bisa dihindari. <br />Unsur muspida Agam sendiri langsung bersikap dengan menggelar pertemuan darurat di kediaman Bupati Agam. Muspida Agam dipimpin Bupati Aristo Munandar didampingi Kapolres Agam AKBP Maulida Gustina, Dandim 0304 Agam Letkol Inf Aristo Sudjatmiko, Kaban Linmaskesbangpol M Dt Maruhun dan unsur terkait lain mengelar pertemuan secara terpisah dan bergantian dengan wali nagari, utusan ninik mamak, Bamus dan pemuda dari nagari Lubukbasung dan Kampung Pinang. <br />Pertemuan pertama dengan utusan nagari Lubukbasung diwakili wali nagari Yunaldi St Arifin, M Dt Singo Marajo, N Dt Asa Labiah, Helmon Vera Cristian (BAMUS), S St Perpatiah, A Dt.Rajo Mangkuto dan M Dt Rajo Marah. Dalam pertemuan itu, utusan warga Lubukbasung sepakat bermusyawarah, namun diharapkan proses hukum bisa berlanjut, termasuk kasus pelecehan terhadap ninik mamak meeka. <br />“Kami berharap hal itu bisa disepakati, “ ungkap Y.St.Arifin, Vera Cristian, N.Dt. Asa Labiah ,M.Dt.Singo Marajo, Helmon dan S.St.Perpatiah. Sementara untuk penyelsaian batas nagari, mereka minta Pemkab Agam bisa menjadi mediator dan sekaligus menghadirkan tokoh ninik mamak dari Nagari Garagahan. Hal itu disanggupi bupati dan muspida Agam yang akan dibahas oleh tim khusus yang dibentuk. <br />Usai pertemuan dengan utusan Nagari Lubukbasung, Sabtu sore Muspida Agam menggelar pertemuan dengan utusan Nagari Kampung Pinang yang dihadiri Wali Nagari Kampung Pinang Yuharnel, B Dt Bandaro Putiah, N Dt Rajo Mantari, N Dt Mantari Sati, Dt Manindiah dan Mardaswanto . <br />Mereka juga meminta bupati Agam memediatori penyelesaian masalah tersebut secara musyawarah. Juga meminta anak kemenakan mereka yang kini diperiksa di Polres Agam tidak ditahan. Utusan nagari Kampung Pinang berharap, penyelesaian masalah batas diselesaikan di daerah netral. <br />Ninik mamak Nagari Kampung Pinang mengusulkan penyelesaian digelar di Nagari Garagahan dengan menghadirkan ninik mamak nagari Garagahan selaku penengah. N Dt Rajo Mantari sempat menangis menahan kesedihan sebagai wujud prihatinnya atas kasus tersebut. <br />“Kami berharap masalah itu, bisa diselesaikan segera, kami badunsanak pak, kami sabuah mimba, kami sainduak saayah dengan Lubukbasung pak, kami prihatin akan kejadian ini, “ ungkapnya. <br />Kerahkan Seluruh Personil <br />Pihak Polres Agam sendiri untuk mengantisipasi munculnya bentrokan antar sesama warga dari dua nagari bertikai itu, mengerahkan seluruh kekuatan . Bahkan empat titik jalan masuk ke nagari Kampung Pinang sengaja ditutup dengan barikade polisi. <br />Upaya ini terlihat berhasil, apalagi tokoh ninik mamak dan pemuka masyarakat dari kedua nagari bisa saling memberi pengertian dan bisa menahan diri. Pasalnya, di Kampungpinang massa juga sudah berkumpul menunggu kedatangan massa dari Lubukbasung. <br />Pihak Polres Agam juga sudah menyikapi aspirasi warga Lubukbasung itu dengan memeriksa pelaku pemukulan dan pengancaman sehingga bisa sedikit meredam gejolak emosi warga. <br />Kapolres Agam AKBP Maulida Gustina di Ujuanglabuah kepada wartawan menyebutkan, pihaknya sengaja mengerahkan seluruh personil untuk menutup ruas jalan menuju Kampung Pinang. Langkah itu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya bentrokan antar warga kedua nagari yang bertikai. <br />Ruas jalan yang ditutup terutama di Ujuanglabuah, Simpang Balai Salasa, Simpang Kampuang Tangah dan Sungai Jariang yang dijaga ketat seluruh personil polisi yang diterjunkan ke Lubukbasung termasuk personil Polsek di seluruh wilayah Polres.Agam, langkah ini dinilai efektif, dibuktikan aksi bentrokan bisa diredam. <br />Bentuk Tim Khusus <br />Bupati Agam Aristo Munandar langsung membentuk tim khusus penyelesaian sengketa batas wilayah tersebut. Dijadwalkan Muspida Agam bersama unsur terkait akan langsung menggelar pertemuan Sabtu malam untuk membahas langkah-langkah penyelesaian. <br />Informasi yang diperoleh Padang Ekspres, hingga Sabtu malam pihak kepolisian masih terus disiagakan di lapangan mengantisipasi gejolak lanjutan. Meski sebelumnya unsur terkait dari kedua nagari sudah diminta untuk saling menahan diri. <br />Hingga berita ini diturunkan suasana tegang masih terasa di Lubukbasung. Namun tokoh-tokoh masyarakat dan ninik mamak dari kedua nagari meyakinkan masyarakat bisa diberi pengertian untuk saling menahan diri. (harmen)Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-45362020246871597462008-12-13T00:09:00.000-08:002008-12-13T00:11:13.373-08:00Privatisasi Tanah Ulayat DitentangKamis, 11 Desember 2008 <br /> Padang, Padek-- Gelombang unjuk rasa atas 10 tahun reformasi dan 60 tahun hari HAM Sedunia, ternyata juga terjadi di Padang. Kemarin, sekitar 100 orang massa yang merupakan gabungan LSM, mahasiswa, kaum buruh dan... <br />...Komnas HAM Sumbar melakukan aksi penolakan pelanggaran HAM di pelataran Parkir gedung DPRD Sumbar. Salah satu poin tuntutannya menentang privatisasi tanah ulayat yang bisa berdampak pada beralih fungsinya tanah di Minangkabau yang kepemilikan awalnya bersifat komunal, menjadi milik pribadi. <br /> Dalam orasinya, Koordinator Lapangan Aksi, Rony Saputra, menyatakan hingga kini perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan HAM masih belum berhasil dipenuhi oleh pemerintah. Kenyataan tersebut dibuktikan dengan semakin meningkatnya jumlah pelanggaran HAM yang terjadi dan umumnya dilakukan oleh oknum aparat. <br />Menurut Rony, dari 420 kasus yang terdata oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, 215 kasus pelanggaran dilakukan oleh aparat pemerintah (legislatif 53 kasus, perusahaan 52 kasus, kepolisian 40 kasus, TNI 16 kasus dan Sat Pol PP 11 kasus). Kenyataan ini, menurutnya, jelas menjadi rapor merah yang harus dibenahi oleh pemerintah. <br />Selain Rony, masing-masing pihak yang turut serta dalam aksi menyatakan tuntutannya mereka agar pemerintah memproses dan mencegah agar jangan semakin bertambahnya pelanggaran HAM yang terjadi di masyarakat. <br />Era, sebagai perwakilan dari Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian Kemasyarakatan (LAM&PK) Fakultas Hukum Unand menuntut dibatalkannya rencana privatisasi pendidikan. Menurutnya, langkah ini akan membuat biaya pendidikan di masa datang akan meningkat tajam. <br />Sementara pada kenyataannya, di lingkungan kampusnya sendiri saat ini, tak sedikit mahasiswa yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah. “Pendidikan bukan hanya milik yang mampu. Mendapatkan pendidikan merupakan hak setiap warga negara Indonesia,” ujarnya. <br />Lain halnya dengan perwakilan kaum buruh. Adek, yang mewakili Aliansi Pekerja Selamatkan Indonesia (APSI) menuntut pemerintah meningkatkan pengawasan terhadap aparaturnya yang sering melakukan “kongkalikong” dengan pihak pengusaha dalam memproses perkara hukum buruh. <br />Keadan ini, menurut Adek, seringkali menyudutkan kepentingan kaum buruh. Sehingga, harapan kaum buruh untuk mendapatkan nilai-nilai keadilan saat menempuh proses hukum saat ini masih belum sepenuhnya terpenuhi. <br />Vino Oktavia sebagai perwakilan LBH Padang menyorot pelanggaran HAM yang muncul pada privatisasi tanah ulayat yang kini telah diatur dalam Perda Nomor 6 Tahun 2008. Menurutnya, privatisasi ini nantinya akan berdampak pada pelanggaran hak-hak masyarakat atas lahan dan kehancuran masyarakat adat di Minangkabau. <br />“Dengan adanya Perda ini, akan terbuka peluang hukum untuk melakukan sertifikasi tanah ulayat. Kenyataan ini akan berdampak pada beralih fungsinya tanah di Minangkabau yang awalnya kepemilikannya bersifat komunal, menjadi milik pribadi. Ini tentu saja berefek negatif dan mendorong terjadinya pelanggaran terhadap hak masyarakat adat atas pengelolaan lahan yang ada di Sumbar,” ujarnya. <br />Aksi yang berlangsung selama 2 jam tersebut berakhir dengan penandatanganan pernyataan sikap oleh para peserta aksi untuk menolak segala bentuk tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap HAM. (cr3)Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-10320545095514394722008-11-10T21:47:00.000-08:002008-11-10T21:54:31.638-08:00KEDAULATAN PANGAN, MASIH JAUH DARI HARAPAN<span style="font-weight:bold;">Oleh : Mora Dingin </span><br /><br />Konsep kedaulatan pangan baru dikenal sejak tahun 1996 untuk merespon ancaman Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kepada negara-negara miskin dalam menyediakan makanan pokok kepada penduduknya. Di populerkan pertama kali oleh organisasi petani Internasional La Via Campesina saat Deklarasi Tlaxcala di Mexico, kedaulatan pangan mengacu kepada aspek pengambilan keputusan secara berdaulat ditingkat nasional (lokal) dalam soal ketahanan pangan. <br />Intinya adalah bahwa urusan pangan menekankan kepada keputusan pemerintah nasional (lokal) bukan kepada badan perdagangan internasional seperti WTO. Sedangkan defenisi lengkap kedaulatan pangan adalah terumus dalam deklarasi akhir Worl Forum On Food Sovereignty di Havana, Kuba, lima tahun kemudian .Kedaulatan pangan adalah instrumen untuk menghapus kelaparan, kurang gizi serta untuk menjamin ketahanan pangan yang berkelanjutan bagi semua orang. <br />Kedaulatan pangan juga merupakan hak rakyat untuk menentukan kebijakan dan strategi sendiri atas produksi, distribusi dan konsumsi pangan yang berkelanjutan yang menjamin atas hak pangan bagi seluruh penduduk bumi berdasarkan produksi bersekala kecil, menengah menghargai kebudayaan lokal dan keberagaman kaum tani dan nelayan. La Via Campesina sendiri merumuskan kedaulatan pangan adalah sebuah hak rakyat suatu negeri atau negara dalam menetapkan kebijakan pertanian dan pangannya.<br />Kedaulatan pangan juga menentukan sejauh mana rakyat ingin memenuhi sendiri kebutuhan pangannya, dan untuk menolak dumping produk impor ke dalam pasar domestik. Kedaulatan pangan tidak menegasikan perdagangan, namun lebih mempromosikan formulasi kebijakan perdagangan dan praktek yang melayani hak rakyat untuk produksi pangan berkelanjutan yang aman, sehat dan ramah lingkungan.<br />Tikus Mati di Lumbung Padi<br />“Tikus mati di lumbung padi” mungkin ungkapan ini lah yang cocok untuk menggambarkan kondisi keberadaan pangan di negeri ini. Suatu ironi yang sangat menyedihkan dimana negara agraris yang tanahnya subur dan hasil alam yang berlimpah ruah, namun krisis pangan terjadi dimana-mana, sehingga tak asing lagi bagi kita di beberapa daerah timbul gizi buruk dan derita kelaparan.<br />Akhir-akhir ini menjadi sebuah pembicaraan yang hangat diberbagai media dimana baru dalam beberapa bulan tahun 2008 berlalu harga sebagian besar barang kebutuhan sehari-hari melonjak dengan tajam dan fenomena ini sudah seperti penyakit akut yang berulang setiap tahun. Di beberapa pasar tradisional semua kebutuhan pokok melonjak seperti halnya di pasar tradisional Pekanbaru. Misalnya, harga minyak goreng menembus Rp.13 ribu/kg. dari sebelumnya Rp.11 ribu/kg, minyak goreng kemasan yang biasanya di jual Rp.12 ribu/liter kini di jual 12.500/liter. Harga cabai merah sempat mencapai level tertinggi yaitu mencapai 40 ribu/kg, sementara sebelumnya Rp 20 ribu/kg (Riau Pos, 6/3/2008) begitu juga halnya dengan kebutuhan pokok lain seperti susu, gula pasir, telur ayam, dan dangin, semuanya naik.<br />Sudah jatuh tertimpa tangga pula, mungkin istilah ini lah yang tepat menggambarkan keadaan rakyat kecil. Dimana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sudahlah sulit ditambah lagi dengan naiknya harga berbagai kebutuhan pokok, sungguh memang malang nasib simiskin. Masih segar dalam ingatan kita beberapa bulan yang lewat seiring dengan kebijakan pemerintah untuk mengkonversi pemakaian minyak tanah ke gas, justru di pasaran harga tabung gas dan isinya meroket naik. Di beberapa daerah seperti Jakarta misalnya, yang isi 12 kg mencapai Rp. 700 ribu-750 ribu. Setelah itu barangnya pun susah untuk didapat ( Kompas, 15/04/2008). <br />Melihat kondisi diatas memberikan sebuah gambaran bagi kita betapa tidak berdayanya bangsa ini. Sebuah bangsa yang penduduknya besar dan potensi alamnya melimpah, namun ketersedian akan kebutuhan pangan membelenggu rakyatnya. Lalu timbul sebuah pertanyaan bagi penulis, mau kita kemanakan harga diri bangsa ini? Karena terciptanya kedaulatan pangan akan menjamin tetap terjaganya keutuhan suatu bangsa dan sebaliknya ketika kedaulatan pangan terancam maka akan mengakibatkan kehancuran peradaban suatu bangsa. <br />Masih Jauh Dari Harapan<br />Bila kira runut lagi kebelakang arti sesungguhnya kedaulatan pangan.Timbul sebuah pertanyaan bagi penulis, sudahkah bangsa kita ini berdaulat atas pangan? Menurut hemat penulis meski kita sudah merdeka sejak 62 tahun yang silam untuk urusan pangan bangsa kita ini belum berdaulat, masih jauh dari harapan. <br />Ketersedian pangan yang cukup dan terjangkaunya daya beli masyarakat terkait dengan menegakkan kedaulatan pangan. Namun kedaulatan bangsa Indonesia dalam urusan pangan masih lemah sebab pihak asing begitu murah mendikte pemerintah Indonesia dalam kebijakan pangan. Akhirnya jalan pintas yang diambil oleh pemerintah dalam mengimpor kebutuhan pangan telah menodai terciptanya kedaulatan pangan. Ketergantungan pangan kepada pihak luar di tengah kesuburan lahan Indonesia menunjukkan stigma bangsa yang malas dan etos kerja yang lemah. Ini juga memperjelas bagi kita kegagalan negara dalam mengelola sumber daya manusia Indoneasi untuk meningkatkan produktifitas hasil pertanian. <br />Kedaulatan pangan harus dipahami bukan hanya sekedar sewasembada pangan atau setiap orang dari sabang sampai marauke harus menanam satu batang padi tetapi bagaimana bangsa Indonesia juga bisa menjadi exsportir. Karena ini nanti menunjukkan jati diri bangsa Indonesia di mata dunia sebagai negara yang punya potensi di bidang agraris. Merdeka atau berdaulat atas pangan merupakan bentuk kebebasan, rasa hormat dan harga diri yang harus ditegakkan. Ini juga menyangkut tumbuhnya roh patriotisme kebangsaan di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.<br />Diharapkan kepada pemerintah untuk melepaskan jeratan bangsa ini dari importir kebutuhan pangan serta untuk tegaknya kedaulatan pangan di negeri ini, maka pemerintah harus sungguh-sungguh melakukan revitalisasi bidang pertanian jangan hanya sebatas janji-janji saja, karena rakyat sudah muak dengan semua itu, dengan obralan janji melulu, sekarang rakyat hanya butuh tindakan yang nyata. Perlu mejadi perhatian bagi pemerintah bahwa permasalahan pemanasan global juga menjadi tantangan tersendiri bagi kelangsungan revitalisasi pertanian di negeri ini. Setelah itu pemerintah harus berpihak kepada rakyat kecil tak terkecuali pada petani, dimana pemerintah harus melindungi petani dari liberisasi perdagangan, sehingga kaum petani tidak selalu merasa dirugikan. <br />Hal yang sangat ironis juga, bagaimana generasi penerus bangsa ini bisa jadi maju kalau kekurangan gizi karena krisis pangan.Bagaimanapun kita memang tidak bisa meletakkan beban ini hanya di atas pundak pemerintah saja, tapi itu juga tak lepas dari tanggungjawab kita bersama. Moga kedepan keberadaan kebutuhan pangan di negeri ini akan bisa berdaulat. Semoga ***<br /><br /><br />Penulis adalah Mahasiswa FISIP UNAND dan Staf Pembaruan Hukum dan Kebijakan, QbarUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-56528944283336658952008-11-03T19:40:00.001-08:002008-11-04T01:27:26.736-08:00“TANAH” SEBAGAI IDENTITAS ORANG MINANGKABAU (Suatu Tinjauan dari sudut pandang Sosiologis)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9Fs-lyEW4TNPDj49t78h8gnGrgzIX8DwnH7gR-yHlf8o0SHidp-0Bp-bY7-IyNTkjZq4KIT8wEu363HNl4Mt8d_Xzp_QNhbN0oQyI4cWS-044tMGwL5HhyphenhyphenVdPesLoK6XKSqpq7_-6Wwa0/s1600-h/DSC07400.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9Fs-lyEW4TNPDj49t78h8gnGrgzIX8DwnH7gR-yHlf8o0SHidp-0Bp-bY7-IyNTkjZq4KIT8wEu363HNl4Mt8d_Xzp_QNhbN0oQyI4cWS-044tMGwL5HhyphenhyphenVdPesLoK6XKSqpq7_-6Wwa0/s200/DSC07400.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5264645116069880658" /></a><br /><span id="fullpost"><br /><br />Oleh: Mora dingin<br /></span><br /><br />Tanah merupakan suatu benda yang mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam masyarakat adat tak terkecuali di dalam masyarakat adat Minangkabau. Karena tanah merupakan salah satu benda yang tidak akan bisa berubah-ubah bentuknya (mempunyai nilai tetap). Tanah merupakan sumber penghidupan bagi keluarga, tempat tinggal dan sebagainya. Sehingga tak heran lagi bagi kita bahwa tanah mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, dan tak jarang sekali ini menjadi sesuatu hal yang di perebutkan oleh setiap orang.<br />Di dalam hukum adat, maka antara masyarakat sebagai satu kesatuan dengan tanah yang didudukinya mempunyai hubungan yang erat sekali. Hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat sosiso-religius. Hubungan ini menyebabkan masyarakat memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuhan-tumbuhan yang hidup diatas tanah serta berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu. Hak masyarakat atas tanah ini disebut dengan hak ulayat dan dalam literatur hak ini oleh Van Vollenhoven disebut beschikkingsrecht.<br />Identitas<br />Tanah di dalam adat Minangkabau yang mempunyai kedudukan tersendiri. Karena itu dalam tata kehidupan masyarakat hukum adat Minangkabau dikenal bermacam-macam jenis tanah. Ada tanah yang dikuasai oleh kaum, yang dikuasai suku, dan yang dikuasai nagari. Yang dikuasai kaum dinamakan tanah ulayat kaum, yang dikuasai suku disebut tanah ulayat suku, sedangkan yang dikuasai penghulu nagari dikenal dengan tanah ulayat nagari. Tanah ulayat kaum dan ulayat suku biasanya memiliki batas-batas yang jelas serta dimanfaatkan oleh pemiliknya. Berbeda dengan tanah ulayat kaum dan ulayat suku, tanah ulayat nagari pada umumnya belum tergarap atau tanah liar. Tanah liar dapat dikelompokkan menjadi rimbo, biluka dan sasok. Rimbo terkelompok kedalam rimbo tuo, rimbo gadang, rimbo rajo, rimbo nan dalam, rimbo nan lapeh, rimbo aguang, rimbo piatu (Rusli Amran, Sumatera Barat Plakat Panjang, Sinar Harapan, 1981). Setiap anak nagari dari suku manapun boleh mengerjakan tanah ulayat nagari atas sepengetahuan para penghulu, melalui rapat penghulu, yang memiliki otoritas atas tanah ulayat nagari.<br />Sebagai harta suku, kaum, harta bersama, harta pusaka itu kuat kedudukannya dalam masyarakat Minangkabau karena harta itu hanya boleh diwariskan secara turun menurun, tidak boleh dijualbelikan, apalagi dipindahkan haknya kepada orang di luar kaum atau sukunya. Terhadap harta pusaka (pusaka tinggi), anggota paruik atau jurai, atau kaum, bukanlah yang memiliki harta pusaka itu, mereka hanya mempunyai hak pakai (ganggam nan bauntuak). Dengan demikian, harta pusaka di Minangkabau berada dalam keadaan tetap, warih indak baliah putuih, katurunan buliah punah.<br />Dari gambaran diatas kelihatan jelas bagi kita kalau tanah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat Minangkabau. Kalau ditinjau dari dari sudut pandang sosiologisnya kedudukan tanah didalam masyarakat Minangkabau merupakan suatu identitas diri karena tanah disini berfungsi sebagai pengikat hubungan baik antara suku maupun kaum sekaligus sebagai bukti asal usul nan bapandam bakuburan , nan basosok bajurami. Dengan adanya tanah sebagai pengikat hubungan antara suku, kaum maka akan tercipta suatu interaksi sosial yang memperlihatkan akan kuatnya eksistensi masyarakat Minangkabau itu sendiri.<br />Dalam hal ini juga Hamka mengatakan bahwa tanah, “Pusako Tinggi” adalah “Tiang Agung Minangkabau” yang dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando. Jarang pusako tinggi menjadi pusako rendah, entah kalau adat tidak berdiri lagi pada suku itu. (Hamka, dalam Naim, 1968:29)<br /> Apa maksud pernyataan Hamka ini? Hal ini perlu dipahami betul. Maksudnya adalah harta pusaka itu ibarat tiang utama bangunan rumah. Apabila tiang rumah itu patah maka rubuh pulalah rumah itu. Demikian pula halnya tanah sebagai pusaka tinggi. Apabila tanah itu sudah dikuasai orang luar, orang Minangkabau tidak menguasai tanah airnya lagi, orang Minangkabau akan tersingkir dari negrinya sendiri. Sebagai contoh dapat diketahui terhadap orang Betawi di Jakarta, mereka tersingkir ke pinggir-pinggir kota. Demikian pula halnya orang Melayu di Singapura Penduduk asli menjadi budak di negerinya sendiri. Hal ini jangan terjadi hendaknya di Minangkabau, Hal ini perlu diantisipasi dengan tindakan nyata, di antaranya memberlakukan hukum adat tentang harta pusaka, khususnya mengenai pertanahan ini.<br />Era globalisasi <br />Pada saat sekarang ini yang ditandai dengan zamannya era globalisasi, menimbulkan perubahan-perubahan yang begitu cepat terkadang tanpa disadari dalam semua aspek kehidupan. Sehingga tak jarang perubahan itu membawa dampak yang begitu besar terhadap keberlangsungan peradaban suatu komunitas tertentu. Fenomena ini juga bisa kita rasakan dalam perkembangan masyarakat Minangkabau hari ini. Namun harus sama-sama kita sadari bahwa perubahan itu memang akan selalu terjadi karena masyarakat bersifat dinamis bukan statis. Seperti yang dikatakan beberapa orang sosiolog bahwa ada kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan.<br />Disini penulis ingin menyampaikan bahwa pada saat ini tanah ulayat suku, kaum, dan nagari yang menggambarkan identitas orang Minangkabau di beberapa nagari sudah tak ditemui lagi hal ini disebabkan karena “pudar” dilanda perkembangan penduduk dan sosial ekonomi. Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan penggunaan tanah semakin tinggi untuk tempat pemukiman, dan begitu juga dengan tuntutan hidup dari segi ekonomi yang semakin hari semakin sulit.. Penulis ingin rasanya mengajak masyarakat Minangkabau untuk lebih mengembangkan aspek budaya yang lain yang menunjukkan identitas diri, menurut hemat penulis kita tidak bisa selamanya terpaku atas keberadaan tanah, karena semakin hari keberadaan tanah semakin menyempit. Harapan penulis semoga identitas diri orang Minangkabau tidak akan hilang seiring dengan perkembangan zaman. Amin***<br />Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi UNAND dan Staf Program Pembaruan Hukum dan Kebijakan, QbarUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-28286718068671136182008-11-03T18:09:00.000-08:002008-11-04T01:27:26.736-08:00Hutan Nagari Atau Hutan Desa<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhw_LLGKrH5HjWEXxva_W7RDMNVTuETQrB3zcG-xtzdvbNSQ2oTrm3zI52LV3UWQpxhYRJTYDX5G_j0BJv2Szb_2tUrvKXvWqpq5QgcOhY5znd0O6HbG_Sr8BSEziJYi-Bwejx1_TX2Kb0y/s1600-h/rumah+gadang.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 138px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhw_LLGKrH5HjWEXxva_W7RDMNVTuETQrB3zcG-xtzdvbNSQ2oTrm3zI52LV3UWQpxhYRJTYDX5G_j0BJv2Szb_2tUrvKXvWqpq5QgcOhY5znd0O6HbG_Sr8BSEziJYi-Bwejx1_TX2Kb0y/s200/rumah+gadang.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5264619891331379954" /></a><br /><span id="fullpost"><br />Oleh <br />Nurul Firmansyah, SH.<br /><br />Hak ulayat bagi nagari tidak dipandang dari sisi ekonomi belaka, namun merasuk pada relung sosial dan budayanya. Keberadaan hak ulayat menjamin ikatan sosial dan budaya, seperti yang tersirat dalam adigium adat; Sako Pusako, yang bermakna; keutuhan struktur sosial masyarakat nagari berbanding lurus dengan keutuhan hak ulayat. Sikap ini kemudian melahirkan kesadaran kolektif masyarakat nagari, bahwa; hak ulayat harus dimanfaatkan, di kelola dan dipelihara untuk keberlangsungan antar generasi. <br /><br />Telah jamak dipahami tentang eksistensi hak ulayat merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari nagari. Pendapat ini bukan hanya diusung oleh masyarakat nagari sebagai pemangku hak ulayat, namun juga di pahami oleh pelbagai pihak, termasuk didalamnya, para pengambil kebijakan di tingkat daerah (propinsi Sumatera Barat). Setidaknya, hal ini tersirat dalam Nota penjelasan Gubernur Sumatera Barat pada tanggal 4 February 2003 di hadapan Sidang Paripurna DPRD Sumatera barat dalam proses pembahasan Rancangan Perda Pemanfaatan Tanah Ulayat yang menyebutkan; “Pengaturan tanah ulayat mempunyai keterkaitan yang erat dengan prinsip kembali ke nagari sebagaimana di maksud oleh Peraturan daerah Sumatera Barat No.9 tahun 2000 tentang ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Perda No.9 tahun 2000 merupakan suatu titik tolak yang mendasar untuk dapat mengatur dan mengelola tanah ulayat, karena hidup bernagari mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan tanah ulayat dan adat istiadat.” <br /><br />Realitas Hutan Nagari.<br />Realitas hak ulayat dalam wacana publik dan konstruksi adat tidak sebanding dengan kenyataan peminggiran hak ulayat oleh kebijakan pengelolaan sumber daya alam terutama kebijakan kehutanan nasional. UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan memposisikan hak ulayat atas hutan (hutan nagari / hutan adat) terabaikan oleh posisi hutan negara yang kemudian diikuti oleh pengikisan sistem pengelolaan hutan nasional terhadap pola pengelolaan hutan secara adat. Proses peminggiran hutan nagari tersebut berawal dari penunjukan sepihak kawasan hutan oleh pemerintah (Departemen Kehutanan) baik itu pada kawasan konservasi, produksi, maupun lindung, yang berakibat pada putusnya hubungan hukum antara masyarakat nagari dengan hutan nagarinya. <br /><br />Secara empirik, situasi ini diatas menimbulkan pelbagai dampak yang serius bagi nagari dan juga bagi ekosistem hutan. Dari catatan Perkumpulan Qbar di nagari Guguk Malalo, kabupaten tanah datar, dan Nagari Simanau, Kabupaten Solok, dampak-dampak tersebut mencuat, berupa; pertama, hilangnya kearifan lokal (sistem adat) dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat nagari yang tergantikan dengan pola pengelolaan hutan berbasis negara yang sentralistik dan berorientasi ekonomi belaka, kedua, pemiskinan masyarakat nagari akibat hilangnya sumber ekonomi atas hutan, ketiga, deforestasi akibat hilangnya kontrol masyarakat nagari, terutama para pemangku adat ditingkat nagari atas aktifitas pembalakan kayu. <br /><br />Menggiring Hutan Desa dalam Hutan Nagari<br />Seraya bergulirnya waktu, Permenhut No. P 49 / menhut – II / 2008 Tentang Hutan Desa (kemudian disebut P49) terbit pada bulan september tahun ini. Bila di telaah dengan cermat, terlihat bahwa P49 lahir dari realitas sosiol ketidakadilan pengelolaan hutan, terutama ketidakadilan bagi masyarakat desa yang hidup di sekitar/dalam kawasan hutan yang notabene adalah masyarakat adat, atau pada lingkup yang lebih kecil yaitu nagari. Semangat diatas terproyeksi dari klausul menimbang dalam permenhut ini, namun sayangnya, P49 belum tuntas mengacu semangat tersebut dalam konstruksi norma-normanya, karena; P49 belum menyentuh persoalan struktural kehutanan disebabkan P49 hanya membuka ruang bagi desa/nama lain (termasuk Nagari) untuk mendapatkan akses pengelolaan hutan di kawasan hutan (produksi dan lindung), dalam artian membuka akses nagari untuk mengelola hutan negara berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam P 49. Artinya kebijakan ini belum tuntas merubah ketimpangan penguasaan hutan (hutan negara atas hutan adat), dan reduksi-reduksi kearifan lokal dalam watak pengelolaan hutan nasional. Kelemahan itu merupakan konsekuensi logis dari logika perundang-undangan yang hirarkis yang mengacu pada perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu; UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang belum mengakui secara utuh hutan adat.<br /><br />Terlepas dari kendala-kendala yuridis diatas, tentunya akses yang dibuka oleh P 49 terhadap pengelolaan hutan oleh desa / nagari melahirkan peluang sekaligus tantangan bagi masyarakat nagari untuk mengelola hutan secara adil dan lestari. Adapun tantangan utama yang muncul dari pemberlakukan P 49 yakni; pertama, minimnya peran pemerintah terhadap lembaga desa yang mengelola hutan desa, dimana hanya pada fasilitasi teknis dan manejerial hutan desa, sedangkan dukungan pembiayaan pengelolaan hutan desa diserahkan sendiri oleh lembaga desa. Hal ini memberi peluang bagi pemilik modal untuk memanfaatkan keberadaan hutan desa bagi eksploitasi ekonomi belaka yang menggunakan lembaga desa. Kedua, pengelolaan hutan desa mempunyai jangka waktu tertentu, yaitu 35 tahun, artinya pemerintah dapat mencabut atau memperpanjang keberadaan hutan desa.<br /><br />Di sisi lain, peluang pengelolaan hutan desa atau hutan nagari di sumatera barat bisa terwujud apabila terdapat kesepahaman multipihak antara nagari dengan pemerintah daerah dan masyarakat sipil. Peluang yang diberikan P 49 harus ditangkap dengan memberikan fasilitasi intens dan serius dari pemerintah daerah dan kekuatan masyarakat sipil lainnya dalam mendorong nagari dalam mengelola hutannya. Dukungan tersebut berupa dukungan terhadap pola kearifan nagari, peningkatan kapasitas, maupun pembiayaan pengelolaan hutan sehingga ekses nagatif maupun peluang kegagalan pengelolaan hutan oleh nagari bisa diminimalisir. <br /><br /><br /><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-78364749002615186452008-10-16T02:47:00.000-07:002008-10-16T18:54:48.120-07:00Konstitusi Dalam Intaian Neoliberalisme: Konstitusionalitas Penguasaan Negara Atas Sumberdaya Alam Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi<span style="font-weight:bold;">oleh<br />Yance Arizona </span><br /><span style="font-weight:bold;">(pegiat di HuMa)</span><br /><br />“Apabila menurut Pasal 33 UUD 1945 kooperasi mulai membangun dari bawah, melaksanakan dahulu yang kecil, yang rapat pertaliannya dengan keperluan rakyat sehari-hari dan kemudian berangsur-angsur meningkat ke atas. Pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang besar-besar, seperti membangun tenaga listrik, persediaan air minum, menggali saluran pengairan, membuat jalan-jalan perhubungan guna lancarnya kegiatan ekonomi, menyelenggarakan berbagai macam produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. ”<br />Mohammad Hatta<br />Cita-cita Koperasi Dalam Pasal 33 UUD 1945<br />Pidato Hari Koperasi, 12 Juli 1977<br /><br />I. PENGANTAR<br /><br />Jimly Asshiddiqie (2005) menyatakan bahwa, sepanjang corak muatan yang diaturnya, UUD 1945 mendekati tradisi penulisan konstitusi pada negara-negara sosialis seperti USSR, Cekoslowakia, Albania, Italia, Belarusia dan Hongaria yang menempatkan konstitusi disamping berfungsi sebagai hukum dasar bidang politik, juga merupakan hukum dasar bidang ekonomi (economic constitutional) bahkan sosial (social constitution). Sebagai hukum dasar bidang ekonomi, hubungan negara dan masyarakat terhadap sumberdaya alam sebagai komponen ekonomi terlihat dalam Pasal 33 UUD 1945. <br /><br />“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, dimana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk itu, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang.<br /><br />Landasan konstitusional itu menjadi titik anjak penjabaran usaha perekonomian nasional yang terlihat dalam sejumlah UU di bidang sumberdaya alam. Permasalahan yang acap mengemuka dalam perundang-undangan di bidang perekonomian sumberdaya alam, sepanjang berkaitan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) adalah: (a) bagaimana penguasaan negara atas sumberdaya alam (b) menjamin dan ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat serta (c) bagaimana peranan swasta/modal/investor dalam perekonomian berkaitan dengan sumberdaya alam. Pasal 33 UUD 1945 menjadi tempat dimana tiga persoalan itu ditujukan dan dievaluasikan. Persoalan tersebut, pada level suprastruktur politik akan mengarahkan perdebatan antara konsep penguasaan publik berhadap-hadapan dengan konsep kepemilikan perdata dari Negara terhadap sumberdaya alam beserta konsekuensi hubungan hukumnya. <br /><br />Persoalan itu semakin menarik dikaji pada masa transisi karena pada masa transisi di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dan negara bekas komunis terdapat gelombang penetrasi modal yang berupaya membuat negara berkembang untuk melakukan adaptasi dengan sistem perekonomian global yang berpaham neoliberal. Ada dua periode transisi yang penting dan mendasar sejak Republik Indonesia terbentuk, yaitu menjelang pemerintahan Orde Baru dan setelah keruntuhan Orde Baru (reformasi). Pada masa transisi terjadi serangkaian perundang-undangan di bidang sumberdaya alam yang nilai-nilai dasar pengaturannya tidak dapat dilepaskan dari konteks paradigma perekonomian global. Tulisan ini mencoba merekam inviltrasi nilai-nilai tersebut kemudian melihat bagaimana peranan Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan bagian dari transisi reformasi, serta sebagai penyangga negara demokratis konstitusional yang memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945 memberikan respons lewat putusannya. Tulisan ini ingin menjawab bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan konstitusionalitas penguasaan negara atas sumberdaya alam ditengah kecenderungan politik legislasi di bidang sumberdaya alam yang neoliberal.<br /><br />II. EPISODE POLITIK HUKUM UU DI BIDANG SUMBERDAYA ALAM<br />a. Menjelang Orde Baru<br /><br />Dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama) penjabaran Pasal 33 UUD 1945 sepanjang soal penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya ditafsirkan dengan melahirkan UU tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria atau UUPA (UU No. 5/1960). Tujuan utama dari UUPA adalah untuk melakukan redistribusi tanah dan melakukan pemerataan penguasaan tanah bagi rakyat. Menurut Mahfud MD, UUPA merupakan produk hukum yang sangat responsif, berwawasan kebangsaan, mendobrak watak kolonialis yang masih mencengkeram bangsa Indonesia sampai selama 15 tahun menjadi bangsa dan negara merdeka (tahun 1945 sampai tahun 1960). Pada masa itu, UUPA adalah aturan utama sebagai landasan pengaturan pertanahan, air, hutan dan perkebunan.<br /><br />Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun adalah rezim yang menghamba kepada kepentingan modal. Bahkan Undang-undang pertama kali dibuat oleh rezim itu adalah UU Penanaman Modal Asing (UU No. 1/1976). Selang empat bulan kemudian, diundangkanlah UU tentang Ketentuan Pokok Kehutanan (UU No. 5/1967), lalu UU tentang Ketentuan Pokok Pertambangan (No. 11/1967). Tiga undang-undang tersebut menunjukkan arah politik hukum pemerintah bahwa perekonomian Indonesia di bawah Orde Baru akan ditopang dengan modal asing sebesar-besarnya pada sektor Kehutanan dan Pertambangan. <br /><br />Kelahiran UU Kehutanan dan UU Pertambangan merupakan satu bentuk fragmentasi pengaturan sumberdaya alam yang sebelumnya sudah diatur dalam UUPA. Kelahiran dua UU tersebut bahkan dalam hal tertentu medistorsi semangat UUPA yang berorientasi pada pemerataan dan redistribusi tanah. Pola fragmentasi perundang-undangan ini bila dirunut memiliki kesamaan dengan spesialisasi kerja dalam sistem produksi. Pembagian kerja ditujukan agar spesialisasi dilakukan dan produksi dapat ditingkatkan setinggi-tingginya untuk mencapai nilai lebih dari produksi yang berlebih. Setiap unit kerja memiliki mekanisme dan nilai-nilai tersendiri yang membedakannya dengan unit kerja lain. Dalam perundang-undangan sumberdaya alam, spesialisasi itu diwujudkan menjadi sektoralisasi sumberdaya alam yang secara objektif (alam dan lingkungan yang dieksploitasi), dinilai secara kuantitatif dan spesifik (minum diversity) yang diurus oleh intansi pemerintah secara khusus. Hal ini kemudian menghadirkan konflik antar departemen yang mengurusi sumberdaya alam (egosektoral) karena adanya ruang sumberdaya alam yang tumpang tindih. <br /><br />Sekumpulan UU yang lahir pada masa itu bukan hanya teks hukum yang berada dalam ruang hampa, tetapi memiliki jiwa dan konteks sosialnya, yaitu pembangunanisme (developmentalism). Semangat Pembangunanisme sebagai jalan merekonstruksi negara-negara yang mengalami penjajahan dan peperangan pada perang dunia kedua sudah mulai diwacanakan oleh Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman dekade 1950-an. Pembangunanisme itu kemudian disebarkan ke beberapa negara non-blok untuk mengatisipasi gelombang komunisasi negara dunia ketiga. Indonesia pacsa Soekarno masuk sebagai bagian negara yang berkiblat pada pembangunanisme tersebut.<br /><br />b. Reformasi atau Adaptasi?<br />Pembangunan ekonomi Orde Baru sudah mengarah kepada kemajuan ekonomi pada dekade 80 sampai 90-an. Tetapi, pada tahun 1997 perekonomian dunia mengalami gelombang krisis moneter yang bermula di Thailand, Korea Selatan dan sampai menggulung Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Hal ini berimbas kepada runtuhnya bangunan ekonomi a la Orde Baru. Krisis tersebut berujung pada “berhentinya” Soeharto sebagai punggawa republik setelah 32 tahun berkuasa dan memantik perubahan pada banyak sektor. Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan bahwa krisis yang melumpuhkan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 disebabkan oleh 6 (enam) faktor, yaitu: <br />1. Secara regional dan aspek geo-ekonomi, Indonesia mendapat efek berantai dari krisis ekonomi yang terjadi di Thailand dan Korea Selatan (the contagion effect).<br />2. Sebagai rangkaian dari efek berantai tersebut, di dalam negeri terjadi spekulasi dan perilaku panik yang luar biasa, diikuti dengan pemindahan modal ke luar negeri (capital flight) yang bergerak sangat cepat.<br />3. Kebijakan pemerintah Indonesia untuk merespons krisis moneter tersebut, meskipun resepnya kemudian disusun bersama-sama dengan IMF, dinilai tidak tepat. Kesalahan kebijakan ini termasuk penyebab terjadinya krisis perbankan yang sebenarnya strukturnya sudah lemah, sekaligus sebagai pemicu meledaknya hutang luar negeri.<br />4. Secara struktural, cukup banyak yang menilai bahwa krisis ekonomi disebabkan oleh hubungan politik dengan bisnis (crony capitalism), terutama hubungan antara pemerintah dengan pengusaha yang tidak sehat yang pada gilirannya menyebabkan kesalahan yang bersifat sistemik serta menimbulkan inefisiensi dan disfungsi struktural.<br />5. Bentuk lain dari hubungan tidak sehat antar penguasa dan pengusaha seperti disinggung di atas adalah kroniisme, yang memangsa sumberdaya dan output ekonomi kita dalam skala besar. <br />6. Absennya good governance pada pemerintahan yang lalu, yang sesungguhnya merupakan turunan dari kegagalan institusi negara dalam membangun dan menegakkan aturan hukum, juga menyebabkan kehancuran yang bersifat struktural.<br /><br />Pasca Orde Baru, pergantian kepemimpinan dan perubahan di berbagai sektor dengan semangat reformasi berlangsung. Pada level hukum berpuncak pada paket amandemen UUD 1945 empat kali (1999-2002). Perubahan yang menambah sampai 300% ketentuan UUD itu seiring dan diikuti dengan perubahan pada level undang-undang dan kebijakan lainnya. Di bidang perundang-undangan sumberdaya alam, pola fragmentasi peraturan gaya Orde Baru dilanjutkan dan bertambah masif. Ada 12 (dua belas) UU yang dibuat, yaitu: (a) UU Kehutanan; (b) UU Perlindungan Varietas Tanaman; (c) UU Minyak dan Gas Bumi; (d) UU Ketenagalistrikan; (e) UU Panas Bumi; (f) UU Sumberdaya Air; (g) UU Perkebunan; (h) UU Penetapan Perpu No. 1/2004 tentang Perubahan UU Kehutanan; (i) UU Perikanan; (j) UU Penanaman Modal; (k) UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; (l) UU Energi. <br /> <br />Watak dari UU yang lahir pasca Orde Baru, terutama yang berkaitan dengan sumberdaya alam, disamping memasifkan sektoralisasi sumberdaya alam juga diikuti dengan gelombang komersialisasi dan privatisasi atau swastanisasi sektor publik yang semestinya merupakan tanggungjawab langsung dari negara. Semangat ini berakar dari apa yang dikenal dengan Washington Consensus yang menyatakan bahwa kinerja perekonomian yang baik membutuhkan perdagangan bebas, stabilitas makro serta penerapan kebijakan harga yang tepat. Tak dapat dipungkiri, kesepakatan inilah yang kemudian menjadi pencetus bagi kelangsungan mekanisme pasar. <br /><br />Washington Consensus dikenal juga sebagai nilai-nilai dasar dari neoliberalisme ekonomi yang menyelinap dalam globalisasi. Globalisasi dalam rangka penyebaran neoliberalisme itu memperlihatkan 2 (dua) dimensi yakni, pertama dimensi ekonomi dan korporasi (economic and corporation globalization). Kedua, dimensi politik dan negara (political and state globalization). Kedua dimensi tersebut nampak pada kebijakan yang diskenariokan dan didesain oleh negara-negara maju yang tergabung dalam G8 (Amerika Serikat, Kanada, Itali, Perancis, Inggris, Jerman, Rusia, dan Jepang) melalui 3 (tiga) mesin globalisasi yaitu, pertama lembaga keuangan internasional (International Financial Institutions/IFI’s), kedua Organisasi Perdangangan Dunia (World Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan multinasional (Multinational Corporation/MNC). Melalui mesin-mesin globalisasi di atas, negara-negara maju semakin memperkokoh hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol sumberdaya di dunia. Lewat tangan WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia. Melalui lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan negara mana yang dapat menikmati kucuran uang. Kemudian dengan meminjam kekuatan IMF, mereka menekan negara-negara untuk melakukan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi.<br /><br />Secara lebih spesifik, Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia menyebutkan ada 5 (lima) Nilai dasar dari Neoliberalisme, yaitu: <br />1. ATURAN PASAR. Membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang dipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan internasional dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Tidak ada lagi kontrol harga. Sepenuhnya kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa.<br />2. MEMOTONG PENGELUARAN PUBLIK DALAM HAL PELAYANAN SOSIAL. Ini seperti terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘jaring pengaman’ untuk orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih – ini juga guna mengurangi peran pemerintah. Di lain pihak mereka tidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.<br />3. DEREGULASI. Mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi keuntungan pengusaha.<br />4. PRIVATISASI. Menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor swasta. Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar, yang nyatanya berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit orang dan membuat publik membayar lebih banyak.<br />5. MENGHAPUS KONSEP BARANG-BARANG PUBLIK (PUBLIC GOODS) ATAU KOMUNITAS. Menggantinya dengan “tanggungjawab individual”, yaitu menekankan rakyat miskin untuk mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya.<br /><br />Program deregulasi, privatisasi dan liberalisasi yang dimotori oleh mesin-mesin neoliberal yang dipraktikkan dimana-mana adalah SAP (Structural Adjustment Program). SAP atau Program Penyesuaian Struktural merupakan program utama dari Bank Dunia dan IMF, termasuk juga WTO dengan nama lain. WTO memakai istilah-istilah seperti fast-track, progressive liberalization, harmonization dan lain-lain. Intinya tetap sama. Di balik nama sopan "penyesuaian struktural", adalah "penghancuran dan pendobrakan radikal" terhadap struktur dan sistem lama yang tidak bersesuaian dengan mekanisme pasar bebas. Jadi Pasar Bebas adalah intinya (mesin penggeraknya), Neo-Liberal adalah ideologinya, dan SAP adalah praktek atau implementasinya. Sementara tujuannya adalah ekspansi sistem kapitalisme global.<br /><br />III. PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI DITENGAH META-KONSTITUSIONALITAS<br />a. Kisah Sumbang Pengujian Undang-undang<br />Penetrasi neoliberalisme tidak berhenti pada tataran substansi hukum dalam perubahan UU di bidang sumberdaya alam. Tetapi juga memasuki dimensi struktur hukum dengan melakukan perombakan birokrasi (eksekutif) dalam kerangka good governance, penguatan fungsi legislasi DPR serta pembangunan institusi yudisial baru seperti Pengadilan Niaga dan Mahkamah Konstitusi. Di Indonesia, perubahan pada level struktur hukum ini dilakukan di bawah payung Rule of Law yang direjuvensi dari konsep Negara Berdasarkan Hukum yang sudah dilontarkan para pendiri republik pada tahun 1945. Keterkaitan antara penetrasi neoliberalisme, terutama privatisasi, dengan konsep Rule of Law juga dikemukakan oleh Joseph E. Stiglitz dalam penelitiannya pada negara-negara eks komunis. <br /><br />Mahkamah Konstitusi yang dibentuk untuk mewujudkan supremasi yudisial melalui kekuasaan review undang-undang menjadi institusi yang paling efektif untuk memfasilitasi proses integrasi pada ekonomi global melalui serangkaian putusan kontroversialnya. Sejak tahun 2003, sudah ada lima UU di bidang sumberdaya alam yang diuji kepada Mahkamah Konstitusi (UU Ketenagalistrikan, UU Migas, UU Kehutanan, UU Sumberdaya Air, dan UU Penanaman Modal). Benang merah dari dalil permohonan pengujian kelima UU tersebut berkaitan dengan penetrasi neoliberalisme dalam bentuk deregulasi, privatisasi, liberalisasi dan komersialisasi sumberdaya alam. Hal tersebut dianggap akan mengurangi tanggungjawab negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia dan konstitusional warga negara.<br /><br />Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kelima permohonan pengujian UU tersebut, dilihat dari amar putusannya, berbeda-beda. Ada permohonan yang dikabulkan keseluruhan, dikabulkan sebagian, ditolak, ditolak dengan conditionally constitutional dan tidak dterima. Meskipun amar putusannya berbeda-beda, hal itu tidak menghalangi penetrasi neoliberalisme di Indonesia. Kondisi itu membuat penting untuk mengevaluasi apakah pembaruan hukum dalam paham The Rule of Law yang diinstrumentalisasi lewat lembaga pengujian UU terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi memberikan kontribusi bagi penegasan penguasaan negara atas sumberdaya alam atau sebaliknya? <br /><br />b. Doktrin Panca Fungsi Penguasaan Negara<br />Lewat putusan pengujian UU Ketenagalistrikan (UU No. 20/2002), Mahkamah Konstitusi menghidupkan kembali diskursus tentang konsep penguasaan negara atas sumberdaya alam yang terakhir diperbincangkan secara serius dalam pembahasan UUPA 48 tahun silam (tahun 1960). Dalam menafsirkan makna frasa “dikuasai oleh negara” dari Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mengkonstruksi 5 (lima) fungsi negara dalam menguasai cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. <br /><br />Tabel <br />Panca Fungsi Negara Dalam Menguasai Sumberdaya Alam<br /><br />No Fungsi Penjelasan<br />1 Pengaturan (regelendaad) Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Jenis peraturan yang dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 UU No 10/2004, serta Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah (eksekutif) yang bersifat mengatur (regelendaad)<br />2 Pengelolaan (beheersdaad) Dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara. Dengan kata lain negara c.q. Pemerintah (BUMN) mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam peyelenggaraan pemerintahan daerah, fungsi ini dilakukan oleh perusahaan daerah<br />3 Kebijakan (beleid) Dilakukan oleh pemerintah dengan merumuskan dan mengadakan kebijakan <br />4 Pengurusan (bestuursdaad) Dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).<br />5 Pengawasan (toezichthoudensdaad) Dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Termasuk dalam fungsi ini yaitu kewenangan pemerintah pusat melakukan pengujian Perda (executive review)<br /><br />Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penguasaan negara atas sumberdaya alam lahir dari konsep hubungan publik. Dikatakan sebagai konsep hubungan publik karena: <br />“Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.” <br /><br />Meskipun menyatakannya sebagai konsep hubungan publik, Mahkamah Konstitusi tidak menolak bahwa hubungan negara dengan sumberdaya alam juga merupakan manifestasi dari hubungan keperdataan. Pengakuan itu secara implisit ditemukan dalam penggalan putusan berikut: <br />- Menimbang bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sistem sebagaimana dimaksud, maka pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata.;<br />- Menimbang bahwa jika pengertian kata “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak akan mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”;<br />- Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud;<br />- Oleh karena itu, baik pandangan yang mengartikan perkataan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, kedua-duanya ditolak oleh Mahkamah; <br /><br />Hubungan kepemilikan negara atas sumberdaya alam dalam literatur Property Rights Regime disebut sebagai state property. Dalam state property, kepemilikan negara merupakan kondisi konstitutif keberadaan suatu negara, yaitu untuk menggeneralisasi bermacam-macam hak yang ada di dalamnya. Dari generalisasi itulah lahir fungsi mengatur, mendistribusikan, mengendalikan dan mengawasi. Machperson menyebutkan bahwa kepemilikan oleh negara memiliki kemiripan dengan hak milik pribadi, sebab negara merupakan pribadi buatan.<br />Dengan demikian, milik negara (state property – penulis) harus digolongkan sebagai milik kelembagaan, yang merupakan milik ekslusif dan bukanlah sebagai milik umum, yang merupakan milik non-ekslusif. Milik negara adalah hak ekslusif dari suatu pribadi buatan. <br /> <br />Konsekuensi dari sifat ekslusif dari konsep keperdataan penguasaan negara atas sumberdaya alam melegalisasi kewenangan negara melalui pemerintah untuk melakukan hubungan keperdataan. Hubungan keperdataan itu tidak berarti bahwa Pemerintah dapat menjual sumberdaya alam kepada pihak swasta, melainkan melakukan hubungan kontrak atau perjanjian dengan pihak swasta berkaitan dengan “pengalihan” hak atas sumberdaya alam. Dalam hubungan keperdataan yang bersifat konsensual dari perjanjian atau kontrak antara dua pihak atau lebih, berlakulah asas mengikat dalam hukum perjanjian yang menyatakan bahwa perjanjian merupakan hukum bagi para pembuatnya atau pacta sunt servanda. <br /><br />Dalam perkembangannya, di luar doktrin panca fungsi penguasaan negara menurut Mahkamah Konstitusi, tindakan keperdataan Pemerintah dan Pemerintah Daerah berlangsung dan berkembang, terutama dalam bidang investasi. Ada 5 bentuk kerjasama investasi antara pemerintah dengan swasta, yaitu: <br />i. Kejasama Konsesi (consession contract)<br />ii. Kerjasama Kontrak Bangun (Build/Rehabilitation Contract)<br />b. Bangun, Kelola, Alih Milik (Build, Operate, Transfer)<br />c. Bangun dan Alih Milik (Build and Transfer) atau Turn-Key Project<br />d. Bangun, Milik dan Kelola (Build, Own, Operate)<br />e. Bangun, Alih Milik dan Kelola (Build, Transfer and Operate) <br />f. Bangun, Sewa, Alih Milik (Build, Lease, Transfer) <br />g. Tambahan, Kelola dan Alih Milik (Add, Operate Transfer)<br />i. Kerjasama Operasi (Operating Contract)<br />ii. Kerjasama Pengelolaan (Managemen Contract)<br />iii. Kerjasama Patungan (Joint Venture Contract)<br /><br />c. Memaknai Pemikiran Bung Hatta: Dimana Letak Modal (Asing)?<br />Secara historis, pembahasan mengenai Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Mohammad Hatta tentang ekonomi kerakyatan, yaitu perekonomian yang disusun atas asas kekeluargaan (Pasal 33 ayat 1 UUD 1945). Pandangan ekonomi kerakyatan Hatta diinstitusionalisasi dengan menjadikan koperasi yang berciri kolektivisme sebagai tulang punggung pengembangan ekonomi nasional. <br /><br />Menurut Hatta, supaya pengurusan ekonomi oleh rakyat itu terwujud, maka negara menjadi organisasi yang menguasai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Negara menjamin agar sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tercapai lewat penguasaan tersebut, yaitu melalui pengawasan dan pengaturannya. <br /><br />Sedangkan terhadap peranan modal, Hatta mengkonstruksi keterlibatan modal sebagai alternatif atau pelengkap dari usaha-usaha sektor produksi atau sumberdaya alam yang besar setelah dimaksimalisasi pengusahaannya oleh dalam negeri (koperasi dan badan usaha negara). Hatta menyebutkan:<br />“Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD 1945. Terutama digerakkan tenaga-tenaga Indonesia yang lemah dengan jalan koperasi, kemudian diberi kesempatan kepada golongan swasta untuk menyerahkan pekerjaan dan kapital nasional. Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di tanah air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama menjamin kekayaan alam kita, seperti hutan kita dan kesuburan tanah air kita, tetap terpelihara.” <br /><br />Kutipan tadi menunjukkan pemikiran Hatta di tahun 1946 bahwa perekonomian Indonesia dimasa datang diusahakan dengan jenjang prioritas berikut: Pertama, mendayagunakan rakyat sebagai pelaku pembangunan ekonomi dengan jalan koperasi; kedua, yaitu golongan swasta dan modal nasional; ketiga, bila tenaga dan modal nasional tidak mencukupi, maka kegiatan produksi dilakukan dengan meminjam tenaga dan modal asing; keempat, bila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan modalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modal di Indonesia dengan syarat-syarat oleh pemerintah agar kekayaan alam Indonesia tetap terjaga. <br /><br />Bila pemikiran Hatta pada tahun 1946 dimaknai pada hari ini sebagai tafsir historis atas Pasal 33 UUD 1945, tentu penggolongan yang bersifat prioritas oleh Hatta memiliki nilai otoritatif dalam pembentukan undang-undang dan dinamika sosial ekonomi.<br /><br />Konsep jenjang prioritas aktor yang disampaikan oleh Hatta dimaknai berbeda oleh Pemerintah dan DPR dalam keterangan yang disampaikan di dalam persidangan pengujian undang-undang serta di dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi. Bagi pemerintah, DPR dan Mahkamah Konstitusi, pendapat Hatta di atas merupakan titik tolak untuk melegalisasi bahwa liberalisasi serta peranan swasta dalam pengusahaan sumberdaya alam bukanlah hal yang “diharamkan”. Fungsionalisasi dari peranan swasta itu dilakukan secara kompetitif berdasarkan asas demokrasi ekonomi untuk berasing dengan koperasi dan badan usaha milik negara. Demokrasi ekonomi lebih diartikan sebagai persaingan daripada partisipasi secara struktural dari kelembagaan ekonomi masyarakat.<br /><br /><br /><br />Dalam putusan pengujian UU Penanaman Modal, Mahkamah Konstitusi menjabarkan prinsip-prinsip dasar demokrasi ekonomi yang diturunkan dari Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 sebagai berikut:<br />1. Asas efisiensi berkeadilan adalah asas yang mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing;<br />2. Asas berkelanjutan adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik masa kini maupun masa yang akan datang<br />3. Asas berwawasan lingkungan adalah asas penanaman modal yang memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup;<br />4. Asas kemandirian adalah asas yang mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi;<br />5. Asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan nasional.<br /><br />Dengan demikian, baik koperasi maupun BUMN dalam beberapa usaha pemanfaatan sumberdaya alam akan bersaing dengan pengusaha raksasa internasional seperti Trans National Corporation (TNC). Contoh nyata hal ini dapat dilihat dalam penentuan operator pemanfaatan minyak di Blok Cepu. Lewat serangkaian negosiasi akhirnya Pemerintah menyerahkan operator Blok Cepu kepada Exxon Mobil sebagai General Manager, sedangkan Pertamina memegang komite operasi bersama. Hal ini terjadi karena Pertamina dianggap tidak mampu, tidak efisien dalam dan berselubung dengan korupsi.<br /><br />d. Konstitusionalitas Privatisasi<br />Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam fungsi negara cq Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengelola (beheersdaad) sumberdaya alam diperbolehkan share-holding atau berbagi saham antara saham dari pemerintah dengan saham dari modal swasta. Dalam putusan pengujian UU Ketenagalistirkan, Mahkamah Konstitusi menjadikan privatisasi bersifat konstitusional dengan menyatakan:<br />“maka penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.” <br /><br />Pertimbangan demikian, disamping melegalisasi divestasi atau privatisasi, juga meyakini bahwa kepemilikan saham mayoritas relatif dari negara dapat mengontrol kebijakan BUMN. Penafsiran sebagaimana dikutip di atas dalam kategori penafsiran hukum merupakan penafsiran fungsional (functional interpretation) yang menilai konstitusionalitas suatu norma berdasarkan bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam penerapannya. <br /><br />Privatisasi itu lahir dengan memperhatikan Pasal 33 ayat (4) yang menuntut adanya efisiensi berkeadilan, yaitu untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing. Selama ini BUMN memonopoli pengelolaan suatu cabang produksi penting seperti minyak. Untuk menggusur monopoli itu maka BUMN “diperlemah” tidak hanya dengan membuat mekanisme persaingan antara BUMN dengan swasta, tetapi juga menciptakan peluang agar saham BUMN dimiliki oleh pihak bukan negara. <br /><br />Selama ini alasan Pemerintah untuk memprivatisasi BUMN adalah karena BUMN dianggap tidak efisien dan berselubung dengan korupsi. Namun dasar privatisasi BUMN yang demikian merupakan sesat pikir yang amat serius. Pertama karena privatisasi didasarkan kepada ketidakpercayaan Pemerintah terhadap institusi milik Pemerintah sendiri. Suatu pengakuan ketidakmampuan ini merupakan cerminan mental bangsa terjajah. Untuk perbandingan, sebagaimana diceritakan dalam buku Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, yang ditulis Harry A. Poeze. Tidak semua orang Indonesia di Negeri Belanda pada permulaan abad 20 sepakat dengan ide kemerdekaan dan kemandirian bangsa Indonesia yang disuarakan oleh Tjipto Mangoenkoeosomo dan Mohammad Hatta. Noto Soeroto (seorang Jawa) adalah cerminan orang yang lebih Belanda daripada orang Belanda. Noto Soeroto mengatakan bahwa untuk “Hindia (Indonesia) belum matang satu abad untuk merdeka.” Bagi Noto Soeroto yang diperlukan adalah suatu asosiasi kolonialisme antara Belanda dengan Hindia. Indonesia tidak bisa jadi bangsa mandiri tanpa bayang-bayang kekuasaan Ratu Belanda. Kedua, privatisasi BUMN tidak akan otomatis menghilangkan perilaku koruptif di dalam BUMN dan membuatnya mampu melayani masyarakat dengan baik. Privatisasi PAM Jaya misalnya tidak membawa pelayanan hak masyarakat atas air di Jakarta menjadi lebih baik. Disamping itu, privatisasi tidak akan menghilangkan kewajiban Pemerintah untuk memberantas korupsi pada lembaga-lembaga negara.<br /><br />Penelitian yang dilakukan oleh Winarno Yudho dkk (2005) tentang Privatisasi Ketenagalistrikan dan Migas yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi memberikan beberapa catatan penting terhadap kebijakan privatisasi yang sedang berlangsung. Beberapa kesimpulan dari penelitian itu antara lain:<br />1. Pengajuan pengujian UU Ketenagalistrikan dan UU Migas oleh masyarakat merupakan wujud penolakan terhadap privatisasi sektor Ketenagalistrikan dan Migas<br />2. Privatisasi syarat dengan kepentingan aktor-aktor globalisasi ekonomi seperti TNC’s, IFI’s dan Lembaga Dagang Internasional daripada suatu upaya mewujudkan kemandirian ekonomi bangsa<br />3. Resep privatisasi yang diberikan, baik di Indonesia maupun negara lain, khususnya di negara dunia ketiga oleh IMF sama sekali tidak memberikan catatan positif bagi perbaikan kinerja BUMN. Ini menunjukkan bahwa tidak ada kausalitas antara privatisasi dengan membaiknya kinerja BUMN. <br />4. Pengalaman di beberapa negara yang melakukan privatisasi malah menimbulkan dampak kenaikan harga, pemutusan hubungan kerja dan sama sekali tidak menjamin prinsip manajemen yang baik.<br /><br />e. Amandemen Konstitusi dan Pluralisasi Nilai<br />Hal yang tidak kalah penting untuk dikemukakan adalah soal pluralisasi nilai-nilai konstitusi lewat amandemen UUD 1945. Pluralisasi nilai-nilai itu terjadi dengan ditambahkannya ayat (4) di dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:<br />Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.<br /><br />Penambahan nilai-nilai tersebut tidak menjadi unsur pelengkap atau komplementer dari nilai-nilai penguasaan negara atas sumberdaya alam yang sebelumnya dicantumkan dalam Pasal 33 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. 7 (tujuh) prinsip dasar demokrasi ekonomi dalam rangka perekonomian nasional dalam Pasal 33 ayat (4) tidak meneguhkan penguatan ekonomi kolektif melalui koperasi, melainkan nilai-nilai baru yang dapat ditafsir secara lebih luas. <br /><br />Konsekuensi dari pluralisasi nilai-nilai penguasaan negara atas sumberdaya alam dari Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menjadikan sifat konstitusionalitas penguasaan negara atas sumberdaya alam tidak bersifat tunggal dan determinatif. Sehingga, konstitusionalitas tidak lagi diukur berdasarkan kebenaran, melainkan dari relasi kuasa berbagai aspek yang bertarung. Misalkan antara neoliberalisme dengan nasionalisme, historis dengan kontekstual, fondasionalisme dengan pragmatisme, ketertiban dengan kemanfaatan dan lain sebagainya.<br /><br />Berdasarkan pilihan konstitusional maka putusan lembaga yudisial dapat dinilai dengan menggunakan pendekatan teori pilihan rasional yang berkembang dalam wacana ekonomi politik. Meminjam pendekatan teori pilihan rasional, maka putusan Mahkamah Konstitusi terdiri dan dipengaruhi oleh empat elemen, yaitu:<br />1. Preferensi (preference) yang dilakukan dengan perangkingan atau menentukan prioritas berdasarkan berbagai pilihan konstitusionalitas yang mungkin. Dalam hal ini pluralisasi nilai yang sudah dilakukan dengan menambahkan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 merupakan pra kondisi yang menentukan keleluasaan putusan. <br />2. Kepercayaan (belief) yaitu untuk tidak bertindak semata-mata didasarkan kepada emosi dan kebiasaan, tetapi juga atas dasar kepercayaan akan struktur sebab akibat dunia nyata. Disinilah letak keyakinan hakim, baik berdasarkan bukti-bukti di persidangan, konteks sosial yang membentuk kesadaran hakim, serta kondisi eksternal yang sedang berlangsung memberikan pengaruh, seperti neoliberalisme.<br />3. Kesempatan (Oppurtunity) yang terkait dengan sumberdaya dan kendala. Baik atas luasnya kewenangan dan alat-alat yang dapat menjadikan tindakan memiliki legitimasi. Hal ini terkait dengan kewenangan dan relasi institusi pengadilan dengan lembaga negara serta lembaga sosial lainnya.<br />4. Tindakan (action) yaitu keputusan (amar) yang dipilih oleh hakim menjadi putusan Mahkamah Konstitusi.<br /><br />Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU di bidang sumberdaya alam terhadap Pasal 33 UUD 1945 tidak cukup dianalisa dengan menggunakan cara tradisional metodologi penafsiran hukum. Putusan tersebut tidak lagi murni berada pada domain hukum (yang murni), tetapi juga sebagai keputusan politik yang memoderasi dan memberikan legitimasi kepada masuknya nilai-nilai neoliberalisme ekonomi. <br /><br />Dalam dualisme hermeneutika konstitusi Lief H. Carter, maka putusan yang demikian mencerminkan pilihan oleh kaum pragmatis dari pada oleh kaum fondasionalis. Kaum pragmatis menekankan pentingnya keterkaitan antara aturan dan pilihan-pilihan. Bagi kaum pragmatis, masyarakat terbentuk melalui pencapaian dan pemeliharaan kualitas-kualitas komunikasi yang efektif diantara para anggota masyarakat. Sehingga, prinsip-prinsip hukum formal, filsafat doktrinal, dan bentuk analisis akademik tidak selaras dengan karakter dunia pragmatis yang penuh dengan narasi dan perbincangan. <br /><br />IV. MENGEMBALIKAN “YANG PUBLIK”<br /><br />Jika Negara adalah organ publik yang melampaui konsepsi badan hukum privat, mengapa Negara cq Pemerintah dapat menjadi pihak dalam sengketa dengan pihak swasta (asing) berkaitan dengan sumberdaya alam yang dikuasainya (Pasal 32 UU No. 25/2007)? Hal ini tidak lain karena Pemerintah dapat melakukan perjanjian atau kontrak dengan pihak swasta dalam ekonomi sumberdaya alam. Keadaan ini menurunkan derajat negara sebagai representasi “Yang Publik.” Degradasi ini terjadi secara sistematis lewat deregulasi yang dilakukan dengan mengadopsi hubungan perjanjian atau kontrak antara Pemerintah dengan Swasta dalam “pengalihan” suatu hak atas sumberdaya alam (UU Migas). <br /><br />Dalam literatur ditemukan setidaknya tiga paham tentang hubungan penguasaan negara atas sumberdaya alam. Pertama, Paham Negara Liberal Klasik. Akar pemikiran paham ini ditelusuri dari pemikiran Adam Smith dan John Locke. Paham ini menempatkan negara dalam posisi yang minimun untuk melancarkan liasseiz faire. Negara Penjaga Malam (nightwatchman state) hanya sebagai badan publik yang memastikan terpenuhinya hak dasar individu warga negara, yaitu hak kebebasan, hak hidup dan hak milik. Untuk memberikan kepastian hak milik bagi individu dan badan hukum privat, Negara memfasilitasi modal melalui kewenangannya memberikan izin dan perjanjian. Hubungan hukum yang utama dalam konsepsi ini adalah kebebasan bersaing (liberalisasi) dan kebebasan berkontrak (konsensual). <br /><br />Kedua, Paham Negara Kelas. Sejalan dengan pemikiran Karl Marx yang menganggap bahwa ketidakadilan dan kesenjangan sosial ekonomi antara borjuis dan proletar terjadi karena diadopsinya konsep kepemilikan individu, maka Negara hadir sebagai suatu representasi kelas sosial yang merombak tatanan kepemilikian individu untuk dijadikan sebagai kepemilikian kolektif dipundak Negara. Paham ini berpandangan bahwa hanya Negara yang memiliki hak milik atas sumberdaya alam untuk memberikan keuntungan bersama, tidak bagi kepentingan individu. <br /><br />Ketiga, Paham Negara Kesejahteraan (Welfare State). Paham ini mencoba menggabungkan antara Paham Negara Liberal Klasik dengan tujuan-tujuan yang ada dalam Paham Negara Kelas. Suatu upaya konseptual yang pragmatis. Paham ini tidak lagi semata-mata memposisikan negara sebagai alat kekuasaan tetapi sebagai organ yang melakukan pelayanan (an agency of service). Pelayanan oleh negara tidak terbatas pada bidang politik saja sebagaimana dalam paham liberal klasik, tetapi memasuki dimensi ekonomi untuk medorong pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan jaminan sosial. Namun Konsepsi Negara Kesejahteraan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks perkembangan kapitalisme. Desakan kapitalisme baik TNC dan MNC didukung oleh agen-agen internasional seperti IMF, World Bank dan WTO menggeser tujuan Negara Kesejahteraan yang sejatinya bertujuan untuk melayani pemenuhan hak-hak sipol dan ekosob warga negara menjadi pelayan bagi ekspansi kapitalisme global: Negara Karpet Merah.<br /><br />Doktrin Panca Fungsi Negara yang dibangun Mahkamah Konstitusi mencoba merekonstruksi “Yang Publik” dalam penguasaan negara atas sumberdaya alam. Terkait dengan sengketa antara Pemerintah dengan investor terkait pemberian izin HGU, HGB dan Hak Pakai, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penyelesaian sengketanya berada dalam rumpun pengadilan administrasi negara, bukan di pengadilan umum. Sebab pemberian HGU, HGB, dan Hak Pakai kepada investor merupakan manifestasi hubungan administrasi, bukan kontraktual. Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa pilihan penyelesaian sengketa antara Pemerintah dengan investor bukanlah materimuatan dari UU. Seharusnya klausula penyelesaian sengketa melalui arbitrase dicantumkan di dalam kontrak, kasus demi kasus.<br /><br />Model penyelesaian sengketa yang diinternasionalisasi melalui arbitrase internasional (Pasal 32 UU PM) sudah menjadi ancaman bagi kedaulatan Indonesia. Hal ini berkaca pada pengalaman kelahiran Perpu No. 1/2004 yang kemudian menjadi UU No. 19/2004 yang melegalisasi keberadaan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung yang sebelumnya dilarang dalam UU Kehutanan (UU No. 41/1999). Pada penghujung pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, perusahanaan tambang yang beroperasi di kawasan hutan lindung seperti Freeport mengancam akan membawa persoalan larangan pemerintah dalam UU Kehutanan ke Arbitrase Internasional sebab bertentangan dengan kontrak karya pertambangan yang sudah disepakati sebelumnya. Atas desakan itu Presiden mengeluarkan Perpu yang disepakati oleh DPR menjadi UU dan di-amini oleh Mahkamah Konstitusi.<br /><br />Hubungan keperdataan antara Pemerintah dengan Investor menggeser urusan publik ke dalam ruang bisnis dan berorientasi pada keuntungan ekonomi. Pada hal-hal tertentu pemerintahan yang demikian dapat dikategorikan sebagai Corporatocracy. Corporatocracy tidak saja dimaknai bahwa orang-orang di dalam pemerintahan didominasi oleh orang berlatarbelakang saudagar dengan motif ekonomi yang diraih dari kekuasaan politik, tetapi juga di baca dari konsep hubungan hukum yang dibangun dengan pihak investor. Watak Corporatocracy misalnya nampak dalam kasus Blok Cepu. Pada mulanya Pemerintah menyatakan tidak akan campur tangan dan menyerahkan kesepakat kepada Pertamina dengan Exxon Mobil dengan pendekatan B to B (business to business) Tetapi dalam praktiknya, soal pemanfaatan Blok Cepu tidak lepas dari campur tangan dua Presiden, yaitu Persiden SBY dengan Presiden Bush yang berbasis pada urusan bisinis: Business to Business, tidak murni Government to Government lagi. Implementasi hubungan hukum pemanfaatan Blok Cepu oleh Exxon Mobil dilakukan dengan MoU dan Kontrak Kerjasama oleh Pemerintah melalui BP Migas yang berkedudukan sederajat. Bukan administrasi perizinan yang satu arah.<br /><br />Di luar putusan Mahkamah Konstitusi juga sudah ada upaya untuk me-re-publik-asi hubungan keperdataan Pemerintah dengan investor, hal ini dalam dilihat dalam RUU Pertambangan Mineral dan Batubara (Versi tahun 2005) yang sedang dibahas di DPR untuk menggantikan UU Pertambangan (UU No. 11/1967). Disana rumusan kontrak diganti menjadi hubungan perizinan yang beraspek publik. Meski ada dorongan merubah kontrak menjadi izin, tetap harus diperhatikan bahwa penguasaan negara mempunyai relasi dengan hak-hak individu masyarakat serta hak masyarakat adat atas sumberdaya alam. Selama ini dalam praktiknya formalisasi hak oleh negara malah menjauhkan masyarakat untuk memanfaatkan dan menikmati sumberdaya alam. Bahkan mengusir masyarakat dari wilayah yang mereka tempati karena izin sudah diberikan kepada pihak swasta. <br /><br />Untuk itu, konsep penguasaan negara atas sumberdaya alam harus dilihat sebagai bagian dari sistem hak atas sumberdaya alam. Berbicara tentang “hak” dalam konstruksi politik, maka ia bersifat relasional yang mengaitkan seluruh pengemban hak dalam suatu sistem hak. Sistem hak tersebut dikatakan sebagai suatu sistem bila mengarah kepada satu tujuan. Tujuan yang digariskan oleh UUD 1945 adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak hanya bermakna rakyat sebagai objek yang akan menerima, sebab kemakmuran tidak saja soal hasil. Sebesar-besar kemakmuran rakyat juga soal proses, sehingga rakyat adalah subjek yang seharusnya terlibat secara partisipatif. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengarah kepada penguatan peran masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />Abrar Saleng, (2004). Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta.<br />Adzkar Ahsinin, (2005). Ancaman Globalisasi terhadap Implementasi Hukum Lingkungan: Sebuah Tinjauan Perspektif Feminist Theory, Tidak Dipublikasikan.<br />Arimbi Heroe Putri dkk, (2004). Manual Pendidikan Dasar Globalisasi, debtWATCH Indonesia, JK-LPK, dan Community Development Bethesda, Jakarta.<br />Baskara T. Wardaya, dkk, (2007). Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia, ELSAM, Jakarta<br />Black’s Law Dictionary, Eight Edition, (2004).Thomson Business, USA. <br />Bonnie Setiawan, (2006). Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, Makalah Disampaikan pada Diskusi Publik “Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial” yang diadakan oleh ‘Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi’ tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta.<br />C.B. Macpherson, (1989). Pemikiran Dasar Tentang Hak Milik, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta.<br />Deliarnov, (2006). Ekonomi Politik, Penerbit Erlangga, Jakarta.<br />Doty Damayanti, Artikel. Mengurai Kusut Kebijakan Energi Lewat Hak Angket, Kompas, 22 Juli 2008.<br />E. Utrecht/ Moh. Saleh Djindang, (1983). Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesebelas, PT. Ichtiar Baru, Jakarta. <br />Fikret Berkes (edt), (1989). Common Property Resource: Ecology and Community-Based Suistainable Development, Belvalen Press, London.<br />Gregory Leyh, (2008). Hermeneutika Hukum: Sejarah, Teori dan Praktik, Nusamedia, Bandung.<br />Harry A. Poeze, (2008). Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Kepustakaan Populer Gramedia dan KITLV, Jakarta. <br />Heru Nugroho, (2001). Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.<br />Ian Saphiro, (2006). Evolusi Hak dalam Teori Liberal, Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.<br />Indriaswati Dyah Saptaningrum, (2008). Jejak Neoliberalisme dalam Perkembangan Hukum Indonesia, Jurnal Jentera Edisi Khusus 2008, PSHK, Jakarta.<br />Jimly Asshiddiqie, (2005). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi: Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Konstitusi Press, Cetakan Kedua, Jakarta.<br />---------, (2006) Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta.<br />John Roland, Principles of Constitutional Interpretation, The Constitution Society, diakses dari http://www.constitution.org/cons/prin_cons.html, (4 April 2006)<br />Joseph E Stiglitz dan Sergio Godoy (2006), Growth, Initial Conditions, Law and Speed of Privatization in Transitional Countries: 11 Years Later, National Bureau of Economic Research, Massachusetts Avenue, Chambridge, 2006. Dapat diunduh di: http://www.nber.org/papers/w11992 <br />Joseph E. Stiglitz dan Karla Hoff, (2005). The Creation of Rule of Law and The Legitimacy of Property Rights: The Political and Economic Consequences of A Corrupt Privatization, National Bureau of Economic Research, Massachusetts Avenue, Chambridge, 2005. Dapat diunduh di: http://www.nber.org/papers/w11772<br />Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1990). Cetakan ketiga, Balai Pustaka, Jakarta. <br />M. Ridha Saleh, (2005). Ecoside : Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Walhi, Jakarta.<br />Mohammad Hatta, (1946). Ekonomi Indonesia di Masa Datang, Pidato yang diucapkan sebagai Wakil Presiden dalam Konferensi Ekonomi di Yogyakarta pada tanggal 3 Februari 1946. Lihat dalam buku: Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi: Membangun Sistem Ekonomi Nasional, editor Sri Edi Swasono, UI Press, Jakarta, 1985. hlm 1 – 13.<br />Mahfud MD, (1999). Pergulatan Politik dan Hukum Di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.<br />Marwan Batubara, dkk, (2006). Tragedi dan Ironi Blok Cepu: Nasionalisme yang Tergadai, Bening CitraKreasi Indonesia, Jakarta. <br />Moises Na’im, (2000). Washington Consensus or Washington Confusion?, Foreign Policy, Spring, diunduh dari http://www.foreignpolicy.com/ pada tanggal 31 Maret 2008.<br />Nadia Hadad, (tanpa tahun) Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Indonesia: Pengaruh Globalisasi dan Kebijakan World Bank, Infid, Jakarta. <br />Revrisond Baswir, (2006). Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, Pustaka Pelajar.<br />Rikardo Simarmata, (2002). Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Kepemilikan Tanah oleh Nagera, Insist Press, Jakarta.<br />Robertus Robet, (2005). Dari Transisi Ke Kontigensi: Hak Asasi Manusia Di Era Pasca-Soeharto. Dalam Jurnal Hak Asasi Manusia Dignitas, Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri, Volume III Nomor I Tahun 2005, ELSAM, Jakarta.<br />Winarno Yudho, dkk, (2005). Privatisasi Ketenagalistrikan, Minyak dan Gas Bumi: Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan, Kebijakan Politik Pemerintah dan Penerapannya di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.<br />Satjipto Rahardjo, (2006). Hukum dalam Jagat Ketertiban, UKI Press. Jakarta.<br />Susilo Bambang Yudhoyono, (2004). Revitalisasi Ekonomi Indonesia: Bisnis, Politik, dan Good Governance. Brighten Press: Versi Pdf Juni 2004<br />Wicipto Setiadi, (2007). Instumen Pemerintahan, diunduh dari: http://www.legalitas.org/?q=node/269 tanggal 25 Juli 2008.<br />Yance Arizona, (2007). Pembuka Pintu Calon Perseorangan; Analisis Metode Penafsiran MK dalam Putusan No. 05/PUU-V/2007, Jurnal Konstitusi Volume 4 Nomor 4, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. hlm 51 – 73.<br />---------, (2007) Penafsiran Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Studi Perbandingan Putusan Pengujian Undang-undang Ketenagalistrikan dan Putusan Pengujian Undang-undang Sumberdaya Air. Skripsi Sarjana Hukum (S1) Program Kekhususan Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.<br /><br />Surat Kabar<br />http://www.lampungpost.com<br />http://www.suaramerdeka.com <br /><br />Putusan Mahkamah Konstitusi<br />a. Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai Pengujian UU Nomor 20/2002 tentang Ketenagalistrikan.<br />b. Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 mengenai Pengujian UU Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. <br />c. Putusan Perkara Nomor 058- 059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 7/2004 tentang Sumberdaya Air. <br />d. Putusan Perkara Nomor 21-22/PUU-V/2007 mengenai Pengujian UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal.<br />e. Putusan Perkara Nomor 003/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutananan. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />LAMPIRAN<br />Tabel 1<br />UU Pada Masa Transisi Pasca Orde Baru (Reformasi) <br />Tahun Produk Kebijakan Keterangan<br />1999 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Mempertahankan skema-skema hak privat dalam pengusahaan hutan. Seiring dengan UU Otoda dan berbagai peraturan pelaksananya memberikan kewenangan kepada Pemda untuk mengeluarkan IPK di daerah<br />2000 UU No. 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman Pengaturan mengenai komersialisasi varietas pertanian, termasuk tanaman transgenik<br />2001 UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Penentuan tarif minyak melalui mekanisme pasar. Membentuk BP Migas yang akan melakukan kontrak kerjasama dalam pemanfaatan Migas dengan swasta.<br />2002 UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan Pengalihan mekanisme pelayanan listrik dari publik ke mekanisme pasar dan privatisasi/swastanisasi pengusahaan listrik dengan cara unbundling<br />2003 UU No. 27/2003 tentang Panas Bumi Melegalisasi Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi. Kegiatan usaha pada sektor hulu pertambangan panas bumi yang padat modal. <br />2004 UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air Komersialisasi dan privatisasi sumberdaya air<br /> UU No. 18/2004 tentang Perkebunan Perencanaan perkebunan dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan pasar<br /> UU No. 19/2004 tentang Perubahan UU Kehutanan Melegalisasi kembali pertambangan terbuka di dalam kawasan hutan lindung yang sebelumnya dilarang dalam UU No. 41/1999<br /> UU No. 31/2004 tentang Perikanan Pada tingkat peraturan pelaksanaanya membuka komersialiasi wilayah perikanan dengan berbagai skema hak.<br />2007 UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal - Persamaan antara investor dalam negeri dengan investor luar negeri - Kemudahan pemindahan aset - Perpanjangan di muka hak-hak atas tanah dan jangka waktu hak-hak atas tanah yang melebihi UUPA – Pengaturan sengketa penanaman modal melalui arbitrase Internasional<br /> UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Melegalisasi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir<br /> UU No. 30/2007 tentang Energi Mengadopsi istilah nilai keekonomian yang hampir mirip dengan harga pasar yang sudah dibatalkan MK dalam UU Migas<br />2008 RUU Mineral dan Batu Bara Sedang dibahas di DPR. Mengatur peranan swasta melalui mekanisme perizinan. Tidak lagi kontrak atau perjanjian.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Tabel 2<br />UU pada Masa Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru<br />No Nomor Undang-undang Hal yang diatur<br />1 UU No. 1/1967 Penanaman Modal Asing<br />2 UU No. 2/1967 Perubahan UU No. 9/1966 tentang Keanggotaan Kembali Republik Indonesia dalam International Monetary Fund dan Bank For Reconstruction and Development<br />3 UU No. 5/1967 Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan<br />4 UU No. 6/1967 Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan<br />5 UU No. 11/1967 Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan<br />6 UU No. 14/1967 Ketentuan Pokok Perbankan<br />7 UU No. 3/1968 Keanggotaan Republik Indonesia pada International Development Association<br />8 UU No. 5/1968 Penyelesaian Perselisihan Antara Negara Dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal<br />9 UU No. 6/1968 Penanaman Modal Dalam Negeri<br /><br /><br />Tabel 3<br />Sepuluh Prinsip-prinsip Dasar Washington Consensus<br />(Ten Commandments)<br />No Prinsip Dasar Penjelasan<br />1 Fiscal Discipline Large and sustained fiscal deficits contribute to inflation and capital flight. Therefore, govemments should keep them to a minimum.<br />2 Public Expenditure Priorities Subsidies need to be reduced or eliminated. Government spending should be redirected toward education, health, and infrastructure development.<br />3 Tax Reform The tax base "should be broad" and marginal tax rates "should be moderate."<br />4 Interest Rates Domestic financial markets should determine a country's interest rates. Positive real interest rates discourage capital flight and increase savings.<br />5 Exchange Rates Developing countries must adopt a "competitive" exchange rate that will bolster exports by making them cheaper abroad.<br />6 Trade Liberalization Tariffs should be minimized and should never be applied toward intermediategoods needed to produce exports.<br />7 Foreign Direct Investment Foreign investment can bring needed capital and skills and, therefore, should be encouraged.<br />8 Privatization Private industry operates more efficiently because managers either have a "direct personal stake in the profits of an enterprise or are accountable to those who do." State-owned enterprises ought to be privatized.<br />9 Deregulation Excessive government regulation can promote corruption and discriminate against smaller enterprises that have minimal access to the higher reaches of the bureaucracy. Governments have to deregulate the economy.<br />10 Property Rights Property rights must be enforced. Weak laws and poor judicial systems reduce incentives to save and accumulate wealth.<br />Sumber: "What Washington Means by Policy Reform" in John Wdliamson, ed., Latin American Adjustmem: How Much Has Happened? (Washington: Insntute for International Economics, 1990). Dalam Moises Na’im, Washington Consensus or Washington Confusion? Foreign Policy, Spring, 2000. hal. 89. Diunduh dari http://www.foreignpolicy.com/ pada tanggal 31 Maret 2008<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Tabel 4<br />Putusan Perkara Permohonan Pengujian UU Berkaitan Dengan Konstitusionalitas Pengusaan Negara Atas Sumberdaya Alam<br />No Pemohon No Perkara Putusan<br />UU No. 20/2002 tentang Ketenagalisrikan<br />1 Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia 001/PUU-I/2003 DIKABULKAN<br />2 Ir. Achmad Daryoko, M. Yunan Lubis, SH 021/PUU-I/2003 DIKABULKAN<br />3 Ir. Januar Muin, Ir. David Tombeng 022/PUU-I/2003 DIKABULKAN<br />UU No. 22/2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi<br />1 Dorma H. Sinaga, SH, Ketua Umum APHI Cs 002/PUU-I/2003 MENOLAK PERMOHONAN FORMIL, MENGABULKAN SEBAGIAN PERMOHONAN MATERIL<br />UU No. 19/2004 tentang Penetapan Perpu No. 1/2004 tentang Perubahan atas UU No. 41/1999 tentang Kehutanan menjadi UU<br />1 ICEL, WALHI, YLBHI, Lembaga Advokasi Satwa, dkk (Tim Advokasi Penyelamat Hutan Lindung) 003/PUU-III/2005 DITOLAK<br />2 DPP Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (DPP LRA), HM. Yunus & Drs. H. Abd Rasyid Gani. Kuasa Hukum: Dedi M. Lawe, SH dkk 013/PUU-III/2005 TIDAK DITERIMA<br />3 Hendra Sugiharto (PT. Astra Sedaya Finance), Bahrul Ilmi Yakub, SH., dkk 021/PUU-III/2005 DITOLAK<br />UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air<br />1 Munarman, SH dkk (Tim Advokasi Rakyat untuk Hak Atas Air) 058/PUU-II/2004 DITOLAK<br />2 Johnson Panjaitan, SH dkk (Walhi, PBHI dll) 059/PUU-II/2004 DITOLAK<br />3 Johnson Panjaitan, SH dkk (Walhi, PBHI dll) 060/PUU-II/2004 DITOLAK<br />4 Suta Widhaya 063/PUU-II/2004 DITOLAK<br />5 (Tim Advokasi Keadilan Sumberdaya Alam) Suyanto, Bambang Widjoyanto, SH, LLM 008/PUU-III/2004 DITOLAK<br />UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal<br />1 Diah Astuti, Hendri Saragih dkk (Tim Advokasi Gerak Lawan) 021/PUU-V/2007 DIKABULKAN SEBAGIAN<br />2 Diapin, Halusi Tabrani dkk. Kuasa Hukum: YLBHI, LBH Jakarta dan LBH Bandar Lampung 022/PUU-V/2007 DIKABULKAN SEBAGIANUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-82029414350132862642008-10-16T02:43:00.000-07:002008-10-16T18:55:26.160-07:00Draft Ranperna nagari Guguk Malalo (dalam proses penyusunan Pansus ranperna nagari Guguk Malalo yang di fasilitasi Perkumpulan qbar)RANCANGAN <br /><br />PERATURAN NAGARI GUGUK MALALO<br />NOMOR : ..... TAHUN 200...<br /><br />TENTANG :<br />PENGUKUHAN HAK ULAYAT DAN PENGELOLAAN ULAYAT MASYARAKAT NAGARI GUGUK MALALO<br /><br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />WALI NAGARI GUGUK MALALO<br />Menimbang : a. bahwa masyarakat nagari (adat) beserta hak ulayatnya merupakan hak bawaan yang telah ada jauh sebelum Negara Republik Indonesia merdeka dan keberadaannya masih tetap hidup dan bertahan sampai saat ini<br /> b. bahwa keberadaan hak ulayat penting bagi kesejahteraan masyarakat nagari (adat), dan identitas budayanya yang berlaku secara turun temurun dari nenek moyang dan dijaga kelestariannya untuk dapat dinikmati oleh generasi berikutnya secara berkelanjutan.<br /> c. bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18B ayat (2), Negara memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.<br /> d. bahwa terdapatnya tarik ulur pengakuan terhadap hak-hak masyarakat nagari (adat) dalam berbagai perundang-undangan yang mengakibatkan terjadinya tumpang tindih penguasaan terhadap hak ulayat di nagari guguk malalo dan berdampak pada hilangnya harmonisasi hubungan didalam masyarakat nagari.<br /> e. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, huruf b dan huruf c, perlu ditetapkan Peraturan Nagari tentang Pengukuhan hak ulayat dan Pengelolaan Ulayat Masyarakat nagari (Adat) di Kanagarian Guguk malalo.<br />Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 112) jo Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1979 ;<br /> 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria ;<br /> 3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ;<br /> 4. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah <br /> 5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negar Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888) ;<br /> 6. Undang-undang No.11 tahun 1967 tentang pokok-pokok pertambangan<br /> 7. Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan<br /> 8. Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air<br /> 9. Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal<br /> 10 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tetang Hak Asasi Manusia<br /> 11 Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.<br /> 12 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa<br /> 13 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan<br /> 14 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi kegiatan instansi vertikal di daerah (Lembar Negara Tahun 1988 Nomor 10, tambahan Lembar Negara Nomor 3373) ;<br /> 15 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tentang hak Guna Usaha guna bangunan dan hak Pakai ;<br /> 16 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, tentang pendaftaran tanah ;<br /> 17 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Presiden No.36 tahun 2005 tentang pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum ;<br /> 18 Peraturan menteri negara agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi ;<br /> 19 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ;<br /> 20 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor; P.51 / Menhut –II / 2006 Tentang Penggunaan Surat Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Hak<br /> 21 Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pokok-pokok Pemerintahan nagari (Lembar daerah Tahun 2000 Nomor 13) .<br /> 22 Peraturan Daerah Kabupaten Tanah datar tentang Nagari...................................<br />Dengan Persetujuan<br />BADAN MUSYAWARAH (BAMUS) <br />KENAGARIAN GUGUK MALALO<br />M E M U T U S K A N<br />Menetapkan : PERATURAN NAGARI GUGUK MALALO TENTANG PENGUKUHAN HAK ULAYAT DAN PENGELOLAAN ULAYAT MASYARAKAT NAGARI GUGUK MALALO DI NAGARI GUGUK MALALO <br /><br />BAB I<br />KETENTUAN UMUM<br />Pasal 1<br />Dalam peraturan daerah ini yang dimaksud dengan:<br />1. Hak ulayat adalah serangkaian kewenangan dan kewajiban masyarakat Nagari (adat) yang berkaitan dengan sumber daya alam dalam ruang lingkup wilayahnya, yang merupakan pendukung utama kehidupan dan penghidupan masyarakat nagari Guguk malalo sepanjang masa.<br />2. Pengukuhan adalah tindakan pemerintah dalam bentuk kebijakan, sikap, dan perlakuan yang mengukuhkan keberadaan hak ulayat dan beserta hak-hak yang ada di dalamnya.<br />3. Masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau di perintah oleh Penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas yang sangat besar di antara para anggota, memandang yang bukan anggota sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan oleh anggotanya.<br />4. Masyarakat Nagari adalah kelompok masyarakat yang mempunyai daerah dengan batas-batas tertentu, berpemerintahan atau pemimpin serta mempunyai harta kekayaan tersendiri, lengkap dengan pengaturannya.<br />5. Penguasaan adalah kewenangan untuk melahirkan keputusan-keputusan terhadap hak ulayat <br />6. Pengelolaan adalah...............................<br />7. Rimbo (Hutan) adalah.........................<br />8. Parak atau Ladang adalah .................<br />9. Wilayah Pertanian adalah....................<br />10. Pihak ketiga adalah individu, kelompok dan atau badan hukum baik itu privat dan atau publik diluar pemilik hak ulayat<br />11. Pemerintah Nagari adalah pemerintah nagari dilingkungan nagari Guguk Malalo<br />12. ..................Jelaskan juga Pemerintahan daerah yang lain....................<br />13. Hukum adat adalah hukum yang tumbuh, berkembang dan berlaku dalam masyarakat adat berdasarkan sejarah asal usul<br />14. Pemilik Ulayat adalah subjek hak atas ulayat <br />15. Konflik Ulayat adalah sengketa atau perselisihan atas pemilikan, penguasaan dan pmanfaatan hak ulayat<br />16. Penyelesaian sengketa adalah mekanisme yang berlaku dalam masyarakat adat untuk menemukan jalan kelar atas konflik ulayat<br />17. Fasilitasi adalah Peran pemerintah atau negara untuk membantu para pihak mencapai kesepakatan <br />18. Pengukuhan hak adalah pengakuan secara hukum atas hak ulayat.<br /><br />BAB II<br />STATUS HAK ULAYAT<br />Pasal 2<br />1. Status Hak Ulayat terdiri dari Ulayat Nagari, Ulayat Suku dan Ulayat Kaum.<br />2. Ulayat Nagari adalah seluruh wilayah yang dimiliki dan dikuasai oleh seluruh anak nagari yang lahir secara turun temurun yang diatur oleh Kerapatan Adat Nagari dan dilaksanakan oleh Pemerintahan Nagari.<br />3. Ulayat Suku, adalah seluruh wilayah yang dimiliki dan dikuasai oleh semua anggota pasukuan secara turun temurun yang diatur oleh ninik mamak pasukuan dan di kendalikan oleh panghulu pucuk suku. <br />4. Ulayat kaum, adalah seluruh wilayah yang dimiliki dan dikuasai oleh semua anggota kaum secara turun temurun yang di atur oleh mamak kepala waris dan di kendalikan oleh ninik mamak kaum.<br /><br />BAB III<br />PENGAKUAN DAN PENGUKUHAN HAK ULAYAT<br />Pasal 3<br />Peraturan Nagari ini bertujuan untuk mengakui dan mengukuhkan keberadaan hak ulayat masyarakat Nagari di Nagari Guguk Malalo.<br /><br />Pasal 4<br />Pengukuhan hak ulayat masyarakat nagari guguk malalo oleh pemerintahan nagari<br /><br />Pasal 5<br />Pengukuhan hak ulayat suku dan ulayat kaum oleh pemerintahan nagari atas pengakuan Kerapatan Adat Nagari.<br /><br />Pasal 6<br />Setiap hubungan hukum yang berkaitan dengan hak ulayat masyarakat Nagari (adat) di Nagari Guguk Malalo harus mengacu pada hukum adat masyarakat Nagari Guguk Malalo.<br /><br />BAB IV<br />PENGELOLAAN HAK ULAYAT.<br />Pasal 7<br />Pengelolaan hak ulayat dilakukan oleh masyarakat Nagari (adat) berdasarkan ketentuan adat yang berlaku di masyarakat dengan mempertimbangkan keberlanjutan Sumber Daya Alam dan tidak merugikan pihak lain.<br /><br />Pasal 8<br />Pengelolaan dan pemanfaatan ulayat dapat di kelola pada;<br />(1) ulayat nagari oleh semua seluruh anak nagari berdasarkan hukum adat dan atau oleh Badan Usaha Milik Nagari yang dibentuk oleh Pemerintahan nagari atas pengakuan Kerapatn Adat Nagari<br />(2) ulayat suku oleh semua anggota persekutuan berdasarkan hukum adat.<br />(3) Ulayat kaum oleh semua anggota kaum berdasarkan hukum ada<br />Pasal 9<br />Pengelolaan ulayat dimungkinkan untuk dilakukan oleh pihak lain setelah memperoleh ijin dari pemilik ulayat berdasarkan persetujuan suka rela dengan mempertimbangkan keberlanjutan Sumber Daya Alam.<br /><br />Pasal 10<br />Pengelolaan Ulayat oleh Pihak lain berdasarkan persetujuan suka rela dan tidak menghilangkan status Hak ulayat<br /><br />BAB V<br />KEWAJIBAN PEMERINTAH NAGARI<br />Pasal 11<br />Terhadap ulayat, Pemerintah Nagari berkewajiban merumuskan dan menyelenggarakan perencanaan pengelolaan ulayat dan menjaga keutuhan serta keberlanjutan pemilikan dan penguasaan tanah oleh masyarakat Nagari (adat) di Nagari Guguk Malalo yang kemudian diatur dalam Peraturan Nagari Tentang tata ruang Wilayah Nagari Guguk Malalo.<br /><br />BAB VI<br />PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH NAGARI GUGUK MALALO <br />Pasal 12.<br />Penyusunan perencanaan tata ruang wilayah nagari guguk malalo di ulayat nagari dilakukan pada;<br />(1) ulayat nagari dirumuskan bersama antara pemerintahan nagari dengan Kerapatan Adat Nagari dengan berpartisipasi dalam proses perencanaan tata ruang wilayah nagari guguk malalo (masih dalam perdebatan)<br />(2) ulayat suku dan kaum difasilitasi oleh pemerintahan nagari dan Kerapatan Adat Nagari<br />(3) Dalam hal perumusan perencanaan tata ruang wilayah nagari guguk malalo dapat dibantu pihak lain.<br /><br />BAB VII<br />PENGAWASAN ATAS PERENCANAAN, PENGELOLAAN DAN PELESTARIAN ULAYAT NAGARI, SUKU SERTA KAUM<br />Pasal 13.<br />Pengawasan atas perencanaan, pengelolaan dan pelestarian ulayat nagari, suku dan kaum oleh Kerapatan Adat Nagari serta Pemuda Nagari.<br /><br />Pasal 14<br />Pihak ketiga berkewajiban melestarikan sumber daya alam di ulayat nagari, suku serta kaum dalam pengelolaannya <br /><br />BAB VIII<br />PENYELESAIAN SENGKETA<br />Pasal 15<br />Penyelesaian Sengketa yang berkaitan dengan hak ulayat terbagi atas;<br />(1) sengketa hak ulayat kaum oleh Niniak Mamak Kaum dengan musyawarah anggota kaum<br />(2) Sengkata antar kaum oleh suku Penghulu pucuk dalam suku dengan musyawarah bersama penghulu kaum dalam suku<br />(3) Sengketa antar suku dalam Koto Oleh penghulu pucuk Koto dengan Musyawarah seluruh niniak mamak dalam koto<br />(4) Sengketa antar koto dalam nagari Karapatan Adat Nagari dengan Penghulu Jurai diselesaikan melalui Musyawarah Kerapatan Adat Nagari dengan Penghulu Jurai<br />(5) Sengketa yang melibatkan nagari lain oleh Pemerintahan Nagari dan KAN melalui Musyawarah untuk mecari perdamaian dengan KAN dan pemerintahan nagari lain serta mengupayakan Jasa Pihak lain untuk membantu penyelesaiannya <br />(6) Penyelesaian sengketa sebagaiman disebut dalam pasal 15 ayat 1,2,3,4 dan 5 di atas apabila tidak bisa diselesaiakan melalui mekanisme bajanjang naik batanggo turun maka mengajukan ke Pengadilan Negeri.<br /><br /><br />BAB VII<br />KETENTUAN PERALIHAN<br />Pasal 16<br />Terhadap hak ulayat yang pada saat berlakunya perda ini berada pada penguasaan dan pemanfaatan pihak ketiga dilakukan negosiasi ulang antara masyarakat dengan pihak ketiga yang akan difasilitasi oleh Pemerintahan Nagari<br /><br />Pasal 17<br />Terhadap Hak ulayat nagari yang masuk dalam administrasi pemerintahan nagari lain di Negosiasi ulang antar Pemerintahan Nagari dan KAN untuk menemukan kesepakatan bersama tentang pengelolaan dan pemanfaatan ulayat adat<br /><br />Pasal 18<br />Terhadap Hak ulayat suku/kaum dari nagari lain yang ada di guguak malalo diakui dan dilindungi sebagai ulayat kaum atau suku yang bersangkutan yang pengelolaannya tunduk pada ketentuan adat nagari setempat<br /><br />BAB IX<br />KETENTUAN PENUTUP<br />Pasal 19<br />Hal – hal yang belum cukup di atur dalam peraturan nagari ini akan diatur lebih banyak dengan peraturan walinagari<br /><br />Pasal 20<br />Peraturan Nagari ini mulai berlakunya pada tanggal yang diundangkan<br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan mengundangkan peraturan nagari ini dengan penempatannya dalam berita daerah kabupaten tanah datar<br /><br /><br /><br /><br /> Ditetapkan di Guguk Malalo<br /> Pada tanggal<br /> WALINAGARI GUGUK MALALO<br /><br /><br /> Drs. M. Yunus<br /><br />Diundangkan di Batusangkar<br />Pada tanggal.......................<br /><br />Sekretaris Daerah<br /><br /><br /><br />..............................<br />Pangkat............<br /><br /><br />Berita Daerah Kabupaten Tanah Datar<br />Tahun.........Nomor.................Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-86503336825668598142008-10-16T02:36:00.000-07:002008-10-16T18:56:29.764-07:00Ringkasan Penelitian Kajian terhadap Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya<span style="font-weight:bold;">Oleh <br />Nurul Firmansyah dan Yance Arizona<br />(Perkumpulan HuMa dan Perkumpulan Qbar)</span><br /><br />BAB I<br />Pendahuluan<br /><br />A. Latar Belakang.<br /><br />Tanah ulayat merupakan kondisi konstitutif keberadaan suatu masyarakat adat. Perjuangan pengakuan atas tanah ulayat merupakan agenda utama gerakan masyarakat adat di Indonesia dan dunia. Pada level internasional perjuangan itu telah sampai pada Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on The Rights of Indegenous Peoples) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 13 September 2007. Salah satu isi dari deklarasi tersebut adalah penegasan hubungan antara masyarakat adat dengan hak-hak tradisionalnya, termasuk tanah ulayat, sebagai hak-hak dasar yang harus diakui, dihormati, dilindungi dan dipenuhi secara universal. <br /><br />Perjuangan hak masyarakat adat terutama dalam hal penguasaan ulayat (sumber daya alam) di Indonesia acap terbentur oleh kebijakan agraria nasional dan atau kebijakan PSDA yang sektoral, dan menggantungkan hak ulayat kepada pengakuan negara dengan batas-batas pengakuan hak yang rinci dan jelimet. Kondisi kebijakan tersebut di perparah lagi oleh berbagai distorsi penafsiran dan implementasi kebijakan yang mendesak keberadaan hak ulayat oleh masyarakat adat.<br /><br />Paska sentralisasi pemerintahan daerah di masa ORBA atau yang kita kenal dengan era Otonomi daerah (otoda) tidak banyak memberikan perubahan berarti bagi penguatan hak masyarakat adat atas SDA karena sentralisasi kebijakan SDA masih sentralistik dan berpangku pada pengelolaan negara dan modal besar. Walaupun era Otoda tidak signifikan untuk kebijakan PSDA oleh Masyarakat adat, setidaknya memberikan peluang bagi revitalisasi masyarakat adat dalam struktur pemerintahan daerah, yang kemudian oleh Sumatera Barat di tangkap dengan mengembalikan sistem pemerintahan nagari.<br /><br />Berbagai kritik berkenaan dengan sistem bernagari (sistem pemerintahan nagari) muncul dan berkembang hari ini. Kritik tersebut secara garis besar berhubungan dengan belum mampunya sistem pemerintahan nagari mengintegrasikan sistem adat dengan sistem pemerintahan. Terlepas dari berbagai kritik tersebut, sistem bernagari hari ini sedikit banyaknya mengembalikan semangat bernagari yang telah dirusak oleh sentralisasi pemerintahan daerah di masa Orba (sistem pemerintahan desa) dan juga memberi peluang pada penguatan hak masyarakat adat dan dinamika-dinamikanya. <br /><br />Dengan lahirnya Perda No. 6 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (TUP) memberikan suasana tersediri bagi dinamika penguatan masyarakat nagari, Perda serupa sebenarnya telah ada di daerah lain seperti Perda Kabupaten Kampar No. 12/1999 tentang Hak Tanah Ulayat dan Perda Kabupaten Lebak No. 32/2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Dalam konteks Perda TUP pada level provinsi membuat tingkat abstraksi Perda TUP lebih tinggi karena harus menggambarkan keberagaman struktur sosial yang ada di dalam masyarakat. Seringkali Perda tingkat provinsi di Sumatera Barat tidak bisa menggeneralisasi struktur sosial masyarakat Sumatera Barat yang beragam, terutama antara masyarakat etnis Minangkabau yang berada di daratan dengan masyarakat etnis Mentawai yang berada di kepulauan.<br /><br />Dalam literatur pluralisme hukum, menurut Stradford Moores, pertemuan antara kaidah hukum adat dengan hukum nasional (Perda) dalam lokal sosial yang sama (one social field) memungkinkan empat model interaksi hukum. Pertama, integrasi (integrate) yaitu penggabungan sebagian hukum negara dan hukum lokal; Kedua, inkoorporasi (incoorporate) yaitu penggabungan sebagian hukum negara ke dalam hukum adat atau sebaliknya; Ketiga, konflik (conflict) yang tidak terjadi penggabungan sama sekali mengingat hukum negara dan hukum lokal dimaksud saling bertentangan; dan Keempat, menghindar (avoidance) yaitu salah satu hukum menghindari kebelakukan hukum yang lain. <br /> <br />Interaksi antara hukum adat dengan hukum nasional menampilkan dua sisi, yaitu upaya mempertanahkan tradisi pada satu sisi dengan upaya-upaya mengakomodasi kepentingan-kepentingan kekinian dari luar struktur adat pada sisi lain. Sehingga merupakan suatu adaptasi sosial dan politik. Masyarakat Minangkabau memiliki kecenderungan yang tinggi dalam beradaptasi dengan “dunia luar”. Filosofi adat alam takambang jadi guru mencerminkan sikap yang ingin belajar dari perkembangan yang terajadi pada dinamika sosial, politik dan ekologis yang berlangsung. Sehingga perkembangan yang terjadi “di alam” itu bisa memberikan manfaat bagi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sikap yang terbuka ini mengadirkan sejumlah tantangan yang harus dihadapi.<br /><br /><br />Lahirnya Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya menghadirkan sejumlah tantangan. Baik tantangan dari struktur hukum pertanahan nasional, kepentingan investasi dan konflik tanah ulayat yang selama ini berlangsung di Sumatera Barat. Kajian ini ditujukan untuk menyigi beberapa tantangan yang akan dihadapi dengan berlakunya Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Sehingga kajian ini memiliki relevansi bagi pengambil kebijakan dan masyarakat atas tindakan-tindakan yang dapat dihadapi untuk menjaga keberadaan tanah ulayat di Sumatera Barat.<br /><br />B. Metode Penulisan<br /><br />Penelitian hukum dengan pendekatan interdisipliner (normatif sistematikal, pluralisme hukum, politik hukum, ekonomi politik). Pemaparan dilakukan secara deskriptif analitis untuk mengetahui proses pembentukan, substansi yang diatur dan beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh masyarakat adat dan keberadaan tanah ulayat di Sumatera Barat. Bahan hukum diperoleh dengan cara penelusuran dokumen, diskusi kampung, wawancara, dan konsultasi publik. <br /><br />C. Tujuan:<br /><br />1. Memaparkan proses kelahiran Perda TUP<br />2. Menganalisa substansi pengaturan dengan berbagai perspektif<br />3. Menganalisa kebijakan pemerintah yang terkait dengan implementasi Perda TUP<br />4. Menemukan sejumlah tantangan impelementasi dan perlindungan terhadap masyarakat adat dan tanah ulayat<br /><br />BAB II<br />Jalan Panjang Menuju Perda Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya<br /><br />A. Inisiatif Rancangan Perda Propinsi Sumatera Barat tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat (RPTU), 2001 -2003<br /><br />Landasan penyusunan RanperdaPemanfaatan tanah ulayat (RPTU) di landasi oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Selanjutnya Permenag No. 5/1999) yang merupakan aturan pelaksana pasal 3 UUPA. Seiring dengan pembahasan draft Ranperda Tanah Ulayat oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Proyek Administrasi Pertanahan (Land Administration Project) mengadakan penelitian di desa Tigo Jangko Kabupaten Tanah Datar yang berlangsung pada bulan februari hingga maret tahun 2000 dengan tujuan mengetahui maksud dari tanah ulayat dan melihat seberapa jauh masyarakat menginginkan pendaftaran tanah ulayatnya. Pada tanggal 24-25 Oktober 2000 lokakarya tanah ulayat yang dilaksanakan di Padang membahas hasil temuan penelitian Proyek di atas yang kemudian di respon dengan pembentukkan tim pembahasan perumusan dan sosialisasi tentang pengaturan pemanfaatan tanah ulayat masyarakat hukum adat di Propinsi Sumatera Barat oleh Pemerintah propinsi Sumatera Barat. <br /><br />Karena peyusunan Perda tanah ulayat di dasari oleh Permenag No. 5/1999, maka langkah-langkah yang diambil mengacu pada Permen tersebut. Oleh sebab itu, dilakukanlah penelitian untuk menguji keberadaan tanah ulayat di Sumatera Barat pada tahun 2001. Penelitian ini di lakukan oleh Tim yang terdiri dari instansi pemerintah daerah, LKAAM dan kalangan akademisi. Adapun Tim tersebut di bagi atas dua tim kecil, yaitu; Tim A yang di ketuai oleh; Sekretaris Daerah Propinsi Sumatera Barat dan Tim B yang di ketuai oleh Syahmunir, dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim menguatkan keyakinan akan kuatnya keberadaan tanah ulayat di kabupaten-kabupaten, selain itu hasil penelitian juga menemukan bahwa; pertama; tanah ulayat boleh dipindahtangankan kepada pihak lain dengan sifat semetara, kedua; pendaftaran tanah ulayat cukup untuk kepastian hak namun tidak sampai pada di sertifikatkan, ketiga; responden mengganggap penting di buatnya Perda tentang hak ulayat.<br /><br />Dari hasil penelitian diatas, tim merasa mempunyai alasan untuk melanjutkan kerja penyusunan Rancangan Perda Tanah ulayat yang kemudian diiringi dengan bergabungnya Kanwil BPN Sumatera Barat yang menghasilkan Rancangan Perda Propinsi Sumatera Barat tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat (selanjutnya di sebut RPTU) di tahun 2001. Di Sumatera Barat sendiri, RPTU menuai kritikan dari berbagai pihak, terutama dari kalangan masyarakat sipil, dan akademisi. Walaupun demikian Tahun 2003, Pemerintah propinsi Sumatera Barat tetap mengajukan Draft RPTU kepada DPRD Propinsi Sumatera Barat yang kemudian di ikuti dengan sosialisasi kepada seluruh pemerintah kabupaten dan kota dalam bentuk seminar, yang diikuti juga oleh LBH Padang sebagai unsur masyarakat sipil. Paska seminar sosialisasi RPTU tahun 2003 memacu respon penolakan atas draft ini, baik itu oleh kelompok masyarakat sipil (NGO), maupun individu-individu. Kondisi ini dapat dicermati dengan beberapa kali telah terjadi penyampaian pendapat di kantor DPRD Sumbar antara lembaga-lembaga NGO dan atau perorangan dengan pihak legislatif.<br /><br />B. Penolakan RPTU oleh Masyarakat Sipil di tahun 2003<br /><br />Oleh Kurniawarman dan Rachmadi terdapat dua alasan yang mendasari penolakan tersebut, yakni; pertama, dari aspek formal Ranperda ini mengandung cacat karena tidak dilengkapi dengan naskah akademis. Selain itu, pelibatan unsur diluar Pemda sekedar sebagai alat untuk menguatkan alasan guna mendapatkan dana bagi pembuatan Perda, kedua; dari aspek materil, materi RPTU ini di anggap berbahaya karena bukan malah melindungi dan menjamin tanah ulayat, namun hanya mengaakomodasi kepentingan pengusaha agar mudah mendapatkan tanah untuk investasi, selain itu RPTU meneruskan dan memperdalam sektoralisme pegelolaan Sumber daya alam karea objek pengaturannya hanya tanah, tidak termasuk sumber daya alam secara keseluruhan, walaupun sebenarnya patokan RPTU dari pasal 3 UUPA dan Permenag No. 5/1999 yang tidak memisahkan ruang lingkup hak ulayat atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya.<br /><br />Secara materil, yang menjadi sorotan tajam adalah pasal 11 RPTU, yang menyatakan bahwa terhadap tanah hak ulayat yang telah diganti atas haknya menurut UUPA dan apabila masanya berakhir, maka tanah tersebut menjadi tanah yang langsung di kuasai oleh negara (tanah negara). Artinya, secara normatif tidak memberikan solusi bagi tanah ulayat yang beralih menjadi salah satu hak menurut UUPA seperti HGU, pedahal selama ini konflik pertanahan berlangsung secara massif di wilayah tersebut. <br /><br />Untuk menyikapi ancaman yang muncul dari RPTU, maka di bulan Februari 2003, beberapa lembaga yaitu; LBH Padang, Warsi Sumatera Barat, LP2M, ELLANS Institute, P2TANRA dan LARA Institute aktif melakukan advokasi penolakan RPTU yang kemudian diikuti dengan lembaga-lembaga lain, yaitu; Qbar, FMN, SPSB, KPI dan LAM & PK FHUA. Kemudian untuk mencoba membangun sinergisitas kerja advokasi dalam menyikapi Rancangan Perda ini, maka dilakukanlah diskusi kritis yang di hadiri oleh NGO, akademisi, pers dan masyarakat di kantor LP2M pada tanggal 26 maret 2003. Diskusi ini merupakan titik penting bagi konsolidasi kelompok masyarakat sipil untuk mengawal advokasi RPTU. Selain membahas substansi RPTU yang menghasilkan pemahaman tentang besarnya dampak negatif implementasi Ranperda terhadap eksistensi hak ulayat, juga menghasilkan beberapa kesepakatan dalam konteks advokasi RPTU, yaitu; pertama, Adanya tim inti yang mengatur proses Advoksi Ranperda, yang beranggotakan; Syafrizaldi (KKI Warsi), Andiko (LBH Padang), Lani verayanti (LP2M), Isma rossy (ELLANS), Jomi suhendri (Qbar), Yesky (Mahasiswa) dan Taufik (P2TANRA), kedua, Tim inti akan bekerja untuk mengkampayekan RPTU kepada publik (melalui media massa dan pertemuan dengan masyarakat), melakukan analisis awal Ranperda, membangun konsolidasi dengan kelompok lain, dan merancang strategi aksi. <br /><br />C. Keberadaan Pagar Alam Minangkabau (PALAM) Sumatera Barat di tahun 2003-2004.<br /><br />Tim inti yang di dukung oleh beberapa NGO merupakan embrio awal dari pembentukan Pagar Alam Minangkabau (selanjutnya disebut PALAM) Sumatera Barat yang merupakan koalisi NGO, Organisasi Rakyat, dan Organisasi Mahasiswa di Sumatera Barat untuk mengawal RPTU. Melembaganya koalisi ini di bulan april 2003 merupakan bentuk kesadaran atas kebutuhan advokasi bersama masyarakat sipil dalam membangun kekuatan mengawal RPTU secara sistematis. Secara organisasi, PALAM sendiri merupakan koalisi taktis yang bekerja atas mandat anggota-anggotanya yang merupakan lembaga-lembaga untuk mengawal RPTU. Untuk memperlancar kerja koalisi, maka di bentuklah Badan Pekerja (BP PALAM) yang di pilih dari individu-individu dari lembaga-lembaga anggota yang terdiri; Andiko sebagai koordinator, Vino Oktavia, Jomi Suhendri di Sekretariat BP PALAM, Lany verayanti, Syafrizaldy di kampanye dan lobi, serta Nawir sikki, emil, taufik syafei di pemantauan. Komposisi BP PALAM kemudian berubah, seiring dengan kepindahan Andiko selaku koordinator ke IHSA di Jakarta, yang kemudian di gantikan oleh Samarathul Fuad.<br /><br />Tekanan penolakan RPTU semakin gencar di lakukan oleh masyarakat, baik itu pernyataan-pernyataan tokoh di media massa maupun penolakan-penolakan masyarakat nagari. Bentuk penolakan masyarakat nagari berupa pengiriman surat penolakan kepada Pansus RPTU DPRD Sumatera Barat seperti yang dilakukan oleh Nagari selayo, Tanang, Bukik sileh di kabupaten solok dan Puncak adat saparampek Nagari kapa di kabupaten Pasaman. Tekanan-tekanan tersebut dapat menghambat pembahasan RPTU oleh Pansus RPTU DPRD Sumatera Barat, selain faktor tekanan masyarakat, faktor internal DPRD Sumatera Barat juga mempangaruhi proses pembahasan RPTU, faktor tersebut adalah; Pertama, proses hukum dugaan korupsi APBD Sumatera Barat tahun 2002 yang melibatkan sebagian besar anggota DPRD, kedua, konsolidasi interal partai politik guna persiapan pemilu 2004, ketiga, keterbatasan dana persidangan pembahasan Ranperda, dimana dana yang dialokasikan sebanyak 2 Milyar ternyata memasuki semester kedua tahun 2003 sudah hampir habis.<br /><br />Pengawalan RPTU berjalan terus seiring dengan terundur-undurnya proses pembahasan Ranperda di Pansus DPRD Sumatera Barat sampai dengan penghujung tahun 2003, salah satu yang dilakukan adalah diskusi yang menghadirkan ketua Pansus RPTU, akademisi dan masyarakat di Kampus Fakultas Hukum Universitas Andalas oleh LAM&PK FHUA bersama dengan PALAM pada tanggal 29 oktober 2003. Diskusi tersebut merupakan respon untuk menangkal pengesahan RPTU, dimana dari hasil pemantauan yang dilakukan didapatkan informasi tentang rencana akan disahkannya RPTU pada bulan oktober 2003, namun kenyataannya pengunduran pembahasan Ranperda ini berlanjut sampai dengan tahun 2004.<br /><br />Di pertengahan tahun 2004, pembahasan RPTU kembali diagendakan Pansus. Oleh Moestamir Makmoer (ketua pansus) menyebutkan bahwa; RPTU setuju untuk di bahas DPRD Sumatera Barat dan sudah di tandatangani bapak Arwan Kasri (selaku ketua DPRD Sumbar). Menurutnya, RPTU telah di telaah dengan para akademisi, tokoh adat dan LKAAM Sumatera barat yang pada prinsipnya tidak mempermasalahkan isi draft Ranperda, namun penolakan hanya pada pasal 11, yaitu yang berhubungan dengan putusnya hubungan hokum masyarakat adat dengan ulayatnya di tanah-tanah bekas HGU (hak-hak yang telah diberikan UUPA). Menyikapi hal tersebut, PALAM Sumbar tetap pada penolakan Draft RPTU, bukan hanya pada penolakan pasal 11 Ranperda, sikap ini termanifest dari aksi yang dilakukan PALAM Sumbar pada tanggal 7 Juli 2004 di gedung DPRD Sumatera Barat. <br /><br />Pembahasaan RPTU terus berlanjut, namun kemudian aktifitas sidang-sidang pembahasan RPTU mengalami stagnasi karena kesibukan anggota Dewan dalam persiapan pemilu 2004. Akhirnya, di sekitar bulan Agustus 2004 oleh ketua Pansus RPTU menyatakan bahwa pembahasan dan pengesahan RPTU akan diteruskan oleh anggota DPRD Sumatera Barat periode 2004-2009. <br /><br />D. Keberadaan Pagar Alam Minangkabau (PALAM) Sumatera Barat di tahun 2005- sekarang.<br /><br />Setelah tertundanya pembahasan Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat oleh DPRD Propinsi Sumatera Barat periode 1999-2004, maka pada awal tahun 2005 sampai dengan 2007, tidak ada pengajuan kembali draft RPTU dari pemerintah propinsi Sumatera Barat kepada DPRD Propinsi Sumatera Barat periode 2004 -2009. Namun pada masa ini, yaitu di akhir tahun 2005, wacana perubahan Perda propinsi Sumatera barat No.9 tahun 2000 tentang pokok-pokok pemerintahan Nagari (perda no. 9/2000) menjadi agenda pemerintah propinsi Sumatera barat untuk di bahas. <br /><br />Setelah pengesahan perda no.2/2007, maka upaya mengagendakan kembali RPTU oleh pemerintah propinsi sumatera barat yang tertunda sejak tahun 2001 mulai dibahas pada pertengahan tahun 2007, dengan mengajukan kembali draft RPTU. RPTU yang diajukan pada tahun 2007 terdapat perbedaan dengan draft yang diajukan di tahun 2001, yaitu pengaturan tentang tanah-tanah ulayat yang telah diganti dengan hak atas tanah oleh UUPA, setelah masanya berakhir akan kembali kepada masyarakat hukum adat, hal ini terlihat dalam pasal 11, yang menyebutkan:<br />1) Terhadap Tanah Ulayat yang diberi alas hak erfpacht, hak pakai atau HGU, apabila masa berlakunya sudah berakhir, maka tanah ulayat tersebut kembali kepada masyarakat hukum adat<br />2) Pengaturan dan pemanfaatan selanjutnya terhadap tanah sebagaiman dimaksud ayat (1) dilaksanakan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) bersama dengan pemerintahan Nagari, sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota, hanya sebagai mediator.<br /><br />Secara keseluruhan roh pengaturan RPTU ini tidak jauh berbeda dengan RPTU yang diajukan pada inisitif awal, yaitu; secara materil ; pertama, RPTU mengatur ulayat secara sektoral yang mengatur pada soal tanah. Kedua, semangat RPTU masih pada semangat pemanfaatan yang notabene merupakan kepentingan investasi (pengelolaan oleh pemilik modal) , sehingga RPTU belum mampu memberikan semangat perlindungan hak ulayat, ketiga, RPTU tidak membedakan antara tanah milik adat dengan tanah ulayat. Secara formil; RPTU tidak melalui mekanisme kaedah penyusunan Ranperda yang baik, yaitu belum terujinya partisipasi masyarakat, terutama masyarakat adat sebagai pemilik ulayat, selain itu RPTU tidak diiringi dengan naskah akademik. <br /><br />Dengan diajukannya kembali RPTU oleh pemerintah propinsi sumatera barat kepada DPRD propinsi Sumatera barat, bagi PALAM, memancing geliat kembali untuk advokasi atas Ranperda tersebut. Di bulan agustus 2007, LBH Padang telah menuntaskan naskah akademik tentang hak ulayat sebagai upaya counter draft atas RPTU. Naskah akademik yang disusun oleh LBH Padang kemudian di diskusikan pada tingkat PALAM untuk mendukung advokasi RPTU. Pembahasan tersebut dilakukan di kantor Walhi Sumatera Barat pada tanggal 10 Agustus 2007, dalam diskusi tersebut disimpulkan bahwa; pertama, pembahasan kembali RPTU menemukan momentum baru paska pengesahan UU No.25 tahun 2007 tentang penanaman modal, artinya penetrasi investasi (terutama investasi asing) atas tanah ulayat semakin besar, kedua, naskah akademis yang di susun oleh LBH Padang menawarkan pengaturan tentang pengukuhan dan perlindungan hak ulayat, hal ini sesuai dengan kebutuhan pengaturan hak ulayat di sumatera barat yang selama ternegasikan oleh kebijakan sektoral pengelolaan SDA dan distorsi-distorsi pengelolaan Ulayat (SDA), sehingga PALAM sepakat untuk memberikan masukan atas Naskah akademis tersebut dan menjadi konsep alternatif pengaturan tentang ulayat di Sumatera Barat yang akan diajukan kepada DPRD Propinsi sumatera Barat. Ketiga, menyepakati strategi advokasi RPTU baik pada tingkat konsolidasi basis, maupun pada tingkat negosiasi-negosiasi dengan DPRD Propinsi Sumatera Barat dan kerja-kerja kampanye.<br /><br />Pengajuan naskah akademis dan draft tandingan terhadap RPTU kepada Pansus RPTU DPRD Propinsi Sumatera Barat oleh PALAM dilakukan pada bulan februari tahun 2008, adapun Draft tandingan tersebut menawarkan pengaturan tentang hak ulayat yaitu; pertama, yang bersifat holistik integral, kedua, Ranperda tersebut bertujuan untuk mengukuhkan dan melindungi hak ulayat masyarakat adat di Sumatera Barat, dan ketiga, mekanisme penyelesaian sengketa hak ulayat, dimana selain menggunakan mekanisme adat untuk sengketa internal dalam hal sengketa eksternal Ranperda memerintahkan negosiasi ulang hak ulayat yang berkonflik dengan pihak ke tiga. <br /><br />Kenyataannya Perda TUP yang dilahirkan oleh DPRD Propinsi Sumatera Barat dengan materi yang tidak banyak berubah dengan Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat. Dalam bab berikut akan di bahas subsatnsi Perda TUP;<br /><br /><br />BAB III<br />Telaah terhadap Substansi Pengaturan<br /><br />Perda TUP mewarisi sektoralisasi sumberdaya alam yang dibangun oleh perundang-undangan di tingkat nasional. Fokus pengaturan terhadap tanah saja sudah terlihat dari dasar hukum dan sejumlah ketentuan pada batang tubuh yang tunduk pada konstruksi hukum pertanahan nasional. Sektoralisasi ini mempersempit objek ulayat yang bagi masyarakat Minangkabau mencakup sumberdaya alam lainnya seperti sungai, danau, laut, ruang angkasa, hutan dan pertambangan.<br /><br />Tabel Jenis-jenis Tanah Ulayat<br /><br />No Jenis Hak Ulayat Sifat Status Pendaftaran Pengemban/<br />Pemilik Pengurusan<br />1 Tanah Ulayat Nagari Penguasaan/ Publik HGU, Hak Pakai, Hak Pengelolaan Secara adat dimiliki oleh anak nagari Pengurusan oleh Ninik mamak KAN. Pengaturan pemanfaatan oleh Pemerintah Nagari<br />2 Tanah Ulayat Suku Kepemilikan/perdata Hak Milik Milik kolektif anggota suatu suku Pengaturan dan pemanfaatan oleh penghulu-penghulu suku<br />3 Tanah Ulayat Kaum Kepemilikan/perdata Hak Milik Milik kolektif anggota suatu kaum. Pengaturan dan pemanfaatan oleh mamak jurai/ mamak kepala waris.<br />4 Tanah Ulayat Rajo Kepemilikan/perdata Hak Pakai dan Hak Kelola Laki-laki tertua dari garis keturunan ibu Laki-laki tertua dari garis keturunan ibu<br /><br />Tabel diatas merumuskan bahwa tanah ulayat nagari memilik aspek publik yang penguasaan dan pengurusannnya dilakukan oleh ninik mamak KAN. Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum merupakan hak milik kolektif anggota suatu suku atau kaum. Sedangkan tanah ulayat rajo merupakan tanah ulayat yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari dari garis keturunan ibu yang masih hidup dibeberapa tempat di Sumatera Barat. <br /><br />Ada beberapa keraguan terhadap eksistensi tanah ulayat rajo. Hal ini karena masyarakat Minangkabau tidak mengenal keberadaan raja. Hasil Penelitian Tim Penyusunan Draf Ranperda Tanah Ulayat yang dibentuk Pemda Sumbar pada tahun 2001 menyatakan bahwa tanah ulayat rajo hampir sudah tidak dikenal lagi, kalaupun ada dapat digolongkan ke dalam kelompok tanah ulayat nagari. Dahulunya tanah ulayat rajo terdapat di daerah rantau, seperti di Pasaman dan Sawahlunto Sijunjung. <br /><br />Antara tanah ulayat kaum, tanah ulayat suku dan tanah ulayat nagari memiliki hubungan berjenjang dan pencadangan. Bila tanah ulayat suatu kaum habis, maka tanah ulayatnya menjadi tanah ulayat suku. Bila suatu tanah ulayat suku habis maka tanah ulayatnya beralih menjadi tanah ulayat nagari. Sehingga tanah ulayat tidak akan habis. Hal ini sesuai dengan pepatah yang menyatakan bahwa tanah ulayat itu bersifat samporono habis.<br /><br />Bab V, Pasal 8 Perda TUP mengatur tentang pendaftaran dan subjek hukum tanah ulayat. Tanah ulayat didaftarkan kepada Kantor Pertanahan (BPN) kabupaten/kota yang tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum dan keperluan penyediaan data/informasi pertanahan. Tanah ulayat nagari didaftarkan menjadi hak guna usaha, hak pakai dan hak pengelolaan. Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum didaftarkan menjadi hak milik. Sedangkan tanah ulayat rajo didaftarkan menjadi Hak Pakai dan Hak Kelola. <br /><br />Soal pendaftaran tanah ulayat di Sumatera Barat sudah menjadi kontorversi diberbagai kalangan. Ada dua pandangan utama, yaitu pihak yang menganggap hak ulayat sebagai hak yang mandiri dan dipihak lain terdapat anggapan bahwa tanah ulayat perlu mendapat kepastian hukum dari hukum nasional.<br /><br />Dalam pandangan ekonomi politik yang anti-neoliberalisme, sertifikasi tanah dianggap sebagai prasyarat terciptanya pasar tanah yang didorong oleh lembaga-lembaga internasional. Sedangkan dalam pandangan pluralisme hukum, sertifikasi tanah ulayat menampilkan inkoorporasi antara hukum adat dengan hukum nasional. Namun inkoorporasi itu merupakan penguatan dari sentralisme hukum negara yang mengakomodasi hukum adat untuk mengatasi situasi yang problematis.<br /><br />Ada beberapa konsekuensi bila tanah ulayat didaftarkan dengan status tanah menurut UUPA. Bila tanah nagari didaftarkan dengan status HGU dan Hak Pakai, maka akan menimbulkan konsekuensi, antara lain: (a) tanah yang diberikan HGU adalah tanah negara, sedangkan Hak Pakai dapat dari tanah negara, tanah milik maupun tanah Hak Penegelolaan; (b) soal batas waktu hak yang dapat diperpanjang dan dapat habis; pembayaran sejumlah uang dari pemanfaatan tanah ulayat; (c) laporan tertulis setiap akhir tahun; (d) tanah ulayat dapat dijadikan penjamin hutang; (e) dan dapat dialihkan melalui juga dapat dialihkan dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan. Demikian pula bila tanah ulayat rajo didaftarkan dengan status Hak Pakai.<br /><br />Sedangkan pendaftaran tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum menjadi hak milik menguatkan status “kepemilikan” tanah secara komunal. Tetapi seringkali persoalan kuatnya kepemilikan tanah secara komunal, atas nama penghulu dan Mamak Kepala Waris dimanfaatkan bagi kepentingan individu oknum penguasa adat. Praktik ini dicemaskan sebagai suatu upaya individualisasi hak komunal dibawah otoritas penghulu atau mamak kepala waris. Kekhawatiran ini cukup berasalan sebab hukum nasional yang berwatak positivisme hukum mengutamakan hubungan hukum individu dalam banyak sektor. Hubungan hukum oleh masyarakat adat dengan pihak lain belum berkembang pesat dalam pengaturan hukum nasional.<br /><br />Prinsip utama pemanfaatan tanah ulayat di Minangkabau sebagaimana diadopsi menjadi asas utama pembentukan Perda TUP adalah “jua indak makan bali, gadai indak makan sando” yang maksudnya bahwa tanah ulayat tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat dipindahtangankan pada orang lain. Tetapi masyarakat boleh memanfaatkannya, mengelola, mengolah dan menikmati hasil dari tanah ulayat yang kepemilikannya tetap menjadi milik komunal dan tidak dapat dijadikan milik pribadi. Filosofi ini menegaskan bahwa hubungan antara masyarakat Minangkabau dengan tanah ulayat bersifat abadi.<br /><br />Pemanfaatan tanah ulayat bagi kepentingan anggota masyarakat adat dilakukan berdasarkan hukum adat. Pemanfaatan tanah ulayat bagi kepentingan umum dilakukan “sesuai dengan ketentuan yang berlaku”, Perda TUP tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan “sesuai dengan ketentuan yang berlaku” itu didasarkan kepada hukum adat atau kepada hukum nasional. Bila mengacu kepada hukum nasional maka akan merujuk kepada Perpres 36/2005 juncto Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Demi Kepentingan Umum. Perpres ini sejak kelahirannya banyak dikritik oleh kalangan masyarakat sipil sebab dianggap sebagai landasan legitimasi perampasan tanah masyarakat. <br /><br />Pemanfaatan tanah ulayat bersama atau oleh pihak luar (pemerintah atau investor) bila berakhir masa perjanjiannya akan kembali kepada masyarakat adat sesuai dengan adagium ”Kabau tagak kubangan tingga, pusako pulang ka nan punyo, nan tabao sado luluak nan lakek di badan.” Tanah ulayat tetap menjadi milik dari masyarakat adat. Yang dibawa oleh pengusaha adalah hasil-hasil usaha yang diperoleh dari mengelola tanah ulayat. Setelah usaha selesai maka tanah dikembalikan kepada masyarakat adat.<br /><br />Persoalan pengembalian tanah ulayat kepada masyarakat adat setelah perjanjian kerjasama dengan pihak luar ini merupakan salah satu tema utama yang ditolak dalam pembahasan Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat tahun 2002-2003. Alasan utama penolakan kalangan masyarakat terkait dengan Pasal 11 ayat (1) Ranperda tersebut yang menyatakan: “Terhadap tanah bekas hak ulayat yang telah diganti alas haknya menurut UUPA, dan apabila masanya berakhir, maka tanah dimaksud menjadi tanah yang langsung dikuasai negara”. Rumusan demikian menghilangkan status dan keberadaan tanah ulayat dan pengusaan masyarakat adat terhadap sumberdaya alamnya. <br /><br />Rumusan Pasal 11 ayat (1) Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat yang ditolak oleh kalangan masyarakat tersebut dihidupkan kembali dalam Perda TUP. Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Perda TUP yang berbunyi: Apabila perjanjian penyerahan hak penguasaan dan atau hak milik untuk pengusahaan dan pengelolaan tanah yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 berakhir, maka status penguasaan dan atau kepemilikan tanah kembali ke bentuk semula.” Meskipun tidak secara tegas menyatakan bahwa setelah pemanfaatan tanah ulayat dengan pihak penguasaha selesai, tanah ulayat menjadi tanah negara, tetapi penggunaan frasa “kembali ke bentuk semula” yang masih memberikan penafsiran jamak. Misalkan terhadap tanah ulayat nagari yang didaftarkan sebagai HGU, Hak Pakai atau Hak Pengelolaan, apakah setelah perjanjian dengan investor berakhir, tanah tersebut akan kembali menjadi tanah ulayat yang dikuasai oleh KAN? Atau akan menjadi HGU, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan yang dikuasai langsung oleh Pemerintah. <br /><br />BAB IV<br />Tantangan Implementasi Perda Tanah Ulayat<br /><br />1) Menyigi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Propinsi Sumatera Barat tahun 2006-2010 <br /><br /> Rencana pembangunan Jangka Menengah (RPJM) propinsi Sumatera barat tahun 2006-2010 (kemudian disebut RPJMN 2006-2010) merupakan dokumen legal yang di formalkan melalui Peraturan Daerah No. 4 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Propinsi Sumatera barat tahun 2006-2010. Dokumen ini merupakan instrumen strategis perencanaan arah pembangunan daerah propinsi kedepan. Sebagai dokumen perencanaan, RPJM tidak bisa terlepas dari kaedah umum perencananaan dalam instrument pemerintahan. Perencanaan sendiri merupakan penjabaran lebih lanjut dari tujuan Negara yang multi dimensional. Rencana merupakan alat bagi implementasi tujuan negara dan implementasi seyogyanya berdasarkan rencana. Tidak bisa dibayangkan akibatnya apabila melaksanakan tujuan bernegara tanpa ada rencana yang matang. Dalam hokum administrasi Negara, rencana merupakan bagian dari tindakan hukum pemerintahan, yaitu; suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hokum. Meskipun demikian, tidak semua rencana memiliki akibat hokum langsung bagi warga Negara. <br /><br />Dengan maksud dan tujuan RPJM 2006-2010 sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 5 Ayat (3) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 150 yang mengamanatkan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagai penjabaran visi, misi dan program Kepala Daerah dan kemudian di implementasikan dalam; pertama, pedoman dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kabupaten/Kota, kedua, pedoman penyusunan Rencana Strategis (RENSTRA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), ketiga, pedoman penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota, maka RPJM 2006-2010 berperan strategis bagi pembangunan daerah dan juga mempunyai implikasi terhadap hak ulayat. Hal ini bisa dilihat dari arah program pembangunan ekonomi dalam RPJM 2006 -2010 pada pembangunan ekonomi berbasis pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang ditunjang dengan pembangunan Sumber Daya manusia. <br /><br />Dalam RPJM 2006-2010 disebutkan bahwa program pembangunan daerah terutama pembangunan ekonomi berdasarkan pada pembangunan berkelanjutan, yang menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut; (1) untuk kesejahteraan rakyat yang merata dan berkeadilan, (2) berdasarkan kemampuan daya dukung SDA, lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat dengan memanfaatkan kemajuan IPTEK. (3) berdasarkan prinsip kemitraan antara Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Koperasi dengan swasta dan pemerintah. (4) menerapkan prinsip efisiensi dan keunggulan komparatif dan kompetitif dari produk andalan tertentu dengan mengakomodasi kemajuan teknologi. (5) berdasarkan keterbukaan ekonomi sesuai dengan perkembangan ekonomi global (6) menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga dapat memacu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. (7) pencepatan pembangunan infrastruktur uintuk memperlancar, mempercepat mobilitas orang dan barang.<br /><br />Dari prinsip-prinsip diatas terlihat bahwa pembangunan ekonomi sumatera barat diprioritaskan pada pengelolaan SDA dengan pola keterbukaan ekonomi atau integrasi pada ekonomi global, dengan membuka akses investasi modal asing dan atau modal domestik untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan prinsip-prinsip kemerataan ekonomi, kemitraan dan lingkungan hidup. Untuk itu, maka kedepan pembangunan ekonomi sumatera barat akan mempersiapkan beberapa hal berupa pembangunan infrastruktur yang memadai dan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Karakteristik arah pembangunan ekonomi Sumatera Barat memang merupakan kondisi riil pembangunan ekonomi nasional hari ini. Sebagai gambaran singkat, menurut perhitungan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada tahun 2006, untuk mencapai tingkat pertumbuhan 6,1 % tahun 2006 diperlukan total investasi sekitar Rp. 652,9 triliun. Dari total kebutuhan investasi tersebut hanya sejumlah Rp. 101,6 triliun yang dapat disediakan dari anggaran pemerintah, selebihnya sekitar Rp. 551,3 triliun diharapkan dari invesatsi swasta (domestic maupun asing). Artinya topangan pertumbuhan ekonomi nasional berada pada modal swasta. <br /><br />Tentunya, kondisi diatas juga berlaku pada konteks sumatera barat. Keterbatasan anggaran pembangunan pemerintah (pemerintah propinsi sumatera barat) sebenarnya dijabarkan dalam RPJM 2006-2010 yang menyebutkan bahwa keterbatasan dana pembangunan diakibatkan oleh krisis ekonomi tahun 1998 yang mengakibatkan penurunan Pendapatan asli daerah (PAD) dari Rp. 64,3 milyar pada tahun anggaran 1997/1998 menjadi hanya Rp. 44,0 milyar pada Tahun 1998/1999, dimana Penurunan yang sangat besar terjadi pada penerimaan retribusi daerah dan pajak daerah. Walaupun sejak tahun 2005 sampai dengan sekarang terjadi tren kenaikan PAD, namun tetap saja RPJM 2006-2010 memandang bahwa; dana pemerintah dalam pembangunan daerah mempunyai keterbatas, sehingga harus diisi dengan dana investasi nasional, maupun asing. <br /><br />2) Kemungkinan FPIC<br /><br />Salah satu mekanisme yang berkembang dalam upaya penguatan hak masyarakat adat atas sumberdaya alamnya adalah mekanisme Persetujuan Bebas Tanpa Syarat (Free and Prior Informed Consent/FPIC). Keberadaan mekanisme ini bila dikaitkan dengan doktrin tanggungjawab negara dalam pemenuhan hak asasi manusia maka ia meliputi penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), pemenuhan (to fullfill) hak masyarakat adat terhadap sumberdaya alamnya terhadap setiap tindakan yang dilakukan pihak luar terhadap masyarakat adat. <br /><br />Free and Prior Informed Consent (selanjutnya disingkat FPIC) semula digunakan untuk melindungi kepentingan pasien di rumah sakit yang semestinya mengetahui setiap proses dan jenis pengobatan yang akan dilaluinya secara pribadi (sebagai perlindungan hak individual pasien). Kemudian konsep ini diadopsi oleh sejumlah ketentuan hukum Hak Asasi Manusia internasional dan lembaga internasional multipihak. Dalam konsep FPIC terdapat empat unsur penting yang berlaku secara kumulatif. Keempat prinsip itu dapat diartikan sebagai berikut: <br /><br />Free : berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya kesepakatan hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan masyarakat.<br />Prior : artinya sebelum proyek atau kegiatan tertentu diijinkan pemerntah, terlebih dahulu harus mendapat ijin dari masyarakat.<br />Informed : artinya informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek yang akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya<br />Consent : artinya persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri<br /><br />Konsep FPIC, sebenarnya, bukanlah konsep asing pada masyarakat pedesaan di Indonesia. Sejak lama, konsep ini mengakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat pedesaan di Indonesia (Mac Kay dan Colchester, 2004). Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, klausula ini memberi jaminan bahwa masyarakat yang terkena dampak harus dimintakan persetujuannya tanpa paksa sebelum ijin kegiatan diberikan pemerintah. Negosiasi mendapat persetujuan itu harus didahului dengan pemberian informasi yang menyingkap keuntungan dan kerugian serta konsekuensi hukum atas suatu kegiatan tertentu (Sirait, Widjarjo dan Colchester, 2003). <br /><br />Pengadopsian mekanisme FPIC semakin gencar dalam sejumlah instrumen hukum dan standarisasi yang dibangun oleh lembaga multipihak. Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on The Rights of Indigenous People) yang disahkan tahun 2006 mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan FPIC, diantaranya sebagai berikut: <br /><br />Pasal 18 berbunyi: <br />Masyarakat adat berhak untuk mengambil bagian dalam pengembilan keputusan tentang hal-hal yang akan berpengaruh terhadap hak-hak mereka, lewat wakil-wakil yang mereka pilih sendiri sesuai dengan cara dan prosedur pemilihan mereka, dan juga untuk memelihara dan mengembangkan lembaga pengambilan keputusan mereka sendiri. <br /><br />Selanjutnya Pasal 19 berbuyi:<br />Negara patut berkonsultasi dan bekerjasama dengan niat baik yang saling mempercayai dengan masyarakat adat terkait lewat lembaga perwakilan mereka sendiri untuk mendapatkan persetujuan yang bebas, mendahului tindakan, setelah ada informasi yang jelas kepada mereka untuk mendapatkan persetujuan sebelum mengadopsi dan menerapkan tindakan-tindakan legislatif atau administratif yang dapat berdampak terhadap mereka.<br /><br />Perundang-undangan di Indonesia belum banyak yang mengadopsi mekanisme ini. Baru UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mencoba mengadopsi beberapa konsep FPIC dalam ketentuan tentang hak-hak masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa ketentuan dalam Pasal 60 UU tersebut menyatakan bahwa masyarakat berhak untuk:<br />a. Memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan HP-3;<br />b. Memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan;<br />c. Melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;<br />d. Memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;<br />e. Memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;<br />f. Mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;<br />g. Menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;<br />h. Melaporkan kepada penegak hukum atas pencemaran dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;<br />i. Mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya; serta<br />j. Memperoleh ganti kerugian.<br /><br />Disamping dalam peraturan perundang-undangan, penerapan FPIC juga didorong oleh lembaga-lembaga multipihak dalam sektor hutan dan perkebunan. Pada sektor kehutanan misalnya terdapat Forest Stewart Council (FSC) yang memberikan sertifikasi terhadap perusahan kayu yang memenuhi beberapa standar yang mereka buat. Beberapa prinsip dan kriteria FSC mensyaratkan operasi penebangan kayu dengan beberapa ketentuan diantaranya: menghormati hukum adat dan hak atas tanah; memastikan kewenangan masyarakat lokal atas pengelolaan tanah; penguasaan atas tanah dapat didelegasikan kepada pihak lain apabila ada persetujuan tanpa paksa dari masyarakat; memastikan adanya mekanisme yang efektif untuk menyelesaikan konflik; melindungi tempat-tempat yang memiliki nilai-nilai secara sosial, kultural dan ekonomi; memberikan kompensasi kepada masyarakat adat atas pemanfaatan pengetahuan tradisional mereka; dan menghormati hak-hak pekerja sesuai dengan standar Organisasi Buruh Internasional (ILO). <br /><br />Pada sektor perkebunan kelapa sawit terdapat lembaga internasional multipihak yang mendorong pengelolaan kelapa sawit yang ramah persoalan sosial dan lingkungan dengan membangun sejumlah standar-standar yang harus dipenuhi oleh perusahaan kelapa sawit. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mendorong pelaksanaan FPIC serta pengakuan terhadap hak-hak adat sebagai standar-standar yang dibangunnya. Hal itu antara lain: <br />a. Penghormatan terhadap hukum, termasuk hukum internasional yang sudah diratifikasi serta penghormatan terhadap hukum adat;<br />b. Tidak mengurangi atau menghilangkan hak adat tanpa adanya persetujuan bebas, didahulukan dengan diinformasikan (FPIC);<br />c. Sistem untuk resolusi konflik diterima dan didokumentasi serta kesepakatan berdasarkan FPIC dapat dicapai;<br />d. Tidak boleh ada penanaman baru pada lahan masyarakat adat kecuali telah mendapatkan FPIC;<br />e. Adanya kompensasi yang adil untuk masyarakat adat dan komunitas lokal terhadap setiap pengambilan lahan dan pengambilan hak sesuai dengan FPIC dan kesepakatan. <br /><br />FPIC tidak hanya diperlukan bagi pelaksanaan program-program pemerintah terhadap tanah ulayat, tetapi juga termasuk rencana investasi terhadap tanah ulayat masyarakat adat. pengadopsian konsep FPIC memiliki beberapa hal penting diantara: (a) untuk mencegah konflik antar masyarakat adat dengan pihak lain; (b) merupakan wujud penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya; dan (c) Menjaga keberlanjutan lingkungan sebab keberadaan masyarakat yang berada pada kawasan sumberdaya alam merupakan aspek terpenting kelangsungan dan pelestarian sumberadaya alam, sehingga masyarakat perlu diutamakan. <br /><br />Melihat rumusan di dalam Perda TUP, terutama pada bagian pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan pihak lain, seperti kepentingan pembangunan dan investasi, terlihat bahwa rumusan yang diatur belum mencerminkan penerapan konsep FPIC. Ketentuan Pasal 9 sampai Pasal 11 Perda TUP yang menjadi landasan dari sisi hukum negara dalam pemanfaatan tanah ulayat memiliki beberapa kelemahan, diantaranya:<br />a. Belum memasukkan pentingnya informasi yang berimbang tentang dampak-dampak yang akan didapat masyarakat akibat suatu program pembangunan dan investasi.<br />b. Pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum dilakukan dengan penyerahan tanah kepada instansi yang memerlukan. Tidak diatur bahwa masyarakat dapat menolak pelaksanaan program kepentingam umum versi pemerintah bila senyatanya program tersebut bukan merupakan hal yang penting bagi masyarakat.<br />c. Tidak diatur bahwa masyarakat bebas memberikan keputusan terhadap program pembangunan dan investasi yang dilakukan terhadap tanah ulayat.<br />d. Tidak ditegaskan bahwa masyarakat dapat memperoleh sejumlah ganti rugi atas penggunaan lahan yang tidak menguntungkan masyarakat.<br />e. Tidak dirumuskan pengarusutamaan masyarakat dalam pemanfaatan tanah ulayat, misalkan dengan mensyaratkan pola pembangunan ekonomi nagari yang dapat dilakukan lewat badan usaha nagari atau bentuk lain.<br /><br />Memasukkan FPIC dalam peraturan hukum nasional maupun daerah merupakan salah satu kunci penting untuk tetap memproteksi masyarakat adat atas suatu ancaman yang datang dari pihak lain. Konsep-konsep ini perlu dikembangkan berdasarkan mekanisme yang hidup di dalam masyarakat Minangkabau supaya nantinya dalam implementasi Perda TUP dapat menjadi alat argumentasi dan senjata negosiasi. Oleh karena itu, penting mengawal SK Gubernur maupun Perda Kabupaten/Kota sebagai tindak lanjut Perda TUP memasukkan klausula-klausula FPIC.<br /> <br />Pada tanah awal, penerapan konsep FPIC bisa diterapkan dalam program sertifikasi tanah ulayat. Hal ini dapat dilakukan dengan menginformasikan konsekuensi yang diterima masyarakat dalam sertifikasi tanah ulayat dan kemudian memberikan kebebasan terhadap masyarakat adat untuk memutuskan apakah akan melakukan sertifikasi atau tidak. Bila masyarakat tidak sepakat dengan model sertifikasi yang cenderung mengarah kepada model pasar tanah, maka pemerintah maupun pemerintah daerah ddituntut untuk membangun mekanisme baru pengakuan keberadaan tanah ulayat, misalkan di luar bentuk sertifikat.<br /><br /><br />BAB V<br />Penutup <br /><br />A. Kesimpulan<br /><br />1. Jenis-jenis tanah ulayat tediri dari (a) Tanah ulayat Nagari yang penguasanya berada pada Kerapatan Adat Nagari dan pengaturan pemanfaatannya berada pada Pemerintah Nagari; (b) Tanah Ulayat Suku, merupakan milik kolektif seluruh anggota suku yang penguasaan dan pemanfaatannya diputuskan oleh penghulu-penghulu suku; (c) Tanah Ulayat Kaum, merupakan tanah milik seluruh anggota kaum yang penguasaan dan pemanfaatannya diputuskan oleh ninik mamak jurai/mamak kepala waris; (d) Tanah Ulayat Rajo, merupakan hak milik atas sebidang tanah berserta sumberdaya alam yang ada diatas dan didalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup di sebagian nagari di Sumatera Barat. <br />2. Mekanisme pemanfaatan tanah ulayat terbagai terdiri dari:<br />a. Hukum adat bagi masyarakat adat yang di nagari.<br />b. Penyerahan hak masyarakat adat (hak ulayat) untuk kepentingan umum.<br />c. Perjanjian penyerahan hak untuk investasi (investor).<br />d. Perjanjian penggunaan tanah badan hukum swasta dengan penguasa hak ulayat.<br />3. Perda TUP mewarisi sektoralisasi yang dibangun oleh perundang-undangan pada tingkat nasional. Sektoralisasi tersebut bertentangan dengan konsep hak ulayat masyarakat Minangkabau yang memandang tanah dan sumberdaya yang ada didalam dan diatasnya sebagai satu kesatuan.<br />4. Perda ini belum bisa memberikan jaminan perlindungan terhadap keberadaan hak ulayat di Sumatera Barat<br /><br />B. Rekomendasi<br /><br />1. Membentuk Tim Penyelesaian Konflik Tanah Ulayat/Agraria di Sumatera Barat yang salah satu kewenangannya adalah untuk melakukan identifikasi dan invenstarisasi tanah ulayat. Pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria juga merupakan rekomndasi dari RPJM Sumatera Barat 2005-2010 dalam Program Pengelolaan Pertanahan. Di dalam RPJM juga direkomendasikan pembentukan forum lintas pelaku penyelesaian sengketa tanah. Sehinga tuntutan pembentukan Tim Penyelesaian Konflik tersebut harus terdiri dari multipihak. <br />2. Peraturan pelaksana dari Perda TUP, baik melalui Peraturan Gubernur maupun Perda Tanah Ulayat di Kabupaten kota memasukkan nilai-nilai dasar dari FPIC.<br />3. Dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat, maka Pemerintah Daerah harus memiliki peranan untuk memfasilitasi penyelesaian konflik horizontal yang terjadi antar nagari berkaitan dengan penentuan tapal batas. Membuat mekanisme penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pengelolaan tanah ulayat antara masyarakat adat dengan investor dan instansi pemerintah. Menghidupkan kembali Peradilan Adat ditingkat Nagari untuk memperkuat resolusi sengketa internal yang substansi dan struktur kelembagaannya sesuai dengan aturan adat yang dikukuhkan melalui Perda Provinsi atau Kabupaten/Kota. <br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2. September 2004. Hal 207-218. Diunduh dari: http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September 2008.<br /><br />Bernadinus Steny, (2005). Free and Prior Informed Consent dan Pergulatan Hukum Lokal, Seri Pengembangan Wacana, HuMa, Jakarta.<br /><br />Bonnie Setiawan, (2006). Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik “Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial” yang diadakan oleh ‘Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi’ tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta. Hal 4-5 <br /><br />Budi Harsono, (2003). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta.<br /><br />Herman Soesangobeng, (2000). Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di Padang, 23-24 Oktober 2000.<br /><br />John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual, dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisipliner, HuMa, Jakarta. <br /><br />Kurniawarman, (2006). Ganggam Bauntuak Menjadi Hak Milik, Andalas University Press, Padang.<br /><br />Marcus Colchester dkk, (2006). Tanah Yang Dijanjikan, Minyak Sawit dan Pembebasan Tanah di Indonesia: Implikasi terhadap Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat, Forest People Program, Perkumpulan Sawit Watch, HuMa, dan World Agroforestry Center, Jakarta. <br /><br />Nurul Firmansyah dkk, (2007). Dinamika Hutan Nagari Di Tengah Jaring-jaring Hukum Negara, HuMa dan Perkumpulan QBAR, Jakarta.<br /><br />Otje Salman Soemadiningrat, (2002). Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung.<br /><br />P. Agung Pambudhi, (2006). Peraturan Daerah dan Hambatan Investasi, Jurnal Jentera, Edisi 14. Tahun IV, PSHK, Jakarta.<br /><br />Rikardo Simarmata, (2007). Pengakuan Hukum Masyarakat Adat Di Indonesia, UNDP, Jakarta.<br /><br />Tim HuMa (edt), (2005). Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisiplin, HuMa, Jakarta<br /><br />Tim Peneliti Penyusunan Draft Ranperda Tanah Ulayat, (2001). Eksistensi Tanah Ulayat Dewasa Ini Di Sumatera Barat, Laporan Hasil Penelitian, Padang. <br /><br />Undri, (2004). Kepemilikan Tanah Di Sumatera Barat Tahun 50-an: Kasus Konflik Kepemilikan Tanah Perkebunan Karet Di Kabupaten Pasaman, Makalah yang dipersiapkan untuk Worskop on the economic Side Of Decolonosatioan. Jonintly Organized by LIPI, Nederland Instituts Voor or logdocumentatie (NIOD), Pusat studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada dan Program Studi Sejarah Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta tanggal 18-19 Agustus 2004. diunduh dari: http://www.indie-indonesie.nl/content/documents/papers-economic%20side/Makalah-Undri.pdf tanggal 1 September 2008.<br /><br />Van Dijk, (2006). Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-67542095744877952062008-09-24T01:24:00.000-07:002008-10-16T18:56:42.446-07:00Perda Tanah Ulayat di Sumbar Masih Bias Rabu, 17 September 2008 | 23:54 WIB<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFXBehgn2j_-aYm1AT___G4E5E_Vc1Dg1farci0yfK9zIOM0bGTM064ibBwikvzdkvptiD2hKyGekaeVpMcxp6r91hHvsXxr-hOaQMGkERcA4D_XLCO1AkVbykMR-JqauCS6_gFM5oJmUf/s1600-h/ibnu+lamar+(5).JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFXBehgn2j_-aYm1AT___G4E5E_Vc1Dg1farci0yfK9zIOM0bGTM064ibBwikvzdkvptiD2hKyGekaeVpMcxp6r91hHvsXxr-hOaQMGkERcA4D_XLCO1AkVbykMR-JqauCS6_gFM5oJmUf/s320/ibnu+lamar+(5).JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5249505565719249714" /></a><br />Padang, Kompas - Sejumlah kalangan menilai bahwa Peraturan Daerah Sumatera Barat tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya masih bias. Peraturan ini belum mengatur sejumlah masalah pokok yang ada di Sumatera Barat.<br /><br />Hal itu terungkap dalam konsultasi publik hasil riset mengenai Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Barat tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, Rabu (17/9). Riset diadakan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) Qbar dan Huma.<br /><br />Sosiolog dari Universitas Andalas, Afrizal, mengatakan, perda ini tidak peka terhadap kebhinnekaan dan keberagaman yang ada di Sumatera Barat. Dia mencontohkan masyarakat di Kabupaten Pasaman Barat yang mempunyai peraturan adat yang berbeda dari peraturan adat yang diatur dalam perda.<br /><br />”Belum lagi bila kita melihat masyarakat Mentawai yang juga mempunyai tanah ulayat, tetapi peraturan tanah ulayat di Mentawai sangat berbeda dengan yang diatur di perda. Kesan saya, perda ini merupakan perda Minangkabau,” kata Afrizal.<br /><br />Dia juga mempertanyakan orang yang berwenang menyatakan bahwa sebidang tanah sebagai hak ulayat mereka.<br /><br />Keberagaman<br /><br />Peneliti dari Qbar, Nurul Firmansyah, dan peneliti Huma, Yance Arizona, mengatakan, pembuat perda belum menangkap keberagaman di Sumbar.<br /><br />Tim peneliti merekomendasikan ada tim penyelesaian konflik hak ulayat. (ART)<br /><br />http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/17/23543129/perda.tanah.ulayat.di.sumbar.masih.biasUnknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-27854575469040304412008-09-23T22:46:00.000-07:002008-09-24T01:23:32.661-07:00Soal Tanah Ulayat, Lembaga KAN Perlu Diubah Kompas, Rabu, 16 April 2008 | 00:41 WIBPadang, Kompas - Lembaga Kerapatan Adat Nagari perlu berubah peran agar tidak terjadi tumpang tindih fungsi dengan nagari, termasuk dalam tujuan mempertahankan keberadaan tanah ulayat di masing-masing nagari.<br />Demikian salah satu buah diskusi reguler ”Nagari dan Hak Ulayat” yang diselenggarakan oleh LSM Qbar, Padang, Selasa (15/4). Hadir dalam diskusi itu, aktivis HAM, pengamat hukum, dan aktivis LSM.<br />Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Andalas, Kurnia Warman, mengatakan, dengan kondisi peraturan yang berlaku sekarang di Sumatera Barat, wewenang Kerapatan Adat Nagari (KAN) menjadi sangat dominan, bahkan tumpang tindih dengan peran pemerintahan nagari.<br />”KAN memegang peraturan hukum pertanahan, sementara sudah ada institusi Badan Pertanahan Nasional atau BPN. Selain itu, setiap nagari mempunyai adat yang berbeda-beda. Kalau KAN tetap dipertahankan, bisa jadi ada kerancuan dalam penerapan peraturan adat di tiap nagari,” papar Kurnia.<br />KAN dibentuk di masa Orde Baru ketika seluruh nagari dijadikan desa. Resistensi masyarakat melahirkan lembaga bernama KAN yang menaungi persoalan adat nagari, mulai di tingkat kecamatan hingga kabupaten/kota. Setelah nagari kembali diakui, KAN ini dianggap perlu mengalami perubahan.<br />Kurnia mengusulkan agar lembaga KAN dibubarkan terlebih dahulu dan pengaturan tentang masalah tanah ulayat tiap nagari dikembalikan ke tiap-tiap masyarakat nagari. Apabila diperlukan, nantinya bisa dibuat sebuah lembaga baru bernama Kerapatan Nagari atau KN, yang beranggotakan wakil tiap kaum dan suku agar tidak terjadi dualisme lagi.<br />Nurul Firmansyah dari LSM Qbar, mengatakan, nagari mempunyai hak pengelolaan tanah ulayat yang baik karena setiap nagari mempunyai peraturan untuk melindungi agar tanah tidak lepas dari kaum atau suku pemiliknya.<br />”Hukum di tiap nagari ini penting untuk melindungi agar tanah tidak lepas ke tangan investor. Kalaupun digunakan untuk kepentingan investasi, maka investor hanya mempunyai hak pakai saja atau hak pengelolaan,” tutur dia.<br />Adi dari Komnas HAM mengatakan, tanah yang sudah terlepas dari masyarakat adat tidak selalu membawa kesejahteraan kepada masyarakat setempat.<br />Dia mencontohkan, pembukaan kebun sawit di lahan masyarakat tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan dan pengurangan angka kemiskinan masyarakat setempat. Dia mendukung proteksi terhadap tanah ulayat bagi masyarakat adat di tiap nagari.<br />Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.<br />Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya. Kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.<br />Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dan wilayah yang bersangkutan. (ART)Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-18891278353490293362008-09-22T23:18:00.000-07:002008-10-16T18:56:42.447-07:00Kekeliruan PP No.2 Tahun 2008 dan Ketidakadilan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bagi Masyarakat Adat<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9bxHk_i09wNHTKvWl21jRGqLH-gkpidV5MA_bwf98_REQ-RMhMcVf1pVEN10-MBHpSmnjqsCU8_xo1U-fvRq1DGj5A-mGQ_iCAvMXuChLqDIIIqt-PyAPtNlXb-1DuaXMQsNX1q09ZEii/s1600-h/Foto(187).jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9bxHk_i09wNHTKvWl21jRGqLH-gkpidV5MA_bwf98_REQ-RMhMcVf1pVEN10-MBHpSmnjqsCU8_xo1U-fvRq1DGj5A-mGQ_iCAvMXuChLqDIIIqt-PyAPtNlXb-1DuaXMQsNX1q09ZEii/s320/Foto(187).jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5249098238723071346" /></a><br />Kehadiran PP No.2 tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang mengatur tentang kompensasi perusahaan tambang kepada negara yang beroperasi di kawasan hutan lindung melahirkan kontroversi. Perlu kiranya kita melihat kontroversi ini diawali dari Penafsiran Greenomics Indonesia yang menjelaskan perbandingan ekonomis antara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari PP no.2 tahun 2008 dengan biaya dampak ekologi (lingkungan) yang dilahirkan dari PP tersebut.<br />Penafsiran Greenomics menunjukkan potensi PNBP yang dapat diraup hanya sekitar 2,78 triliun per tahun, sedangkan dampak ekologinya sebesar 70 triliun per tahun. Artinya melahirkan potensi kerugian negara sebesar 67 triliun per-tahun. Tafsiran Greenomics diatas dihitung secara ekonomis dari dampak ekologi sudah membuat ketakjuban kita akan bahaya yang muncul dari pemberlakukan PP no.2 tahun 2008. Di sisi lain aktifitas tambang bukan hanya memunculkan dampak ekologi, namun juga dampak sosial akibat konflik antara masyarakat yang hidup disekitar hutan (masyarakat adat) dengan perusahaan tambang. Konflik tersebut muncul akibat tumpang tindih konsesi tambang dengan ulayat masyarakat adat. <br />Perampasan hak ulayat masyarakat adat atas hutan diawali dari penunjukan status hukum kawasan hutan oleh negara, yang kemudian di bagi menjadi kawasan hutan berdasarkan fungsi hutan yang diatur dalam UU no.41 tahun 1999 tentang kehutanan (UUK), yaitu; kawasan produksi, lindung dan konservasi. Ironi sekali memang, PP no.2 tahun 2008 melegitimasi perusahaan tambang melakukan aktifitas penambangan di kawasan lindung yang jelas –jelas berfungsi sebagai penyangga keberlangsungan ekologi (lingkungan) dengan tarif sangat murah bagi perusahaan tambang, yaitu; tiga juta rupiah bagi tambang terbuka horizontal di kawasan lindung dan 2,25 juta bagi tambang terbuka vertikal di kawasan yang sama, atau hanya dinilai rata-rata Rp 120-300 per meternya. Namun, kriminalisasi dan pengusiran kerap tertuju pada masyarakat adat yang hidup di kawasan lindung, seakan-akan masyarakat adat adalah perusak hutan, walaupun sebenarnya hutan tersebut berada diatas hak ulayat mereka. <br />Menyigi Ketidakadilan Pengelolaan Sumber Daya Hutan.<br /><br />Eksploitasi tambang terbuka pada kawasan lindung menohok rasa keadilan masyarakat atas atas sumber daya alam. Kerusakan lingkungan dari eksploitasi tersebut sulit dan bahkan mustahil untuk rehabilitasi hutan (reforestasi), yang ada malah kerusakan hutan akut (deforestasi). Mengutip laporan Norman Myers (1995) tentang pengungsi kerusakan ekologi (lingkungan) terutama akibat deforestasi di dunia sebanyak 50 juta orang. Pengungsi tersebut merupakan 53 % dari jumlah pengungsi dunia yang sebagian besar dicerabut dari lingkungannya akibat kekeringan, banjir dan bencana ekologi lainnya. Untuk konteks Indonesia saja, kerusakan hutan sebesar 1,871 juta Ha per-tahun atau setara dengan enam lapangan bola per-menit (FAO (2005)). Dampak-dampak tersebut tentunya dikecap oleh masyarakat yang hidup dan berkehidupan dikawasan dan sekitar kawasan hutan, mereka itulah yang sebagian besar merupakan masyarakat adat. <br />Keberpihakan PP No.2 tahun 2008 kepada pemilik modal besar (perusahaan tambang nasional dan internasional) berbanding terbalik dengan posisi masyarakat adat dalam pengelolaan Sumber daya hutan. Nagari Guguk malalo, kabupaten tanah datar misalnya, dimana berbagai kebijakan nasional dan daerah memperlihatkan ketidak berpihakannya terhadap hak masyarakat adat (masyarakat nagari) atas hutan. Diawali dari penunjukkan kawasan lindung di wilayah adat (hutan ulayat) masyarakat nagari sehingga mengkaburkan status hak ulayat atas hutan masyarakat nagari tersebut. Selain itu, dengan penunjukkan kawasan tersebut mengakibatkan hilangnya akses masyarakat nagari atas hutan, baik itu kayu (yang dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam nagari), maupun hasil hutan non kayu, seperti; manau, rotan dan lain-lain (Nurul Firmansyah, dkk, Dinamika hutan nagari dalam jerat-jerat hukum negara, HuMa dan Qbar, Jakarta, 2007). <br />Sumber daya hutan oleh masyarakat nagari Guguk malalo tidaklah muluk-muluk di manfaatkan untuk eksploitasi ekonomi skala besar seperti pertambangan misalnya, namun yang diinginkan hanya penghormatan negera atas hak ulayat mereka. Hak ulayat oleh mereka bukan hanya unsich faktor produksi, namun juga identitas masyarakat nagari Guguk malalo, sehingga keberadaan ulayat sebagai sako sepaket dengan gelar adat sebagai pusako. <br />Dari gambaran di atas, asumsi keberpihakan pemerintah terhadap kelompok ekonomi kuat terbukti selaras dengan mandeknya pembahasan PP hutan adat yang berguna bagi landasan hukum hak ulayat masyarakat adat atas hutan yang notabene dimandatkan oleh UU no.41 tahun 1999 tentang kehutanan (UUK), namun nyatanya; PP No.2 tahun 2008 yang lahir untuk mengakomodasi kepentingan eksploitasi pertambangan atas hutan. Walaupun jelas-jelas UUK tidak dimandatkan PP ini lahir. Selain itu, PP No.2 tahun 2008 juga berpotensi memberikan dampak kerugiaan ekologi serta ketidakadilan bagi pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia terutama bagi masyarakat adat (masyarakat nagari).(Nurul Firmansyah dari Padang Ekspress, Jumat, 18 April 2008)Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-79383226073912450112008-09-16T00:52:00.000-07:002008-09-17T20:26:14.766-07:00Buruh, Kemanusiaan dan Logika Pasar<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><i style="">Outsourching</i> dan kontrak kerja menjadi <i style="">mantra suci</i> eksploitasi buruh sebagai salah satu faktor produksi yang menafikkan hakekat kemanusian yang asasi. Posisi buruh yang ditempatkan pada faktor produksi selain faktor produksi lainnya (sumber daya alam, dan modal) berakibat pada terperangkapnya buruh dalam lembah <i style="">dehumanisasi.<o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><b style="">Logika Pasar<o:p></o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;">Mekanisme <i style="">outsourching</i> dan kontrak kerja yang diadopsi UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah kecenderungan <i style="">global </i>beberapa tahun terkahir. Sistem ini menuntut <i style="">fleksibilitas</i> pasar kerja dari pelaku usaha, yang kemudian memunculkan hubungan kerja yang lebih longgar antara pengusaha dan buruh berdasarkan sistem kontrak, dengan menghilangkan hak-hak normatif buruh. Adanya sistem kontrak dan <span style=""> </span><i style="">outsourching</i> memposisikan buruh pada posisi yang lemah, karena tidak adanya kepastian kerja, kepastian upah, jaminan kesehatan, pesangon jika di-PHK, dan tunjangan-tunjangan kesejahteraan lainnya. </p> <br /><span id="fullpost"><br /> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;">Sistem <i style="">outsurching</i> dan kontrak kerja didasari pada logika pasar yang menyelusup di sistem perburuhan, yang menurut Benny Hari juliawan, seorang peneliti perburuhan; buruh yang dilihat sebagai bagian dari faktor produksi di tundukkan pada ideologi pasar berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. <span style="" lang="SV">Buruh sama dengan faktor masukan lainnya, seperti benang, kain, atau plastik. Posisi buruh nyaris setara dengan komoditas industri tersebut, padahal untuk menghasilkan seorang buruh sangat berbeda dengan proses menghasilkan barang atau bahan industri (kompas, 30 apri; 2008). Paradigma pasar kemudian menjadi ideologi sistem perburuhan nasional (UU No.13/2003) dari hasil<span style=""> </span>kompromi antara pasar dan negara yang melahirkan mekanisme, baik <i style="">legal</i> maupun <i style="">formal.</i> Semua itu cenderung mencabut buruh dari hakekatnya sebagai manusia yang mempunyai kehendak, harapan dan hakekat kemanusian lainnya menjadi komoditas barang yang siap diperjual-belikan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><b style="">Perlawanan Buruh.<o:p></o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;">Tuntutan serikat-serikat buruh pada hari buruh Internasional (<i style="">may day</i>) yang sporadik bergema seantero nusantara untuk penghapusan sistem <i style="">outsurching </i>dan kontrak kerja layak disebut sebagai perjuangan mengembalikan hakekat buruh sebagai manusia dari kungkungan <i style="">predasi</i> pasar. Gerakan buruh kontemporer, terutama paska reformasi telah bergerak dari tuntutan normatif hubungan industrial (hak cuti, tunjangan dan lain-lain) menuju pada tuntutan-tuntutan normatif yang lebih komprehensif, yaitu kepastian kerja. <span style="" lang="SV">Di sisi lain, liberalisasi ekonomi telah menjerat sistem ekonomi nasional, sehingga upaya menghilangkan perlindungan negara atas hak-hak buruh genjar dilakukan. Buruh dihadapkan langsung dengan kekuatan modal nasional dan global, sehingga posisi mereka rentan sebagai alat eksploitasi kepentingan pasar nasional dan global tersebut. Upaya gencar liberalisasi ekonomi ini kemudian <i style="">vis a vis </i>dengan tuntutan-tuntutan buruh yang menuntut perlindungan negara atas hak buruh. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Revisi UU No. 13/2003 adalah adalah <i style="">medan peperangan</i> antara dua kekuatan diatas. Kepentingan pasar yang dimotori oleh pemilik modal menginginkan kepastian investasi dengan memposisikan buruh sebagai komoditas murah dan menafikkan hak-hak buruh yang melekat pada kepastian kerja. Tentunya dengan arus pasar modal yang bergerak secara fleksibel mengakibatkan konsepsi kepastian kerja menjadi hambatan pergerakan modal yang dinamis, baik itu pada skop nasional maupun <i style="">mondial.<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Menposisikan buruh secara manusiawi dalam hubungan industrial adalah penghormatan terhadap hakekat kemanusian. </span><span style="" lang="FI">Menggunakan konsepsi Hak Asasi Manusia merupakan alat untuk mengembalikan posisi kemanusian buruh tersebut. Hak asasi manusia dalam konteks perburuhan hari ini, nampaknya masih bergerak pada aras kemajuan hak sipil politik, seperti; kebebasan berkumpul, berserikat dan kebebasan aspirasi politik buruh. Sisi lain dari Hak Asasi Manusia yaitu pada aras hak ekonomi, sosial dan budaya dimana kadarnya yang sama dengan hak sipil politik diatas, seakan-akan bergerak <i style="">poco-poco</i>, seiring dengan masih berlakunya <span style=""> </span>sistem <i style="">outsourching</i> dan kontrak kerja dalam sistem perburuhan nasional.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><b style="">Peran Negara.</b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;">Hasil survey Forum Ekonomi Dunia (WEF) tahun 2006 menyatakan bahwa faktor penghambat investasi adalah birokrasi pemerintah, infra struktur yang memadai, peraturan perpajakan, korupsi, perburuhan, dan inkonsistensi kebijakan. <span style="" lang="SV">Dari hasil laporan tersebut, ternyata masalah perburuhan bukanlah faktor dominan penghambat investasi (kompas, 30 april 2008). Genjarnya investasi dan perluasan lapangan kerja berbanding lurus dengan peningkatan kualitas buruh, sehingga mengurangi kemiskinan, pengangguran dan masalah-masalah ekonomi lainnya, hal ini di yakini oleh pemerintah<span style=""> </span>yang kemudian didukung oleh sebagian besar ahli ekonomi negara ini. Namun<span style=""> </span>keliru, bila opini yang mengkaitkan masalah perburuhan sebagai masalah utama dari mandeknya investasi di Indonesia. Masalah-masalah perburuhan yang diwarnai seputar tuntutan-tuntutan kepastian kerja tidak lagi relevan sebagai <i style="">biang kerok</i> dari keterpurukan ekonomi Indonesia. Tuntutan-tuntutan tersebut merupakan perjuangan kemanusian dan pemenuhan hak asasi manusia untuk melindungi buruh dari <i style="">buasnya</i> pasar yang menggerogoti sistem perburuhan nasional. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Dalam pemenuhan Hak asasi Manusia dalam konteks perburuhan hari ini, baik itu hak sipil politik dan hak ekonomi, sosial serta budaya, adalah tanggung jawab negara <span style=""> </span>yang harus dipenuhi. Legitimasi negara yamg kemudian dilimpahkan kepada eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR RI) menjadi tumpuan terakhir buruh sebagai pelindung hak-hak asasi mereka. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi, tentunya bukan menjadi alasan <i style="">dehumanisasi </i>buruh untuk penghambaan kekuatan modal. Revisi UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang menghapus sistem <i style="">outsourching</i> dan kontrak kerja serta menguatkan<span style=""> </span>kepastian kerja dalam hak-hak normatif buruh adalah gema tuntutan buruh yang perlu didengar oleh pemangku kekuasaan (eksekutif dan legislatif) sebagai pemegang mandat negara.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8651526549651509955.post-64100920867318189012008-09-15T11:11:00.000-07:002009-02-04T03:07:11.719-08:00Potret Buram Kejaksaan RIMeruyaknya skandal suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan dengan artalyta Suryani alias “Ayin” seputar kasus Korupsi BLBI yang kemudian berlanjut pada; terungkapnya pembicaraan beberapa pejabat teras Gedung Bundar (baca; Untung Udji Santoso dan Kemas Yahya Rahman) yang penuh kontroversi terkait skandal tersebut, menyibak fenomena gunung es prilaku konruptif penegak hukum (baca kejaksaan RI) dalam penanganan kasus korupsi.<br /><br />Lazimnya pembicaraan seputar korupsi, baik itu pada mimbar-mimbar akademis maupun dalam wacana publik, menyiratkan dengan lugas bahwa; korupsi sebagai tindakan penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian nasional. Begitu beratnya dampak korupsi bagi keberlangsungan sebuah negara, teruji seiring dengan hancurnya berbagai rezim korup dalam mempertahankan keberlangsungan Negaranya. Rezim Uni soviet adalah salah satu contoh dari hancurnya sebuah tatanan formal Negara akibat prilaku koruptif pengurus Negara.<br /><span id="fullpost"><br />Masifnya dampak praktek korupsi tentunya menjadi perhatian khusus bagi rezim berkuasa hari ini dan juga elemen masyarakat (rakyat), guna mencoba membangun gerakan bersama pemberantasan korupsi. Sungguh menarik pendapat William J Chambliss (UNDP, 1973) dalam melihat akar praktek korupsi, menurutnya; “korupsi sebagai bagian integral dari sebuah birokrasi akibat konflik kepentingan antara segelintir pengusaha, penegak hukum, birokrat dan politisi”. Mereka ini menurut chamblis; “sebagai sebuah jejaring yang tertutup, yang sukar dibongkar dari dalam dan juga sukar dibongkar dari luar.<br /><br />Pendapat Chambliss diatas relevan dengan fenomena terbongkarnya kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan dengan Artalya Suryani alias ayin oleh KPK yang diringi dengan terbongkarnya pembicaraan Ayin dengan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata usaha Negara (Jamdatun) Untung Udji Santoso dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman beberapa saat setelah penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan yang digelar di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (11/6/08).<br /><br />Oleh Saldi Isra; bahwa hal diatas berhubungan dengan praktek “jual-beli kasus Korupsi kelas kakap (baca; kasus BLBI)” di lingkungan kejaksaan (Saldi Isra, Kompas 18 juni 2008). Dari fenomena tersebut, di Satu sisi, tentunya menampar kejaksaan RI dan rezim berkuasa atas komitmennya dalam memberantas korupsi, di sisi lain, pengungkapan tersebut merupakan titik awal dalam upaya membongkar lingkaran kepentingan birokrasi Negara (baca; kejaksaan RI) dengan pengusaha dalam praktek korupsi di Negara ini.<br /><br />Jejaring koruptif antara aparat penegak hukum (kejaksaan RI) dengan pelaku ekonomi koruptif mulai menampakkan wujudnya secara gamblang dan terbuka. Tindakan “extra ordinary” oleh KPK sebagai lembaga “extra ordinary” dalam pemberantasan korupsi yang dilakoni dalam kasus suap dan jual beli diatas patut didukung bersama dalam membongkar kemandekkan pemberantasan korupsi oleh aparat penegak hukum “ordinary” (kejaksaan RI). Upaya-upaya yang dilakukan KPK dalam membersihkan instansi kejaksaan RI belumlah adekuat apabila tidak diiringi dengan political will rezim berkuasa dalam memutus jejaring haram tersebut.<br /><br />Telanjangnya praktek jual beli kasus di Gedung bundar bukanlah sebuah peristiwa yang tunggal. Praktek ini merupakan kawah kecil dari jejaring yang lebih kuat yang mengancam akuntabilitas instansi kejaksaan secara keseluruhan, Artinya tindakan “extra ordinary” rezim berkuasa tidak cukup hanya mengandalkan pemberantasan kasus suap dan jual beli kasus secara kasuistis, namun juga tindakan “extra ordinary” yang bernas dan berani secara komprehensif dan menyeluruh dari tubuh kejaksaan itu sendiri.<br /><br />Pengawasan internal yang melekat di tubuh kejaksaan yang dibantu oleh komisi Kejaksaan memerlukan tambahan nutrisi oleh Pemerintahan SBY-JK, baik secara hukum maupun secara politik. Merombak jajaran teras di Gedung Bundar dengan menjaring jaksa-jaksa yang akuntebel adalah kebutuhan jangka pendek hari ini untuk mengembalikan gairah kepercayaan publik terhadap instansi Kejaksaan.<br /><br />Dalam konteks jangka panjang, tentunya tidak cukup saja pada lingkaran Gedung bundar saja, namun juga harus menyentuh organ Kejaksaan secara keseluruhan sampai pada level terendah di daerah. Reformasi Kejaksaan RI harus disokong secara politik oleh pemerintahan SBY-JK. Reformasi Kejaksaan merupakan titik awal dalam membangun instansi Kejaksaan RI yang akuntebel dan berwibawa, adapun reformasi tersebut berupa; Pertama, Revitalisasi Pengawasan yang melekat di tubuh kejaksaan yang dibantu oleh Komisi Kejaksaan, kedua ; keterbukaan (transparancy) publik atas prilaku dan tindakan yudisial aparat kejaksaan dalam penanganan perkara terutama seputar kasus korupsi, dan ketiga ; keterbukaan informasi publik seputar instansi Kejaksaan RI yang bisa diakses masyarakat banyak, baik itu elemen pers, kampus, dan juga organisasi masyarakat sipil.<br /><br />Akhir kata, dengan kenyataan hari ini, bahwa jejaring haram yang menjerat instansi penegak hukum (baca; Kejaksaan RI) dengan kepentingan pelaku ekonomi koruptif yang oleh Chambliss sebagai sebuah sistem jejaring yang kuat perlu disibak (di buka) dan dibasmi dari dalam dan dari luar secara kuat juga. Kini saatnya fenomena suap dan jual beli kasus yang melibatkan pejabat teras Gedung Bundar sebagai momentum awal bagi pemberantasan korupsi dari akar-akarnya, baik itu oleh rezim yang berkuasa, maupun rakyat Indonesia secara keseluruhan sehingga mencegah kebangkrutan Negara ini.<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0