Konstitusi Dalam Intaian Neoliberalisme: Konstitusionalitas Penguasaan Negara Atas Sumberdaya Alam Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
oleh
Yance Arizona
(pegiat di HuMa)
“Apabila menurut Pasal 33 UUD 1945 kooperasi mulai membangun dari bawah, melaksanakan dahulu yang kecil, yang rapat pertaliannya dengan keperluan rakyat sehari-hari dan kemudian berangsur-angsur meningkat ke atas. Pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang besar-besar, seperti membangun tenaga listrik, persediaan air minum, menggali saluran pengairan, membuat jalan-jalan perhubungan guna lancarnya kegiatan ekonomi, menyelenggarakan berbagai macam produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. ”
Mohammad Hatta
Cita-cita Koperasi Dalam Pasal 33 UUD 1945
Pidato Hari Koperasi, 12 Juli 1977
I. PENGANTAR
Jimly Asshiddiqie (2005) menyatakan bahwa, sepanjang corak muatan yang diaturnya, UUD 1945 mendekati tradisi penulisan konstitusi pada negara-negara sosialis seperti USSR, Cekoslowakia, Albania, Italia, Belarusia dan Hongaria yang menempatkan konstitusi disamping berfungsi sebagai hukum dasar bidang politik, juga merupakan hukum dasar bidang ekonomi (economic constitutional) bahkan sosial (social constitution). Sebagai hukum dasar bidang ekonomi, hubungan negara dan masyarakat terhadap sumberdaya alam sebagai komponen ekonomi terlihat dalam Pasal 33 UUD 1945.
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, dimana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk itu, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
Landasan konstitusional itu menjadi titik anjak penjabaran usaha perekonomian nasional yang terlihat dalam sejumlah UU di bidang sumberdaya alam. Permasalahan yang acap mengemuka dalam perundang-undangan di bidang perekonomian sumberdaya alam, sepanjang berkaitan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) adalah: (a) bagaimana penguasaan negara atas sumberdaya alam (b) menjamin dan ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat serta (c) bagaimana peranan swasta/modal/investor dalam perekonomian berkaitan dengan sumberdaya alam. Pasal 33 UUD 1945 menjadi tempat dimana tiga persoalan itu ditujukan dan dievaluasikan. Persoalan tersebut, pada level suprastruktur politik akan mengarahkan perdebatan antara konsep penguasaan publik berhadap-hadapan dengan konsep kepemilikan perdata dari Negara terhadap sumberdaya alam beserta konsekuensi hubungan hukumnya.
Persoalan itu semakin menarik dikaji pada masa transisi karena pada masa transisi di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dan negara bekas komunis terdapat gelombang penetrasi modal yang berupaya membuat negara berkembang untuk melakukan adaptasi dengan sistem perekonomian global yang berpaham neoliberal. Ada dua periode transisi yang penting dan mendasar sejak Republik Indonesia terbentuk, yaitu menjelang pemerintahan Orde Baru dan setelah keruntuhan Orde Baru (reformasi). Pada masa transisi terjadi serangkaian perundang-undangan di bidang sumberdaya alam yang nilai-nilai dasar pengaturannya tidak dapat dilepaskan dari konteks paradigma perekonomian global. Tulisan ini mencoba merekam inviltrasi nilai-nilai tersebut kemudian melihat bagaimana peranan Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan bagian dari transisi reformasi, serta sebagai penyangga negara demokratis konstitusional yang memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945 memberikan respons lewat putusannya. Tulisan ini ingin menjawab bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan konstitusionalitas penguasaan negara atas sumberdaya alam ditengah kecenderungan politik legislasi di bidang sumberdaya alam yang neoliberal.
II. EPISODE POLITIK HUKUM UU DI BIDANG SUMBERDAYA ALAM
a. Menjelang Orde Baru
Dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama) penjabaran Pasal 33 UUD 1945 sepanjang soal penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya ditafsirkan dengan melahirkan UU tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria atau UUPA (UU No. 5/1960). Tujuan utama dari UUPA adalah untuk melakukan redistribusi tanah dan melakukan pemerataan penguasaan tanah bagi rakyat. Menurut Mahfud MD, UUPA merupakan produk hukum yang sangat responsif, berwawasan kebangsaan, mendobrak watak kolonialis yang masih mencengkeram bangsa Indonesia sampai selama 15 tahun menjadi bangsa dan negara merdeka (tahun 1945 sampai tahun 1960). Pada masa itu, UUPA adalah aturan utama sebagai landasan pengaturan pertanahan, air, hutan dan perkebunan.
Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun adalah rezim yang menghamba kepada kepentingan modal. Bahkan Undang-undang pertama kali dibuat oleh rezim itu adalah UU Penanaman Modal Asing (UU No. 1/1976). Selang empat bulan kemudian, diundangkanlah UU tentang Ketentuan Pokok Kehutanan (UU No. 5/1967), lalu UU tentang Ketentuan Pokok Pertambangan (No. 11/1967). Tiga undang-undang tersebut menunjukkan arah politik hukum pemerintah bahwa perekonomian Indonesia di bawah Orde Baru akan ditopang dengan modal asing sebesar-besarnya pada sektor Kehutanan dan Pertambangan.
Kelahiran UU Kehutanan dan UU Pertambangan merupakan satu bentuk fragmentasi pengaturan sumberdaya alam yang sebelumnya sudah diatur dalam UUPA. Kelahiran dua UU tersebut bahkan dalam hal tertentu medistorsi semangat UUPA yang berorientasi pada pemerataan dan redistribusi tanah. Pola fragmentasi perundang-undangan ini bila dirunut memiliki kesamaan dengan spesialisasi kerja dalam sistem produksi. Pembagian kerja ditujukan agar spesialisasi dilakukan dan produksi dapat ditingkatkan setinggi-tingginya untuk mencapai nilai lebih dari produksi yang berlebih. Setiap unit kerja memiliki mekanisme dan nilai-nilai tersendiri yang membedakannya dengan unit kerja lain. Dalam perundang-undangan sumberdaya alam, spesialisasi itu diwujudkan menjadi sektoralisasi sumberdaya alam yang secara objektif (alam dan lingkungan yang dieksploitasi), dinilai secara kuantitatif dan spesifik (minum diversity) yang diurus oleh intansi pemerintah secara khusus. Hal ini kemudian menghadirkan konflik antar departemen yang mengurusi sumberdaya alam (egosektoral) karena adanya ruang sumberdaya alam yang tumpang tindih.
Sekumpulan UU yang lahir pada masa itu bukan hanya teks hukum yang berada dalam ruang hampa, tetapi memiliki jiwa dan konteks sosialnya, yaitu pembangunanisme (developmentalism). Semangat Pembangunanisme sebagai jalan merekonstruksi negara-negara yang mengalami penjajahan dan peperangan pada perang dunia kedua sudah mulai diwacanakan oleh Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman dekade 1950-an. Pembangunanisme itu kemudian disebarkan ke beberapa negara non-blok untuk mengatisipasi gelombang komunisasi negara dunia ketiga. Indonesia pacsa Soekarno masuk sebagai bagian negara yang berkiblat pada pembangunanisme tersebut.
b. Reformasi atau Adaptasi?
Pembangunan ekonomi Orde Baru sudah mengarah kepada kemajuan ekonomi pada dekade 80 sampai 90-an. Tetapi, pada tahun 1997 perekonomian dunia mengalami gelombang krisis moneter yang bermula di Thailand, Korea Selatan dan sampai menggulung Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Hal ini berimbas kepada runtuhnya bangunan ekonomi a la Orde Baru. Krisis tersebut berujung pada “berhentinya” Soeharto sebagai punggawa republik setelah 32 tahun berkuasa dan memantik perubahan pada banyak sektor. Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan bahwa krisis yang melumpuhkan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 disebabkan oleh 6 (enam) faktor, yaitu:
1. Secara regional dan aspek geo-ekonomi, Indonesia mendapat efek berantai dari krisis ekonomi yang terjadi di Thailand dan Korea Selatan (the contagion effect).
2. Sebagai rangkaian dari efek berantai tersebut, di dalam negeri terjadi spekulasi dan perilaku panik yang luar biasa, diikuti dengan pemindahan modal ke luar negeri (capital flight) yang bergerak sangat cepat.
3. Kebijakan pemerintah Indonesia untuk merespons krisis moneter tersebut, meskipun resepnya kemudian disusun bersama-sama dengan IMF, dinilai tidak tepat. Kesalahan kebijakan ini termasuk penyebab terjadinya krisis perbankan yang sebenarnya strukturnya sudah lemah, sekaligus sebagai pemicu meledaknya hutang luar negeri.
4. Secara struktural, cukup banyak yang menilai bahwa krisis ekonomi disebabkan oleh hubungan politik dengan bisnis (crony capitalism), terutama hubungan antara pemerintah dengan pengusaha yang tidak sehat yang pada gilirannya menyebabkan kesalahan yang bersifat sistemik serta menimbulkan inefisiensi dan disfungsi struktural.
5. Bentuk lain dari hubungan tidak sehat antar penguasa dan pengusaha seperti disinggung di atas adalah kroniisme, yang memangsa sumberdaya dan output ekonomi kita dalam skala besar.
6. Absennya good governance pada pemerintahan yang lalu, yang sesungguhnya merupakan turunan dari kegagalan institusi negara dalam membangun dan menegakkan aturan hukum, juga menyebabkan kehancuran yang bersifat struktural.
Pasca Orde Baru, pergantian kepemimpinan dan perubahan di berbagai sektor dengan semangat reformasi berlangsung. Pada level hukum berpuncak pada paket amandemen UUD 1945 empat kali (1999-2002). Perubahan yang menambah sampai 300% ketentuan UUD itu seiring dan diikuti dengan perubahan pada level undang-undang dan kebijakan lainnya. Di bidang perundang-undangan sumberdaya alam, pola fragmentasi peraturan gaya Orde Baru dilanjutkan dan bertambah masif. Ada 12 (dua belas) UU yang dibuat, yaitu: (a) UU Kehutanan; (b) UU Perlindungan Varietas Tanaman; (c) UU Minyak dan Gas Bumi; (d) UU Ketenagalistrikan; (e) UU Panas Bumi; (f) UU Sumberdaya Air; (g) UU Perkebunan; (h) UU Penetapan Perpu No. 1/2004 tentang Perubahan UU Kehutanan; (i) UU Perikanan; (j) UU Penanaman Modal; (k) UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; (l) UU Energi.
Watak dari UU yang lahir pasca Orde Baru, terutama yang berkaitan dengan sumberdaya alam, disamping memasifkan sektoralisasi sumberdaya alam juga diikuti dengan gelombang komersialisasi dan privatisasi atau swastanisasi sektor publik yang semestinya merupakan tanggungjawab langsung dari negara. Semangat ini berakar dari apa yang dikenal dengan Washington Consensus yang menyatakan bahwa kinerja perekonomian yang baik membutuhkan perdagangan bebas, stabilitas makro serta penerapan kebijakan harga yang tepat. Tak dapat dipungkiri, kesepakatan inilah yang kemudian menjadi pencetus bagi kelangsungan mekanisme pasar.
Washington Consensus dikenal juga sebagai nilai-nilai dasar dari neoliberalisme ekonomi yang menyelinap dalam globalisasi. Globalisasi dalam rangka penyebaran neoliberalisme itu memperlihatkan 2 (dua) dimensi yakni, pertama dimensi ekonomi dan korporasi (economic and corporation globalization). Kedua, dimensi politik dan negara (political and state globalization). Kedua dimensi tersebut nampak pada kebijakan yang diskenariokan dan didesain oleh negara-negara maju yang tergabung dalam G8 (Amerika Serikat, Kanada, Itali, Perancis, Inggris, Jerman, Rusia, dan Jepang) melalui 3 (tiga) mesin globalisasi yaitu, pertama lembaga keuangan internasional (International Financial Institutions/IFI’s), kedua Organisasi Perdangangan Dunia (World Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan multinasional (Multinational Corporation/MNC). Melalui mesin-mesin globalisasi di atas, negara-negara maju semakin memperkokoh hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol sumberdaya di dunia. Lewat tangan WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia. Melalui lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan negara mana yang dapat menikmati kucuran uang. Kemudian dengan meminjam kekuatan IMF, mereka menekan negara-negara untuk melakukan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi.
Secara lebih spesifik, Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia menyebutkan ada 5 (lima) Nilai dasar dari Neoliberalisme, yaitu:
1. ATURAN PASAR. Membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang dipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan internasional dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Tidak ada lagi kontrol harga. Sepenuhnya kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa.
2. MEMOTONG PENGELUARAN PUBLIK DALAM HAL PELAYANAN SOSIAL. Ini seperti terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘jaring pengaman’ untuk orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih – ini juga guna mengurangi peran pemerintah. Di lain pihak mereka tidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.
3. DEREGULASI. Mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi keuntungan pengusaha.
4. PRIVATISASI. Menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor swasta. Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar, yang nyatanya berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit orang dan membuat publik membayar lebih banyak.
5. MENGHAPUS KONSEP BARANG-BARANG PUBLIK (PUBLIC GOODS) ATAU KOMUNITAS. Menggantinya dengan “tanggungjawab individual”, yaitu menekankan rakyat miskin untuk mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya.
Program deregulasi, privatisasi dan liberalisasi yang dimotori oleh mesin-mesin neoliberal yang dipraktikkan dimana-mana adalah SAP (Structural Adjustment Program). SAP atau Program Penyesuaian Struktural merupakan program utama dari Bank Dunia dan IMF, termasuk juga WTO dengan nama lain. WTO memakai istilah-istilah seperti fast-track, progressive liberalization, harmonization dan lain-lain. Intinya tetap sama. Di balik nama sopan "penyesuaian struktural", adalah "penghancuran dan pendobrakan radikal" terhadap struktur dan sistem lama yang tidak bersesuaian dengan mekanisme pasar bebas. Jadi Pasar Bebas adalah intinya (mesin penggeraknya), Neo-Liberal adalah ideologinya, dan SAP adalah praktek atau implementasinya. Sementara tujuannya adalah ekspansi sistem kapitalisme global.
III. PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI DITENGAH META-KONSTITUSIONALITAS
a. Kisah Sumbang Pengujian Undang-undang
Penetrasi neoliberalisme tidak berhenti pada tataran substansi hukum dalam perubahan UU di bidang sumberdaya alam. Tetapi juga memasuki dimensi struktur hukum dengan melakukan perombakan birokrasi (eksekutif) dalam kerangka good governance, penguatan fungsi legislasi DPR serta pembangunan institusi yudisial baru seperti Pengadilan Niaga dan Mahkamah Konstitusi. Di Indonesia, perubahan pada level struktur hukum ini dilakukan di bawah payung Rule of Law yang direjuvensi dari konsep Negara Berdasarkan Hukum yang sudah dilontarkan para pendiri republik pada tahun 1945. Keterkaitan antara penetrasi neoliberalisme, terutama privatisasi, dengan konsep Rule of Law juga dikemukakan oleh Joseph E. Stiglitz dalam penelitiannya pada negara-negara eks komunis.
Mahkamah Konstitusi yang dibentuk untuk mewujudkan supremasi yudisial melalui kekuasaan review undang-undang menjadi institusi yang paling efektif untuk memfasilitasi proses integrasi pada ekonomi global melalui serangkaian putusan kontroversialnya. Sejak tahun 2003, sudah ada lima UU di bidang sumberdaya alam yang diuji kepada Mahkamah Konstitusi (UU Ketenagalistrikan, UU Migas, UU Kehutanan, UU Sumberdaya Air, dan UU Penanaman Modal). Benang merah dari dalil permohonan pengujian kelima UU tersebut berkaitan dengan penetrasi neoliberalisme dalam bentuk deregulasi, privatisasi, liberalisasi dan komersialisasi sumberdaya alam. Hal tersebut dianggap akan mengurangi tanggungjawab negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia dan konstitusional warga negara.
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kelima permohonan pengujian UU tersebut, dilihat dari amar putusannya, berbeda-beda. Ada permohonan yang dikabulkan keseluruhan, dikabulkan sebagian, ditolak, ditolak dengan conditionally constitutional dan tidak dterima. Meskipun amar putusannya berbeda-beda, hal itu tidak menghalangi penetrasi neoliberalisme di Indonesia. Kondisi itu membuat penting untuk mengevaluasi apakah pembaruan hukum dalam paham The Rule of Law yang diinstrumentalisasi lewat lembaga pengujian UU terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi memberikan kontribusi bagi penegasan penguasaan negara atas sumberdaya alam atau sebaliknya?
b. Doktrin Panca Fungsi Penguasaan Negara
Lewat putusan pengujian UU Ketenagalistrikan (UU No. 20/2002), Mahkamah Konstitusi menghidupkan kembali diskursus tentang konsep penguasaan negara atas sumberdaya alam yang terakhir diperbincangkan secara serius dalam pembahasan UUPA 48 tahun silam (tahun 1960). Dalam menafsirkan makna frasa “dikuasai oleh negara” dari Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mengkonstruksi 5 (lima) fungsi negara dalam menguasai cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Tabel
Panca Fungsi Negara Dalam Menguasai Sumberdaya Alam
No Fungsi Penjelasan
1 Pengaturan (regelendaad) Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Jenis peraturan yang dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 UU No 10/2004, serta Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah (eksekutif) yang bersifat mengatur (regelendaad)
2 Pengelolaan (beheersdaad) Dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara. Dengan kata lain negara c.q. Pemerintah (BUMN) mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam peyelenggaraan pemerintahan daerah, fungsi ini dilakukan oleh perusahaan daerah
3 Kebijakan (beleid) Dilakukan oleh pemerintah dengan merumuskan dan mengadakan kebijakan
4 Pengurusan (bestuursdaad) Dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).
5 Pengawasan (toezichthoudensdaad) Dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Termasuk dalam fungsi ini yaitu kewenangan pemerintah pusat melakukan pengujian Perda (executive review)
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penguasaan negara atas sumberdaya alam lahir dari konsep hubungan publik. Dikatakan sebagai konsep hubungan publik karena:
“Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.”
Meskipun menyatakannya sebagai konsep hubungan publik, Mahkamah Konstitusi tidak menolak bahwa hubungan negara dengan sumberdaya alam juga merupakan manifestasi dari hubungan keperdataan. Pengakuan itu secara implisit ditemukan dalam penggalan putusan berikut:
- Menimbang bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sistem sebagaimana dimaksud, maka pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata.;
- Menimbang bahwa jika pengertian kata “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak akan mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”;
- Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud;
- Oleh karena itu, baik pandangan yang mengartikan perkataan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, kedua-duanya ditolak oleh Mahkamah;
Hubungan kepemilikan negara atas sumberdaya alam dalam literatur Property Rights Regime disebut sebagai state property. Dalam state property, kepemilikan negara merupakan kondisi konstitutif keberadaan suatu negara, yaitu untuk menggeneralisasi bermacam-macam hak yang ada di dalamnya. Dari generalisasi itulah lahir fungsi mengatur, mendistribusikan, mengendalikan dan mengawasi. Machperson menyebutkan bahwa kepemilikan oleh negara memiliki kemiripan dengan hak milik pribadi, sebab negara merupakan pribadi buatan.
Dengan demikian, milik negara (state property – penulis) harus digolongkan sebagai milik kelembagaan, yang merupakan milik ekslusif dan bukanlah sebagai milik umum, yang merupakan milik non-ekslusif. Milik negara adalah hak ekslusif dari suatu pribadi buatan.
Konsekuensi dari sifat ekslusif dari konsep keperdataan penguasaan negara atas sumberdaya alam melegalisasi kewenangan negara melalui pemerintah untuk melakukan hubungan keperdataan. Hubungan keperdataan itu tidak berarti bahwa Pemerintah dapat menjual sumberdaya alam kepada pihak swasta, melainkan melakukan hubungan kontrak atau perjanjian dengan pihak swasta berkaitan dengan “pengalihan” hak atas sumberdaya alam. Dalam hubungan keperdataan yang bersifat konsensual dari perjanjian atau kontrak antara dua pihak atau lebih, berlakulah asas mengikat dalam hukum perjanjian yang menyatakan bahwa perjanjian merupakan hukum bagi para pembuatnya atau pacta sunt servanda.
Dalam perkembangannya, di luar doktrin panca fungsi penguasaan negara menurut Mahkamah Konstitusi, tindakan keperdataan Pemerintah dan Pemerintah Daerah berlangsung dan berkembang, terutama dalam bidang investasi. Ada 5 bentuk kerjasama investasi antara pemerintah dengan swasta, yaitu:
i. Kejasama Konsesi (consession contract)
ii. Kerjasama Kontrak Bangun (Build/Rehabilitation Contract)
b. Bangun, Kelola, Alih Milik (Build, Operate, Transfer)
c. Bangun dan Alih Milik (Build and Transfer) atau Turn-Key Project
d. Bangun, Milik dan Kelola (Build, Own, Operate)
e. Bangun, Alih Milik dan Kelola (Build, Transfer and Operate)
f. Bangun, Sewa, Alih Milik (Build, Lease, Transfer)
g. Tambahan, Kelola dan Alih Milik (Add, Operate Transfer)
i. Kerjasama Operasi (Operating Contract)
ii. Kerjasama Pengelolaan (Managemen Contract)
iii. Kerjasama Patungan (Joint Venture Contract)
c. Memaknai Pemikiran Bung Hatta: Dimana Letak Modal (Asing)?
Secara historis, pembahasan mengenai Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Mohammad Hatta tentang ekonomi kerakyatan, yaitu perekonomian yang disusun atas asas kekeluargaan (Pasal 33 ayat 1 UUD 1945). Pandangan ekonomi kerakyatan Hatta diinstitusionalisasi dengan menjadikan koperasi yang berciri kolektivisme sebagai tulang punggung pengembangan ekonomi nasional.
Menurut Hatta, supaya pengurusan ekonomi oleh rakyat itu terwujud, maka negara menjadi organisasi yang menguasai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Negara menjamin agar sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tercapai lewat penguasaan tersebut, yaitu melalui pengawasan dan pengaturannya.
Sedangkan terhadap peranan modal, Hatta mengkonstruksi keterlibatan modal sebagai alternatif atau pelengkap dari usaha-usaha sektor produksi atau sumberdaya alam yang besar setelah dimaksimalisasi pengusahaannya oleh dalam negeri (koperasi dan badan usaha negara). Hatta menyebutkan:
“Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD 1945. Terutama digerakkan tenaga-tenaga Indonesia yang lemah dengan jalan koperasi, kemudian diberi kesempatan kepada golongan swasta untuk menyerahkan pekerjaan dan kapital nasional. Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di tanah air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama menjamin kekayaan alam kita, seperti hutan kita dan kesuburan tanah air kita, tetap terpelihara.”
Kutipan tadi menunjukkan pemikiran Hatta di tahun 1946 bahwa perekonomian Indonesia dimasa datang diusahakan dengan jenjang prioritas berikut: Pertama, mendayagunakan rakyat sebagai pelaku pembangunan ekonomi dengan jalan koperasi; kedua, yaitu golongan swasta dan modal nasional; ketiga, bila tenaga dan modal nasional tidak mencukupi, maka kegiatan produksi dilakukan dengan meminjam tenaga dan modal asing; keempat, bila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan modalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modal di Indonesia dengan syarat-syarat oleh pemerintah agar kekayaan alam Indonesia tetap terjaga.
Bila pemikiran Hatta pada tahun 1946 dimaknai pada hari ini sebagai tafsir historis atas Pasal 33 UUD 1945, tentu penggolongan yang bersifat prioritas oleh Hatta memiliki nilai otoritatif dalam pembentukan undang-undang dan dinamika sosial ekonomi.
Konsep jenjang prioritas aktor yang disampaikan oleh Hatta dimaknai berbeda oleh Pemerintah dan DPR dalam keterangan yang disampaikan di dalam persidangan pengujian undang-undang serta di dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi. Bagi pemerintah, DPR dan Mahkamah Konstitusi, pendapat Hatta di atas merupakan titik tolak untuk melegalisasi bahwa liberalisasi serta peranan swasta dalam pengusahaan sumberdaya alam bukanlah hal yang “diharamkan”. Fungsionalisasi dari peranan swasta itu dilakukan secara kompetitif berdasarkan asas demokrasi ekonomi untuk berasing dengan koperasi dan badan usaha milik negara. Demokrasi ekonomi lebih diartikan sebagai persaingan daripada partisipasi secara struktural dari kelembagaan ekonomi masyarakat.
Dalam putusan pengujian UU Penanaman Modal, Mahkamah Konstitusi menjabarkan prinsip-prinsip dasar demokrasi ekonomi yang diturunkan dari Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 sebagai berikut:
1. Asas efisiensi berkeadilan adalah asas yang mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing;
2. Asas berkelanjutan adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik masa kini maupun masa yang akan datang
3. Asas berwawasan lingkungan adalah asas penanaman modal yang memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup;
4. Asas kemandirian adalah asas yang mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi;
5. Asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan nasional.
Dengan demikian, baik koperasi maupun BUMN dalam beberapa usaha pemanfaatan sumberdaya alam akan bersaing dengan pengusaha raksasa internasional seperti Trans National Corporation (TNC). Contoh nyata hal ini dapat dilihat dalam penentuan operator pemanfaatan minyak di Blok Cepu. Lewat serangkaian negosiasi akhirnya Pemerintah menyerahkan operator Blok Cepu kepada Exxon Mobil sebagai General Manager, sedangkan Pertamina memegang komite operasi bersama. Hal ini terjadi karena Pertamina dianggap tidak mampu, tidak efisien dalam dan berselubung dengan korupsi.
d. Konstitusionalitas Privatisasi
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam fungsi negara cq Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengelola (beheersdaad) sumberdaya alam diperbolehkan share-holding atau berbagi saham antara saham dari pemerintah dengan saham dari modal swasta. Dalam putusan pengujian UU Ketenagalistirkan, Mahkamah Konstitusi menjadikan privatisasi bersifat konstitusional dengan menyatakan:
“maka penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.”
Pertimbangan demikian, disamping melegalisasi divestasi atau privatisasi, juga meyakini bahwa kepemilikan saham mayoritas relatif dari negara dapat mengontrol kebijakan BUMN. Penafsiran sebagaimana dikutip di atas dalam kategori penafsiran hukum merupakan penafsiran fungsional (functional interpretation) yang menilai konstitusionalitas suatu norma berdasarkan bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam penerapannya.
Privatisasi itu lahir dengan memperhatikan Pasal 33 ayat (4) yang menuntut adanya efisiensi berkeadilan, yaitu untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing. Selama ini BUMN memonopoli pengelolaan suatu cabang produksi penting seperti minyak. Untuk menggusur monopoli itu maka BUMN “diperlemah” tidak hanya dengan membuat mekanisme persaingan antara BUMN dengan swasta, tetapi juga menciptakan peluang agar saham BUMN dimiliki oleh pihak bukan negara.
Selama ini alasan Pemerintah untuk memprivatisasi BUMN adalah karena BUMN dianggap tidak efisien dan berselubung dengan korupsi. Namun dasar privatisasi BUMN yang demikian merupakan sesat pikir yang amat serius. Pertama karena privatisasi didasarkan kepada ketidakpercayaan Pemerintah terhadap institusi milik Pemerintah sendiri. Suatu pengakuan ketidakmampuan ini merupakan cerminan mental bangsa terjajah. Untuk perbandingan, sebagaimana diceritakan dalam buku Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, yang ditulis Harry A. Poeze. Tidak semua orang Indonesia di Negeri Belanda pada permulaan abad 20 sepakat dengan ide kemerdekaan dan kemandirian bangsa Indonesia yang disuarakan oleh Tjipto Mangoenkoeosomo dan Mohammad Hatta. Noto Soeroto (seorang Jawa) adalah cerminan orang yang lebih Belanda daripada orang Belanda. Noto Soeroto mengatakan bahwa untuk “Hindia (Indonesia) belum matang satu abad untuk merdeka.” Bagi Noto Soeroto yang diperlukan adalah suatu asosiasi kolonialisme antara Belanda dengan Hindia. Indonesia tidak bisa jadi bangsa mandiri tanpa bayang-bayang kekuasaan Ratu Belanda. Kedua, privatisasi BUMN tidak akan otomatis menghilangkan perilaku koruptif di dalam BUMN dan membuatnya mampu melayani masyarakat dengan baik. Privatisasi PAM Jaya misalnya tidak membawa pelayanan hak masyarakat atas air di Jakarta menjadi lebih baik. Disamping itu, privatisasi tidak akan menghilangkan kewajiban Pemerintah untuk memberantas korupsi pada lembaga-lembaga negara.
Penelitian yang dilakukan oleh Winarno Yudho dkk (2005) tentang Privatisasi Ketenagalistrikan dan Migas yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi memberikan beberapa catatan penting terhadap kebijakan privatisasi yang sedang berlangsung. Beberapa kesimpulan dari penelitian itu antara lain:
1. Pengajuan pengujian UU Ketenagalistrikan dan UU Migas oleh masyarakat merupakan wujud penolakan terhadap privatisasi sektor Ketenagalistrikan dan Migas
2. Privatisasi syarat dengan kepentingan aktor-aktor globalisasi ekonomi seperti TNC’s, IFI’s dan Lembaga Dagang Internasional daripada suatu upaya mewujudkan kemandirian ekonomi bangsa
3. Resep privatisasi yang diberikan, baik di Indonesia maupun negara lain, khususnya di negara dunia ketiga oleh IMF sama sekali tidak memberikan catatan positif bagi perbaikan kinerja BUMN. Ini menunjukkan bahwa tidak ada kausalitas antara privatisasi dengan membaiknya kinerja BUMN.
4. Pengalaman di beberapa negara yang melakukan privatisasi malah menimbulkan dampak kenaikan harga, pemutusan hubungan kerja dan sama sekali tidak menjamin prinsip manajemen yang baik.
e. Amandemen Konstitusi dan Pluralisasi Nilai
Hal yang tidak kalah penting untuk dikemukakan adalah soal pluralisasi nilai-nilai konstitusi lewat amandemen UUD 1945. Pluralisasi nilai-nilai itu terjadi dengan ditambahkannya ayat (4) di dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Penambahan nilai-nilai tersebut tidak menjadi unsur pelengkap atau komplementer dari nilai-nilai penguasaan negara atas sumberdaya alam yang sebelumnya dicantumkan dalam Pasal 33 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. 7 (tujuh) prinsip dasar demokrasi ekonomi dalam rangka perekonomian nasional dalam Pasal 33 ayat (4) tidak meneguhkan penguatan ekonomi kolektif melalui koperasi, melainkan nilai-nilai baru yang dapat ditafsir secara lebih luas.
Konsekuensi dari pluralisasi nilai-nilai penguasaan negara atas sumberdaya alam dari Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menjadikan sifat konstitusionalitas penguasaan negara atas sumberdaya alam tidak bersifat tunggal dan determinatif. Sehingga, konstitusionalitas tidak lagi diukur berdasarkan kebenaran, melainkan dari relasi kuasa berbagai aspek yang bertarung. Misalkan antara neoliberalisme dengan nasionalisme, historis dengan kontekstual, fondasionalisme dengan pragmatisme, ketertiban dengan kemanfaatan dan lain sebagainya.
Berdasarkan pilihan konstitusional maka putusan lembaga yudisial dapat dinilai dengan menggunakan pendekatan teori pilihan rasional yang berkembang dalam wacana ekonomi politik. Meminjam pendekatan teori pilihan rasional, maka putusan Mahkamah Konstitusi terdiri dan dipengaruhi oleh empat elemen, yaitu:
1. Preferensi (preference) yang dilakukan dengan perangkingan atau menentukan prioritas berdasarkan berbagai pilihan konstitusionalitas yang mungkin. Dalam hal ini pluralisasi nilai yang sudah dilakukan dengan menambahkan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 merupakan pra kondisi yang menentukan keleluasaan putusan.
2. Kepercayaan (belief) yaitu untuk tidak bertindak semata-mata didasarkan kepada emosi dan kebiasaan, tetapi juga atas dasar kepercayaan akan struktur sebab akibat dunia nyata. Disinilah letak keyakinan hakim, baik berdasarkan bukti-bukti di persidangan, konteks sosial yang membentuk kesadaran hakim, serta kondisi eksternal yang sedang berlangsung memberikan pengaruh, seperti neoliberalisme.
3. Kesempatan (Oppurtunity) yang terkait dengan sumberdaya dan kendala. Baik atas luasnya kewenangan dan alat-alat yang dapat menjadikan tindakan memiliki legitimasi. Hal ini terkait dengan kewenangan dan relasi institusi pengadilan dengan lembaga negara serta lembaga sosial lainnya.
4. Tindakan (action) yaitu keputusan (amar) yang dipilih oleh hakim menjadi putusan Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU di bidang sumberdaya alam terhadap Pasal 33 UUD 1945 tidak cukup dianalisa dengan menggunakan cara tradisional metodologi penafsiran hukum. Putusan tersebut tidak lagi murni berada pada domain hukum (yang murni), tetapi juga sebagai keputusan politik yang memoderasi dan memberikan legitimasi kepada masuknya nilai-nilai neoliberalisme ekonomi.
Dalam dualisme hermeneutika konstitusi Lief H. Carter, maka putusan yang demikian mencerminkan pilihan oleh kaum pragmatis dari pada oleh kaum fondasionalis. Kaum pragmatis menekankan pentingnya keterkaitan antara aturan dan pilihan-pilihan. Bagi kaum pragmatis, masyarakat terbentuk melalui pencapaian dan pemeliharaan kualitas-kualitas komunikasi yang efektif diantara para anggota masyarakat. Sehingga, prinsip-prinsip hukum formal, filsafat doktrinal, dan bentuk analisis akademik tidak selaras dengan karakter dunia pragmatis yang penuh dengan narasi dan perbincangan.
IV. MENGEMBALIKAN “YANG PUBLIK”
Jika Negara adalah organ publik yang melampaui konsepsi badan hukum privat, mengapa Negara cq Pemerintah dapat menjadi pihak dalam sengketa dengan pihak swasta (asing) berkaitan dengan sumberdaya alam yang dikuasainya (Pasal 32 UU No. 25/2007)? Hal ini tidak lain karena Pemerintah dapat melakukan perjanjian atau kontrak dengan pihak swasta dalam ekonomi sumberdaya alam. Keadaan ini menurunkan derajat negara sebagai representasi “Yang Publik.” Degradasi ini terjadi secara sistematis lewat deregulasi yang dilakukan dengan mengadopsi hubungan perjanjian atau kontrak antara Pemerintah dengan Swasta dalam “pengalihan” suatu hak atas sumberdaya alam (UU Migas).
Dalam literatur ditemukan setidaknya tiga paham tentang hubungan penguasaan negara atas sumberdaya alam. Pertama, Paham Negara Liberal Klasik. Akar pemikiran paham ini ditelusuri dari pemikiran Adam Smith dan John Locke. Paham ini menempatkan negara dalam posisi yang minimun untuk melancarkan liasseiz faire. Negara Penjaga Malam (nightwatchman state) hanya sebagai badan publik yang memastikan terpenuhinya hak dasar individu warga negara, yaitu hak kebebasan, hak hidup dan hak milik. Untuk memberikan kepastian hak milik bagi individu dan badan hukum privat, Negara memfasilitasi modal melalui kewenangannya memberikan izin dan perjanjian. Hubungan hukum yang utama dalam konsepsi ini adalah kebebasan bersaing (liberalisasi) dan kebebasan berkontrak (konsensual).
Kedua, Paham Negara Kelas. Sejalan dengan pemikiran Karl Marx yang menganggap bahwa ketidakadilan dan kesenjangan sosial ekonomi antara borjuis dan proletar terjadi karena diadopsinya konsep kepemilikan individu, maka Negara hadir sebagai suatu representasi kelas sosial yang merombak tatanan kepemilikian individu untuk dijadikan sebagai kepemilikian kolektif dipundak Negara. Paham ini berpandangan bahwa hanya Negara yang memiliki hak milik atas sumberdaya alam untuk memberikan keuntungan bersama, tidak bagi kepentingan individu.
Ketiga, Paham Negara Kesejahteraan (Welfare State). Paham ini mencoba menggabungkan antara Paham Negara Liberal Klasik dengan tujuan-tujuan yang ada dalam Paham Negara Kelas. Suatu upaya konseptual yang pragmatis. Paham ini tidak lagi semata-mata memposisikan negara sebagai alat kekuasaan tetapi sebagai organ yang melakukan pelayanan (an agency of service). Pelayanan oleh negara tidak terbatas pada bidang politik saja sebagaimana dalam paham liberal klasik, tetapi memasuki dimensi ekonomi untuk medorong pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan jaminan sosial. Namun Konsepsi Negara Kesejahteraan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks perkembangan kapitalisme. Desakan kapitalisme baik TNC dan MNC didukung oleh agen-agen internasional seperti IMF, World Bank dan WTO menggeser tujuan Negara Kesejahteraan yang sejatinya bertujuan untuk melayani pemenuhan hak-hak sipol dan ekosob warga negara menjadi pelayan bagi ekspansi kapitalisme global: Negara Karpet Merah.
Doktrin Panca Fungsi Negara yang dibangun Mahkamah Konstitusi mencoba merekonstruksi “Yang Publik” dalam penguasaan negara atas sumberdaya alam. Terkait dengan sengketa antara Pemerintah dengan investor terkait pemberian izin HGU, HGB dan Hak Pakai, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penyelesaian sengketanya berada dalam rumpun pengadilan administrasi negara, bukan di pengadilan umum. Sebab pemberian HGU, HGB, dan Hak Pakai kepada investor merupakan manifestasi hubungan administrasi, bukan kontraktual. Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa pilihan penyelesaian sengketa antara Pemerintah dengan investor bukanlah materimuatan dari UU. Seharusnya klausula penyelesaian sengketa melalui arbitrase dicantumkan di dalam kontrak, kasus demi kasus.
Model penyelesaian sengketa yang diinternasionalisasi melalui arbitrase internasional (Pasal 32 UU PM) sudah menjadi ancaman bagi kedaulatan Indonesia. Hal ini berkaca pada pengalaman kelahiran Perpu No. 1/2004 yang kemudian menjadi UU No. 19/2004 yang melegalisasi keberadaan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung yang sebelumnya dilarang dalam UU Kehutanan (UU No. 41/1999). Pada penghujung pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, perusahanaan tambang yang beroperasi di kawasan hutan lindung seperti Freeport mengancam akan membawa persoalan larangan pemerintah dalam UU Kehutanan ke Arbitrase Internasional sebab bertentangan dengan kontrak karya pertambangan yang sudah disepakati sebelumnya. Atas desakan itu Presiden mengeluarkan Perpu yang disepakati oleh DPR menjadi UU dan di-amini oleh Mahkamah Konstitusi.
Hubungan keperdataan antara Pemerintah dengan Investor menggeser urusan publik ke dalam ruang bisnis dan berorientasi pada keuntungan ekonomi. Pada hal-hal tertentu pemerintahan yang demikian dapat dikategorikan sebagai Corporatocracy. Corporatocracy tidak saja dimaknai bahwa orang-orang di dalam pemerintahan didominasi oleh orang berlatarbelakang saudagar dengan motif ekonomi yang diraih dari kekuasaan politik, tetapi juga di baca dari konsep hubungan hukum yang dibangun dengan pihak investor. Watak Corporatocracy misalnya nampak dalam kasus Blok Cepu. Pada mulanya Pemerintah menyatakan tidak akan campur tangan dan menyerahkan kesepakat kepada Pertamina dengan Exxon Mobil dengan pendekatan B to B (business to business) Tetapi dalam praktiknya, soal pemanfaatan Blok Cepu tidak lepas dari campur tangan dua Presiden, yaitu Persiden SBY dengan Presiden Bush yang berbasis pada urusan bisinis: Business to Business, tidak murni Government to Government lagi. Implementasi hubungan hukum pemanfaatan Blok Cepu oleh Exxon Mobil dilakukan dengan MoU dan Kontrak Kerjasama oleh Pemerintah melalui BP Migas yang berkedudukan sederajat. Bukan administrasi perizinan yang satu arah.
Di luar putusan Mahkamah Konstitusi juga sudah ada upaya untuk me-re-publik-asi hubungan keperdataan Pemerintah dengan investor, hal ini dalam dilihat dalam RUU Pertambangan Mineral dan Batubara (Versi tahun 2005) yang sedang dibahas di DPR untuk menggantikan UU Pertambangan (UU No. 11/1967). Disana rumusan kontrak diganti menjadi hubungan perizinan yang beraspek publik. Meski ada dorongan merubah kontrak menjadi izin, tetap harus diperhatikan bahwa penguasaan negara mempunyai relasi dengan hak-hak individu masyarakat serta hak masyarakat adat atas sumberdaya alam. Selama ini dalam praktiknya formalisasi hak oleh negara malah menjauhkan masyarakat untuk memanfaatkan dan menikmati sumberdaya alam. Bahkan mengusir masyarakat dari wilayah yang mereka tempati karena izin sudah diberikan kepada pihak swasta.
Untuk itu, konsep penguasaan negara atas sumberdaya alam harus dilihat sebagai bagian dari sistem hak atas sumberdaya alam. Berbicara tentang “hak” dalam konstruksi politik, maka ia bersifat relasional yang mengaitkan seluruh pengemban hak dalam suatu sistem hak. Sistem hak tersebut dikatakan sebagai suatu sistem bila mengarah kepada satu tujuan. Tujuan yang digariskan oleh UUD 1945 adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak hanya bermakna rakyat sebagai objek yang akan menerima, sebab kemakmuran tidak saja soal hasil. Sebesar-besar kemakmuran rakyat juga soal proses, sehingga rakyat adalah subjek yang seharusnya terlibat secara partisipatif. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengarah kepada penguatan peran masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam.
Daftar Pustaka
Abrar Saleng, (2004). Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta.
Adzkar Ahsinin, (2005). Ancaman Globalisasi terhadap Implementasi Hukum Lingkungan: Sebuah Tinjauan Perspektif Feminist Theory, Tidak Dipublikasikan.
Arimbi Heroe Putri dkk, (2004). Manual Pendidikan Dasar Globalisasi, debtWATCH Indonesia, JK-LPK, dan Community Development Bethesda, Jakarta.
Baskara T. Wardaya, dkk, (2007). Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia, ELSAM, Jakarta
Black’s Law Dictionary, Eight Edition, (2004).Thomson Business, USA.
Bonnie Setiawan, (2006). Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, Makalah Disampaikan pada Diskusi Publik “Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial” yang diadakan oleh ‘Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi’ tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta.
C.B. Macpherson, (1989). Pemikiran Dasar Tentang Hak Milik, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta.
Deliarnov, (2006). Ekonomi Politik, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Doty Damayanti, Artikel. Mengurai Kusut Kebijakan Energi Lewat Hak Angket, Kompas, 22 Juli 2008.
E. Utrecht/ Moh. Saleh Djindang, (1983). Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesebelas, PT. Ichtiar Baru, Jakarta.
Fikret Berkes (edt), (1989). Common Property Resource: Ecology and Community-Based Suistainable Development, Belvalen Press, London.
Gregory Leyh, (2008). Hermeneutika Hukum: Sejarah, Teori dan Praktik, Nusamedia, Bandung.
Harry A. Poeze, (2008). Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Kepustakaan Populer Gramedia dan KITLV, Jakarta.
Heru Nugroho, (2001). Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ian Saphiro, (2006). Evolusi Hak dalam Teori Liberal, Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Indriaswati Dyah Saptaningrum, (2008). Jejak Neoliberalisme dalam Perkembangan Hukum Indonesia, Jurnal Jentera Edisi Khusus 2008, PSHK, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, (2005). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi: Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Konstitusi Press, Cetakan Kedua, Jakarta.
---------, (2006) Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
John Roland, Principles of Constitutional Interpretation, The Constitution Society, diakses dari http://www.constitution.org/cons/prin_cons.html, (4 April 2006)
Joseph E Stiglitz dan Sergio Godoy (2006), Growth, Initial Conditions, Law and Speed of Privatization in Transitional Countries: 11 Years Later, National Bureau of Economic Research, Massachusetts Avenue, Chambridge, 2006. Dapat diunduh di: http://www.nber.org/papers/w11992
Joseph E. Stiglitz dan Karla Hoff, (2005). The Creation of Rule of Law and The Legitimacy of Property Rights: The Political and Economic Consequences of A Corrupt Privatization, National Bureau of Economic Research, Massachusetts Avenue, Chambridge, 2005. Dapat diunduh di: http://www.nber.org/papers/w11772
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1990). Cetakan ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.
M. Ridha Saleh, (2005). Ecoside : Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Walhi, Jakarta.
Mohammad Hatta, (1946). Ekonomi Indonesia di Masa Datang, Pidato yang diucapkan sebagai Wakil Presiden dalam Konferensi Ekonomi di Yogyakarta pada tanggal 3 Februari 1946. Lihat dalam buku: Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi: Membangun Sistem Ekonomi Nasional, editor Sri Edi Swasono, UI Press, Jakarta, 1985. hlm 1 – 13.
Mahfud MD, (1999). Pergulatan Politik dan Hukum Di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.
Marwan Batubara, dkk, (2006). Tragedi dan Ironi Blok Cepu: Nasionalisme yang Tergadai, Bening CitraKreasi Indonesia, Jakarta.
Moises Na’im, (2000). Washington Consensus or Washington Confusion?, Foreign Policy, Spring, diunduh dari http://www.foreignpolicy.com/ pada tanggal 31 Maret 2008.
Nadia Hadad, (tanpa tahun) Kebijakan Sektor Sumberdaya Air Indonesia: Pengaruh Globalisasi dan Kebijakan World Bank, Infid, Jakarta.
Revrisond Baswir, (2006). Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, Pustaka Pelajar.
Rikardo Simarmata, (2002). Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Kepemilikan Tanah oleh Nagera, Insist Press, Jakarta.
Robertus Robet, (2005). Dari Transisi Ke Kontigensi: Hak Asasi Manusia Di Era Pasca-Soeharto. Dalam Jurnal Hak Asasi Manusia Dignitas, Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri, Volume III Nomor I Tahun 2005, ELSAM, Jakarta.
Winarno Yudho, dkk, (2005). Privatisasi Ketenagalistrikan, Minyak dan Gas Bumi: Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan, Kebijakan Politik Pemerintah dan Penerapannya di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, (2006). Hukum dalam Jagat Ketertiban, UKI Press. Jakarta.
Susilo Bambang Yudhoyono, (2004). Revitalisasi Ekonomi Indonesia: Bisnis, Politik, dan Good Governance. Brighten Press: Versi Pdf Juni 2004
Wicipto Setiadi, (2007). Instumen Pemerintahan, diunduh dari: http://www.legalitas.org/?q=node/269 tanggal 25 Juli 2008.
Yance Arizona, (2007). Pembuka Pintu Calon Perseorangan; Analisis Metode Penafsiran MK dalam Putusan No. 05/PUU-V/2007, Jurnal Konstitusi Volume 4 Nomor 4, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. hlm 51 – 73.
---------, (2007) Penafsiran Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Studi Perbandingan Putusan Pengujian Undang-undang Ketenagalistrikan dan Putusan Pengujian Undang-undang Sumberdaya Air. Skripsi Sarjana Hukum (S1) Program Kekhususan Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Surat Kabar
http://www.lampungpost.com
http://www.suaramerdeka.com
Putusan Mahkamah Konstitusi
a. Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai Pengujian UU Nomor 20/2002 tentang Ketenagalistrikan.
b. Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 mengenai Pengujian UU Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
c. Putusan Perkara Nomor 058- 059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 7/2004 tentang Sumberdaya Air.
d. Putusan Perkara Nomor 21-22/PUU-V/2007 mengenai Pengujian UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal.
e. Putusan Perkara Nomor 003/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutananan.
LAMPIRAN
Tabel 1
UU Pada Masa Transisi Pasca Orde Baru (Reformasi)
Tahun Produk Kebijakan Keterangan
1999 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Mempertahankan skema-skema hak privat dalam pengusahaan hutan. Seiring dengan UU Otoda dan berbagai peraturan pelaksananya memberikan kewenangan kepada Pemda untuk mengeluarkan IPK di daerah
2000 UU No. 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman Pengaturan mengenai komersialisasi varietas pertanian, termasuk tanaman transgenik
2001 UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Penentuan tarif minyak melalui mekanisme pasar. Membentuk BP Migas yang akan melakukan kontrak kerjasama dalam pemanfaatan Migas dengan swasta.
2002 UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan Pengalihan mekanisme pelayanan listrik dari publik ke mekanisme pasar dan privatisasi/swastanisasi pengusahaan listrik dengan cara unbundling
2003 UU No. 27/2003 tentang Panas Bumi Melegalisasi Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi. Kegiatan usaha pada sektor hulu pertambangan panas bumi yang padat modal.
2004 UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air Komersialisasi dan privatisasi sumberdaya air
UU No. 18/2004 tentang Perkebunan Perencanaan perkebunan dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan pasar
UU No. 19/2004 tentang Perubahan UU Kehutanan Melegalisasi kembali pertambangan terbuka di dalam kawasan hutan lindung yang sebelumnya dilarang dalam UU No. 41/1999
UU No. 31/2004 tentang Perikanan Pada tingkat peraturan pelaksanaanya membuka komersialiasi wilayah perikanan dengan berbagai skema hak.
2007 UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal - Persamaan antara investor dalam negeri dengan investor luar negeri - Kemudahan pemindahan aset - Perpanjangan di muka hak-hak atas tanah dan jangka waktu hak-hak atas tanah yang melebihi UUPA – Pengaturan sengketa penanaman modal melalui arbitrase Internasional
UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Melegalisasi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
UU No. 30/2007 tentang Energi Mengadopsi istilah nilai keekonomian yang hampir mirip dengan harga pasar yang sudah dibatalkan MK dalam UU Migas
2008 RUU Mineral dan Batu Bara Sedang dibahas di DPR. Mengatur peranan swasta melalui mekanisme perizinan. Tidak lagi kontrak atau perjanjian.
Tabel 2
UU pada Masa Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru
No Nomor Undang-undang Hal yang diatur
1 UU No. 1/1967 Penanaman Modal Asing
2 UU No. 2/1967 Perubahan UU No. 9/1966 tentang Keanggotaan Kembali Republik Indonesia dalam International Monetary Fund dan Bank For Reconstruction and Development
3 UU No. 5/1967 Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
4 UU No. 6/1967 Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan
5 UU No. 11/1967 Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
6 UU No. 14/1967 Ketentuan Pokok Perbankan
7 UU No. 3/1968 Keanggotaan Republik Indonesia pada International Development Association
8 UU No. 5/1968 Penyelesaian Perselisihan Antara Negara Dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal
9 UU No. 6/1968 Penanaman Modal Dalam Negeri
Tabel 3
Sepuluh Prinsip-prinsip Dasar Washington Consensus
(Ten Commandments)
No Prinsip Dasar Penjelasan
1 Fiscal Discipline Large and sustained fiscal deficits contribute to inflation and capital flight. Therefore, govemments should keep them to a minimum.
2 Public Expenditure Priorities Subsidies need to be reduced or eliminated. Government spending should be redirected toward education, health, and infrastructure development.
3 Tax Reform The tax base "should be broad" and marginal tax rates "should be moderate."
4 Interest Rates Domestic financial markets should determine a country's interest rates. Positive real interest rates discourage capital flight and increase savings.
5 Exchange Rates Developing countries must adopt a "competitive" exchange rate that will bolster exports by making them cheaper abroad.
6 Trade Liberalization Tariffs should be minimized and should never be applied toward intermediategoods needed to produce exports.
7 Foreign Direct Investment Foreign investment can bring needed capital and skills and, therefore, should be encouraged.
8 Privatization Private industry operates more efficiently because managers either have a "direct personal stake in the profits of an enterprise or are accountable to those who do." State-owned enterprises ought to be privatized.
9 Deregulation Excessive government regulation can promote corruption and discriminate against smaller enterprises that have minimal access to the higher reaches of the bureaucracy. Governments have to deregulate the economy.
10 Property Rights Property rights must be enforced. Weak laws and poor judicial systems reduce incentives to save and accumulate wealth.
Sumber: "What Washington Means by Policy Reform" in John Wdliamson, ed., Latin American Adjustmem: How Much Has Happened? (Washington: Insntute for International Economics, 1990). Dalam Moises Na’im, Washington Consensus or Washington Confusion? Foreign Policy, Spring, 2000. hal. 89. Diunduh dari http://www.foreignpolicy.com/ pada tanggal 31 Maret 2008
Tabel 4
Putusan Perkara Permohonan Pengujian UU Berkaitan Dengan Konstitusionalitas Pengusaan Negara Atas Sumberdaya Alam
No Pemohon No Perkara Putusan
UU No. 20/2002 tentang Ketenagalisrikan
1 Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia 001/PUU-I/2003 DIKABULKAN
2 Ir. Achmad Daryoko, M. Yunan Lubis, SH 021/PUU-I/2003 DIKABULKAN
3 Ir. Januar Muin, Ir. David Tombeng 022/PUU-I/2003 DIKABULKAN
UU No. 22/2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi
1 Dorma H. Sinaga, SH, Ketua Umum APHI Cs 002/PUU-I/2003 MENOLAK PERMOHONAN FORMIL, MENGABULKAN SEBAGIAN PERMOHONAN MATERIL
UU No. 19/2004 tentang Penetapan Perpu No. 1/2004 tentang Perubahan atas UU No. 41/1999 tentang Kehutanan menjadi UU
1 ICEL, WALHI, YLBHI, Lembaga Advokasi Satwa, dkk (Tim Advokasi Penyelamat Hutan Lindung) 003/PUU-III/2005 DITOLAK
2 DPP Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (DPP LRA), HM. Yunus & Drs. H. Abd Rasyid Gani. Kuasa Hukum: Dedi M. Lawe, SH dkk 013/PUU-III/2005 TIDAK DITERIMA
3 Hendra Sugiharto (PT. Astra Sedaya Finance), Bahrul Ilmi Yakub, SH., dkk 021/PUU-III/2005 DITOLAK
UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air
1 Munarman, SH dkk (Tim Advokasi Rakyat untuk Hak Atas Air) 058/PUU-II/2004 DITOLAK
2 Johnson Panjaitan, SH dkk (Walhi, PBHI dll) 059/PUU-II/2004 DITOLAK
3 Johnson Panjaitan, SH dkk (Walhi, PBHI dll) 060/PUU-II/2004 DITOLAK
4 Suta Widhaya 063/PUU-II/2004 DITOLAK
5 (Tim Advokasi Keadilan Sumberdaya Alam) Suyanto, Bambang Widjoyanto, SH, LLM 008/PUU-III/2004 DITOLAK
UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal
1 Diah Astuti, Hendri Saragih dkk (Tim Advokasi Gerak Lawan) 021/PUU-V/2007 DIKABULKAN SEBAGIAN
2 Diapin, Halusi Tabrani dkk. Kuasa Hukum: YLBHI, LBH Jakarta dan LBH Bandar Lampung 022/PUU-V/2007 DIKABULKAN SEBAGIAN
Kamis, Oktober 16, 2008 | Label: advokasi, Hukum Kritis | 0 Comments
Draft Ranperna nagari Guguk Malalo (dalam proses penyusunan Pansus ranperna nagari Guguk Malalo yang di fasilitasi Perkumpulan qbar)
RANCANGAN
PERATURAN NAGARI GUGUK MALALO
NOMOR : ..... TAHUN 200...
TENTANG :
PENGUKUHAN HAK ULAYAT DAN PENGELOLAAN ULAYAT MASYARAKAT NAGARI GUGUK MALALO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALI NAGARI GUGUK MALALO
Menimbang : a. bahwa masyarakat nagari (adat) beserta hak ulayatnya merupakan hak bawaan yang telah ada jauh sebelum Negara Republik Indonesia merdeka dan keberadaannya masih tetap hidup dan bertahan sampai saat ini
b. bahwa keberadaan hak ulayat penting bagi kesejahteraan masyarakat nagari (adat), dan identitas budayanya yang berlaku secara turun temurun dari nenek moyang dan dijaga kelestariannya untuk dapat dinikmati oleh generasi berikutnya secara berkelanjutan.
c. bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18B ayat (2), Negara memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
d. bahwa terdapatnya tarik ulur pengakuan terhadap hak-hak masyarakat nagari (adat) dalam berbagai perundang-undangan yang mengakibatkan terjadinya tumpang tindih penguasaan terhadap hak ulayat di nagari guguk malalo dan berdampak pada hilangnya harmonisasi hubungan didalam masyarakat nagari.
e. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, huruf b dan huruf c, perlu ditetapkan Peraturan Nagari tentang Pengukuhan hak ulayat dan Pengelolaan Ulayat Masyarakat nagari (Adat) di Kanagarian Guguk malalo.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 112) jo Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1979 ;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria ;
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ;
4. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negar Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888) ;
6. Undang-undang No.11 tahun 1967 tentang pokok-pokok pertambangan
7. Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan
8. Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
9. Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
10 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tetang Hak Asasi Manusia
11 Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
12 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
13 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
14 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi kegiatan instansi vertikal di daerah (Lembar Negara Tahun 1988 Nomor 10, tambahan Lembar Negara Nomor 3373) ;
15 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tentang hak Guna Usaha guna bangunan dan hak Pakai ;
16 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, tentang pendaftaran tanah ;
17 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Presiden No.36 tahun 2005 tentang pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum ;
18 Peraturan menteri negara agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi ;
19 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ;
20 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor; P.51 / Menhut –II / 2006 Tentang Penggunaan Surat Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Hak
21 Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pokok-pokok Pemerintahan nagari (Lembar daerah Tahun 2000 Nomor 13) .
22 Peraturan Daerah Kabupaten Tanah datar tentang Nagari...................................
Dengan Persetujuan
BADAN MUSYAWARAH (BAMUS)
KENAGARIAN GUGUK MALALO
M E M U T U S K A N
Menetapkan : PERATURAN NAGARI GUGUK MALALO TENTANG PENGUKUHAN HAK ULAYAT DAN PENGELOLAAN ULAYAT MASYARAKAT NAGARI GUGUK MALALO DI NAGARI GUGUK MALALO
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Hak ulayat adalah serangkaian kewenangan dan kewajiban masyarakat Nagari (adat) yang berkaitan dengan sumber daya alam dalam ruang lingkup wilayahnya, yang merupakan pendukung utama kehidupan dan penghidupan masyarakat nagari Guguk malalo sepanjang masa.
2. Pengukuhan adalah tindakan pemerintah dalam bentuk kebijakan, sikap, dan perlakuan yang mengukuhkan keberadaan hak ulayat dan beserta hak-hak yang ada di dalamnya.
3. Masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau di perintah oleh Penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas yang sangat besar di antara para anggota, memandang yang bukan anggota sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan oleh anggotanya.
4. Masyarakat Nagari adalah kelompok masyarakat yang mempunyai daerah dengan batas-batas tertentu, berpemerintahan atau pemimpin serta mempunyai harta kekayaan tersendiri, lengkap dengan pengaturannya.
5. Penguasaan adalah kewenangan untuk melahirkan keputusan-keputusan terhadap hak ulayat
6. Pengelolaan adalah...............................
7. Rimbo (Hutan) adalah.........................
8. Parak atau Ladang adalah .................
9. Wilayah Pertanian adalah....................
10. Pihak ketiga adalah individu, kelompok dan atau badan hukum baik itu privat dan atau publik diluar pemilik hak ulayat
11. Pemerintah Nagari adalah pemerintah nagari dilingkungan nagari Guguk Malalo
12. ..................Jelaskan juga Pemerintahan daerah yang lain....................
13. Hukum adat adalah hukum yang tumbuh, berkembang dan berlaku dalam masyarakat adat berdasarkan sejarah asal usul
14. Pemilik Ulayat adalah subjek hak atas ulayat
15. Konflik Ulayat adalah sengketa atau perselisihan atas pemilikan, penguasaan dan pmanfaatan hak ulayat
16. Penyelesaian sengketa adalah mekanisme yang berlaku dalam masyarakat adat untuk menemukan jalan kelar atas konflik ulayat
17. Fasilitasi adalah Peran pemerintah atau negara untuk membantu para pihak mencapai kesepakatan
18. Pengukuhan hak adalah pengakuan secara hukum atas hak ulayat.
BAB II
STATUS HAK ULAYAT
Pasal 2
1. Status Hak Ulayat terdiri dari Ulayat Nagari, Ulayat Suku dan Ulayat Kaum.
2. Ulayat Nagari adalah seluruh wilayah yang dimiliki dan dikuasai oleh seluruh anak nagari yang lahir secara turun temurun yang diatur oleh Kerapatan Adat Nagari dan dilaksanakan oleh Pemerintahan Nagari.
3. Ulayat Suku, adalah seluruh wilayah yang dimiliki dan dikuasai oleh semua anggota pasukuan secara turun temurun yang diatur oleh ninik mamak pasukuan dan di kendalikan oleh panghulu pucuk suku.
4. Ulayat kaum, adalah seluruh wilayah yang dimiliki dan dikuasai oleh semua anggota kaum secara turun temurun yang di atur oleh mamak kepala waris dan di kendalikan oleh ninik mamak kaum.
BAB III
PENGAKUAN DAN PENGUKUHAN HAK ULAYAT
Pasal 3
Peraturan Nagari ini bertujuan untuk mengakui dan mengukuhkan keberadaan hak ulayat masyarakat Nagari di Nagari Guguk Malalo.
Pasal 4
Pengukuhan hak ulayat masyarakat nagari guguk malalo oleh pemerintahan nagari
Pasal 5
Pengukuhan hak ulayat suku dan ulayat kaum oleh pemerintahan nagari atas pengakuan Kerapatan Adat Nagari.
Pasal 6
Setiap hubungan hukum yang berkaitan dengan hak ulayat masyarakat Nagari (adat) di Nagari Guguk Malalo harus mengacu pada hukum adat masyarakat Nagari Guguk Malalo.
BAB IV
PENGELOLAAN HAK ULAYAT.
Pasal 7
Pengelolaan hak ulayat dilakukan oleh masyarakat Nagari (adat) berdasarkan ketentuan adat yang berlaku di masyarakat dengan mempertimbangkan keberlanjutan Sumber Daya Alam dan tidak merugikan pihak lain.
Pasal 8
Pengelolaan dan pemanfaatan ulayat dapat di kelola pada;
(1) ulayat nagari oleh semua seluruh anak nagari berdasarkan hukum adat dan atau oleh Badan Usaha Milik Nagari yang dibentuk oleh Pemerintahan nagari atas pengakuan Kerapatn Adat Nagari
(2) ulayat suku oleh semua anggota persekutuan berdasarkan hukum adat.
(3) Ulayat kaum oleh semua anggota kaum berdasarkan hukum ada
Pasal 9
Pengelolaan ulayat dimungkinkan untuk dilakukan oleh pihak lain setelah memperoleh ijin dari pemilik ulayat berdasarkan persetujuan suka rela dengan mempertimbangkan keberlanjutan Sumber Daya Alam.
Pasal 10
Pengelolaan Ulayat oleh Pihak lain berdasarkan persetujuan suka rela dan tidak menghilangkan status Hak ulayat
BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH NAGARI
Pasal 11
Terhadap ulayat, Pemerintah Nagari berkewajiban merumuskan dan menyelenggarakan perencanaan pengelolaan ulayat dan menjaga keutuhan serta keberlanjutan pemilikan dan penguasaan tanah oleh masyarakat Nagari (adat) di Nagari Guguk Malalo yang kemudian diatur dalam Peraturan Nagari Tentang tata ruang Wilayah Nagari Guguk Malalo.
BAB VI
PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH NAGARI GUGUK MALALO
Pasal 12.
Penyusunan perencanaan tata ruang wilayah nagari guguk malalo di ulayat nagari dilakukan pada;
(1) ulayat nagari dirumuskan bersama antara pemerintahan nagari dengan Kerapatan Adat Nagari dengan berpartisipasi dalam proses perencanaan tata ruang wilayah nagari guguk malalo (masih dalam perdebatan)
(2) ulayat suku dan kaum difasilitasi oleh pemerintahan nagari dan Kerapatan Adat Nagari
(3) Dalam hal perumusan perencanaan tata ruang wilayah nagari guguk malalo dapat dibantu pihak lain.
BAB VII
PENGAWASAN ATAS PERENCANAAN, PENGELOLAAN DAN PELESTARIAN ULAYAT NAGARI, SUKU SERTA KAUM
Pasal 13.
Pengawasan atas perencanaan, pengelolaan dan pelestarian ulayat nagari, suku dan kaum oleh Kerapatan Adat Nagari serta Pemuda Nagari.
Pasal 14
Pihak ketiga berkewajiban melestarikan sumber daya alam di ulayat nagari, suku serta kaum dalam pengelolaannya
BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 15
Penyelesaian Sengketa yang berkaitan dengan hak ulayat terbagi atas;
(1) sengketa hak ulayat kaum oleh Niniak Mamak Kaum dengan musyawarah anggota kaum
(2) Sengkata antar kaum oleh suku Penghulu pucuk dalam suku dengan musyawarah bersama penghulu kaum dalam suku
(3) Sengketa antar suku dalam Koto Oleh penghulu pucuk Koto dengan Musyawarah seluruh niniak mamak dalam koto
(4) Sengketa antar koto dalam nagari Karapatan Adat Nagari dengan Penghulu Jurai diselesaikan melalui Musyawarah Kerapatan Adat Nagari dengan Penghulu Jurai
(5) Sengketa yang melibatkan nagari lain oleh Pemerintahan Nagari dan KAN melalui Musyawarah untuk mecari perdamaian dengan KAN dan pemerintahan nagari lain serta mengupayakan Jasa Pihak lain untuk membantu penyelesaiannya
(6) Penyelesaian sengketa sebagaiman disebut dalam pasal 15 ayat 1,2,3,4 dan 5 di atas apabila tidak bisa diselesaiakan melalui mekanisme bajanjang naik batanggo turun maka mengajukan ke Pengadilan Negeri.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Terhadap hak ulayat yang pada saat berlakunya perda ini berada pada penguasaan dan pemanfaatan pihak ketiga dilakukan negosiasi ulang antara masyarakat dengan pihak ketiga yang akan difasilitasi oleh Pemerintahan Nagari
Pasal 17
Terhadap Hak ulayat nagari yang masuk dalam administrasi pemerintahan nagari lain di Negosiasi ulang antar Pemerintahan Nagari dan KAN untuk menemukan kesepakatan bersama tentang pengelolaan dan pemanfaatan ulayat adat
Pasal 18
Terhadap Hak ulayat suku/kaum dari nagari lain yang ada di guguak malalo diakui dan dilindungi sebagai ulayat kaum atau suku yang bersangkutan yang pengelolaannya tunduk pada ketentuan adat nagari setempat
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Hal – hal yang belum cukup di atur dalam peraturan nagari ini akan diatur lebih banyak dengan peraturan walinagari
Pasal 20
Peraturan Nagari ini mulai berlakunya pada tanggal yang diundangkan
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan mengundangkan peraturan nagari ini dengan penempatannya dalam berita daerah kabupaten tanah datar
Ditetapkan di Guguk Malalo
Pada tanggal
WALINAGARI GUGUK MALALO
Drs. M. Yunus
Diundangkan di Batusangkar
Pada tanggal.......................
Sekretaris Daerah
..............................
Pangkat............
Berita Daerah Kabupaten Tanah Datar
Tahun.........Nomor.................
Kamis, Oktober 16, 2008 | Label: advokasi, Hukum Kritis | 0 Comments
Ringkasan Penelitian Kajian terhadap Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya
Oleh
Nurul Firmansyah dan Yance Arizona
(Perkumpulan HuMa dan Perkumpulan Qbar)
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang.
Tanah ulayat merupakan kondisi konstitutif keberadaan suatu masyarakat adat. Perjuangan pengakuan atas tanah ulayat merupakan agenda utama gerakan masyarakat adat di Indonesia dan dunia. Pada level internasional perjuangan itu telah sampai pada Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on The Rights of Indegenous Peoples) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 13 September 2007. Salah satu isi dari deklarasi tersebut adalah penegasan hubungan antara masyarakat adat dengan hak-hak tradisionalnya, termasuk tanah ulayat, sebagai hak-hak dasar yang harus diakui, dihormati, dilindungi dan dipenuhi secara universal.
Perjuangan hak masyarakat adat terutama dalam hal penguasaan ulayat (sumber daya alam) di Indonesia acap terbentur oleh kebijakan agraria nasional dan atau kebijakan PSDA yang sektoral, dan menggantungkan hak ulayat kepada pengakuan negara dengan batas-batas pengakuan hak yang rinci dan jelimet. Kondisi kebijakan tersebut di perparah lagi oleh berbagai distorsi penafsiran dan implementasi kebijakan yang mendesak keberadaan hak ulayat oleh masyarakat adat.
Paska sentralisasi pemerintahan daerah di masa ORBA atau yang kita kenal dengan era Otonomi daerah (otoda) tidak banyak memberikan perubahan berarti bagi penguatan hak masyarakat adat atas SDA karena sentralisasi kebijakan SDA masih sentralistik dan berpangku pada pengelolaan negara dan modal besar. Walaupun era Otoda tidak signifikan untuk kebijakan PSDA oleh Masyarakat adat, setidaknya memberikan peluang bagi revitalisasi masyarakat adat dalam struktur pemerintahan daerah, yang kemudian oleh Sumatera Barat di tangkap dengan mengembalikan sistem pemerintahan nagari.
Berbagai kritik berkenaan dengan sistem bernagari (sistem pemerintahan nagari) muncul dan berkembang hari ini. Kritik tersebut secara garis besar berhubungan dengan belum mampunya sistem pemerintahan nagari mengintegrasikan sistem adat dengan sistem pemerintahan. Terlepas dari berbagai kritik tersebut, sistem bernagari hari ini sedikit banyaknya mengembalikan semangat bernagari yang telah dirusak oleh sentralisasi pemerintahan daerah di masa Orba (sistem pemerintahan desa) dan juga memberi peluang pada penguatan hak masyarakat adat dan dinamika-dinamikanya.
Dengan lahirnya Perda No. 6 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (TUP) memberikan suasana tersediri bagi dinamika penguatan masyarakat nagari, Perda serupa sebenarnya telah ada di daerah lain seperti Perda Kabupaten Kampar No. 12/1999 tentang Hak Tanah Ulayat dan Perda Kabupaten Lebak No. 32/2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Dalam konteks Perda TUP pada level provinsi membuat tingkat abstraksi Perda TUP lebih tinggi karena harus menggambarkan keberagaman struktur sosial yang ada di dalam masyarakat. Seringkali Perda tingkat provinsi di Sumatera Barat tidak bisa menggeneralisasi struktur sosial masyarakat Sumatera Barat yang beragam, terutama antara masyarakat etnis Minangkabau yang berada di daratan dengan masyarakat etnis Mentawai yang berada di kepulauan.
Dalam literatur pluralisme hukum, menurut Stradford Moores, pertemuan antara kaidah hukum adat dengan hukum nasional (Perda) dalam lokal sosial yang sama (one social field) memungkinkan empat model interaksi hukum. Pertama, integrasi (integrate) yaitu penggabungan sebagian hukum negara dan hukum lokal; Kedua, inkoorporasi (incoorporate) yaitu penggabungan sebagian hukum negara ke dalam hukum adat atau sebaliknya; Ketiga, konflik (conflict) yang tidak terjadi penggabungan sama sekali mengingat hukum negara dan hukum lokal dimaksud saling bertentangan; dan Keempat, menghindar (avoidance) yaitu salah satu hukum menghindari kebelakukan hukum yang lain.
Interaksi antara hukum adat dengan hukum nasional menampilkan dua sisi, yaitu upaya mempertanahkan tradisi pada satu sisi dengan upaya-upaya mengakomodasi kepentingan-kepentingan kekinian dari luar struktur adat pada sisi lain. Sehingga merupakan suatu adaptasi sosial dan politik. Masyarakat Minangkabau memiliki kecenderungan yang tinggi dalam beradaptasi dengan “dunia luar”. Filosofi adat alam takambang jadi guru mencerminkan sikap yang ingin belajar dari perkembangan yang terajadi pada dinamika sosial, politik dan ekologis yang berlangsung. Sehingga perkembangan yang terjadi “di alam” itu bisa memberikan manfaat bagi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sikap yang terbuka ini mengadirkan sejumlah tantangan yang harus dihadapi.
Lahirnya Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya menghadirkan sejumlah tantangan. Baik tantangan dari struktur hukum pertanahan nasional, kepentingan investasi dan konflik tanah ulayat yang selama ini berlangsung di Sumatera Barat. Kajian ini ditujukan untuk menyigi beberapa tantangan yang akan dihadapi dengan berlakunya Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Sehingga kajian ini memiliki relevansi bagi pengambil kebijakan dan masyarakat atas tindakan-tindakan yang dapat dihadapi untuk menjaga keberadaan tanah ulayat di Sumatera Barat.
B. Metode Penulisan
Penelitian hukum dengan pendekatan interdisipliner (normatif sistematikal, pluralisme hukum, politik hukum, ekonomi politik). Pemaparan dilakukan secara deskriptif analitis untuk mengetahui proses pembentukan, substansi yang diatur dan beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh masyarakat adat dan keberadaan tanah ulayat di Sumatera Barat. Bahan hukum diperoleh dengan cara penelusuran dokumen, diskusi kampung, wawancara, dan konsultasi publik.
C. Tujuan:
1. Memaparkan proses kelahiran Perda TUP
2. Menganalisa substansi pengaturan dengan berbagai perspektif
3. Menganalisa kebijakan pemerintah yang terkait dengan implementasi Perda TUP
4. Menemukan sejumlah tantangan impelementasi dan perlindungan terhadap masyarakat adat dan tanah ulayat
BAB II
Jalan Panjang Menuju Perda Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya
A. Inisiatif Rancangan Perda Propinsi Sumatera Barat tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat (RPTU), 2001 -2003
Landasan penyusunan RanperdaPemanfaatan tanah ulayat (RPTU) di landasi oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Selanjutnya Permenag No. 5/1999) yang merupakan aturan pelaksana pasal 3 UUPA. Seiring dengan pembahasan draft Ranperda Tanah Ulayat oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Proyek Administrasi Pertanahan (Land Administration Project) mengadakan penelitian di desa Tigo Jangko Kabupaten Tanah Datar yang berlangsung pada bulan februari hingga maret tahun 2000 dengan tujuan mengetahui maksud dari tanah ulayat dan melihat seberapa jauh masyarakat menginginkan pendaftaran tanah ulayatnya. Pada tanggal 24-25 Oktober 2000 lokakarya tanah ulayat yang dilaksanakan di Padang membahas hasil temuan penelitian Proyek di atas yang kemudian di respon dengan pembentukkan tim pembahasan perumusan dan sosialisasi tentang pengaturan pemanfaatan tanah ulayat masyarakat hukum adat di Propinsi Sumatera Barat oleh Pemerintah propinsi Sumatera Barat.
Karena peyusunan Perda tanah ulayat di dasari oleh Permenag No. 5/1999, maka langkah-langkah yang diambil mengacu pada Permen tersebut. Oleh sebab itu, dilakukanlah penelitian untuk menguji keberadaan tanah ulayat di Sumatera Barat pada tahun 2001. Penelitian ini di lakukan oleh Tim yang terdiri dari instansi pemerintah daerah, LKAAM dan kalangan akademisi. Adapun Tim tersebut di bagi atas dua tim kecil, yaitu; Tim A yang di ketuai oleh; Sekretaris Daerah Propinsi Sumatera Barat dan Tim B yang di ketuai oleh Syahmunir, dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim menguatkan keyakinan akan kuatnya keberadaan tanah ulayat di kabupaten-kabupaten, selain itu hasil penelitian juga menemukan bahwa; pertama; tanah ulayat boleh dipindahtangankan kepada pihak lain dengan sifat semetara, kedua; pendaftaran tanah ulayat cukup untuk kepastian hak namun tidak sampai pada di sertifikatkan, ketiga; responden mengganggap penting di buatnya Perda tentang hak ulayat.
Dari hasil penelitian diatas, tim merasa mempunyai alasan untuk melanjutkan kerja penyusunan Rancangan Perda Tanah ulayat yang kemudian diiringi dengan bergabungnya Kanwil BPN Sumatera Barat yang menghasilkan Rancangan Perda Propinsi Sumatera Barat tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat (selanjutnya di sebut RPTU) di tahun 2001. Di Sumatera Barat sendiri, RPTU menuai kritikan dari berbagai pihak, terutama dari kalangan masyarakat sipil, dan akademisi. Walaupun demikian Tahun 2003, Pemerintah propinsi Sumatera Barat tetap mengajukan Draft RPTU kepada DPRD Propinsi Sumatera Barat yang kemudian di ikuti dengan sosialisasi kepada seluruh pemerintah kabupaten dan kota dalam bentuk seminar, yang diikuti juga oleh LBH Padang sebagai unsur masyarakat sipil. Paska seminar sosialisasi RPTU tahun 2003 memacu respon penolakan atas draft ini, baik itu oleh kelompok masyarakat sipil (NGO), maupun individu-individu. Kondisi ini dapat dicermati dengan beberapa kali telah terjadi penyampaian pendapat di kantor DPRD Sumbar antara lembaga-lembaga NGO dan atau perorangan dengan pihak legislatif.
B. Penolakan RPTU oleh Masyarakat Sipil di tahun 2003
Oleh Kurniawarman dan Rachmadi terdapat dua alasan yang mendasari penolakan tersebut, yakni; pertama, dari aspek formal Ranperda ini mengandung cacat karena tidak dilengkapi dengan naskah akademis. Selain itu, pelibatan unsur diluar Pemda sekedar sebagai alat untuk menguatkan alasan guna mendapatkan dana bagi pembuatan Perda, kedua; dari aspek materil, materi RPTU ini di anggap berbahaya karena bukan malah melindungi dan menjamin tanah ulayat, namun hanya mengaakomodasi kepentingan pengusaha agar mudah mendapatkan tanah untuk investasi, selain itu RPTU meneruskan dan memperdalam sektoralisme pegelolaan Sumber daya alam karea objek pengaturannya hanya tanah, tidak termasuk sumber daya alam secara keseluruhan, walaupun sebenarnya patokan RPTU dari pasal 3 UUPA dan Permenag No. 5/1999 yang tidak memisahkan ruang lingkup hak ulayat atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya.
Secara materil, yang menjadi sorotan tajam adalah pasal 11 RPTU, yang menyatakan bahwa terhadap tanah hak ulayat yang telah diganti atas haknya menurut UUPA dan apabila masanya berakhir, maka tanah tersebut menjadi tanah yang langsung di kuasai oleh negara (tanah negara). Artinya, secara normatif tidak memberikan solusi bagi tanah ulayat yang beralih menjadi salah satu hak menurut UUPA seperti HGU, pedahal selama ini konflik pertanahan berlangsung secara massif di wilayah tersebut.
Untuk menyikapi ancaman yang muncul dari RPTU, maka di bulan Februari 2003, beberapa lembaga yaitu; LBH Padang, Warsi Sumatera Barat, LP2M, ELLANS Institute, P2TANRA dan LARA Institute aktif melakukan advokasi penolakan RPTU yang kemudian diikuti dengan lembaga-lembaga lain, yaitu; Qbar, FMN, SPSB, KPI dan LAM & PK FHUA. Kemudian untuk mencoba membangun sinergisitas kerja advokasi dalam menyikapi Rancangan Perda ini, maka dilakukanlah diskusi kritis yang di hadiri oleh NGO, akademisi, pers dan masyarakat di kantor LP2M pada tanggal 26 maret 2003. Diskusi ini merupakan titik penting bagi konsolidasi kelompok masyarakat sipil untuk mengawal advokasi RPTU. Selain membahas substansi RPTU yang menghasilkan pemahaman tentang besarnya dampak negatif implementasi Ranperda terhadap eksistensi hak ulayat, juga menghasilkan beberapa kesepakatan dalam konteks advokasi RPTU, yaitu; pertama, Adanya tim inti yang mengatur proses Advoksi Ranperda, yang beranggotakan; Syafrizaldi (KKI Warsi), Andiko (LBH Padang), Lani verayanti (LP2M), Isma rossy (ELLANS), Jomi suhendri (Qbar), Yesky (Mahasiswa) dan Taufik (P2TANRA), kedua, Tim inti akan bekerja untuk mengkampayekan RPTU kepada publik (melalui media massa dan pertemuan dengan masyarakat), melakukan analisis awal Ranperda, membangun konsolidasi dengan kelompok lain, dan merancang strategi aksi.
C. Keberadaan Pagar Alam Minangkabau (PALAM) Sumatera Barat di tahun 2003-2004.
Tim inti yang di dukung oleh beberapa NGO merupakan embrio awal dari pembentukan Pagar Alam Minangkabau (selanjutnya disebut PALAM) Sumatera Barat yang merupakan koalisi NGO, Organisasi Rakyat, dan Organisasi Mahasiswa di Sumatera Barat untuk mengawal RPTU. Melembaganya koalisi ini di bulan april 2003 merupakan bentuk kesadaran atas kebutuhan advokasi bersama masyarakat sipil dalam membangun kekuatan mengawal RPTU secara sistematis. Secara organisasi, PALAM sendiri merupakan koalisi taktis yang bekerja atas mandat anggota-anggotanya yang merupakan lembaga-lembaga untuk mengawal RPTU. Untuk memperlancar kerja koalisi, maka di bentuklah Badan Pekerja (BP PALAM) yang di pilih dari individu-individu dari lembaga-lembaga anggota yang terdiri; Andiko sebagai koordinator, Vino Oktavia, Jomi Suhendri di Sekretariat BP PALAM, Lany verayanti, Syafrizaldy di kampanye dan lobi, serta Nawir sikki, emil, taufik syafei di pemantauan. Komposisi BP PALAM kemudian berubah, seiring dengan kepindahan Andiko selaku koordinator ke IHSA di Jakarta, yang kemudian di gantikan oleh Samarathul Fuad.
Tekanan penolakan RPTU semakin gencar di lakukan oleh masyarakat, baik itu pernyataan-pernyataan tokoh di media massa maupun penolakan-penolakan masyarakat nagari. Bentuk penolakan masyarakat nagari berupa pengiriman surat penolakan kepada Pansus RPTU DPRD Sumatera Barat seperti yang dilakukan oleh Nagari selayo, Tanang, Bukik sileh di kabupaten solok dan Puncak adat saparampek Nagari kapa di kabupaten Pasaman. Tekanan-tekanan tersebut dapat menghambat pembahasan RPTU oleh Pansus RPTU DPRD Sumatera Barat, selain faktor tekanan masyarakat, faktor internal DPRD Sumatera Barat juga mempangaruhi proses pembahasan RPTU, faktor tersebut adalah; Pertama, proses hukum dugaan korupsi APBD Sumatera Barat tahun 2002 yang melibatkan sebagian besar anggota DPRD, kedua, konsolidasi interal partai politik guna persiapan pemilu 2004, ketiga, keterbatasan dana persidangan pembahasan Ranperda, dimana dana yang dialokasikan sebanyak 2 Milyar ternyata memasuki semester kedua tahun 2003 sudah hampir habis.
Pengawalan RPTU berjalan terus seiring dengan terundur-undurnya proses pembahasan Ranperda di Pansus DPRD Sumatera Barat sampai dengan penghujung tahun 2003, salah satu yang dilakukan adalah diskusi yang menghadirkan ketua Pansus RPTU, akademisi dan masyarakat di Kampus Fakultas Hukum Universitas Andalas oleh LAM&PK FHUA bersama dengan PALAM pada tanggal 29 oktober 2003. Diskusi tersebut merupakan respon untuk menangkal pengesahan RPTU, dimana dari hasil pemantauan yang dilakukan didapatkan informasi tentang rencana akan disahkannya RPTU pada bulan oktober 2003, namun kenyataannya pengunduran pembahasan Ranperda ini berlanjut sampai dengan tahun 2004.
Di pertengahan tahun 2004, pembahasan RPTU kembali diagendakan Pansus. Oleh Moestamir Makmoer (ketua pansus) menyebutkan bahwa; RPTU setuju untuk di bahas DPRD Sumatera Barat dan sudah di tandatangani bapak Arwan Kasri (selaku ketua DPRD Sumbar). Menurutnya, RPTU telah di telaah dengan para akademisi, tokoh adat dan LKAAM Sumatera barat yang pada prinsipnya tidak mempermasalahkan isi draft Ranperda, namun penolakan hanya pada pasal 11, yaitu yang berhubungan dengan putusnya hubungan hokum masyarakat adat dengan ulayatnya di tanah-tanah bekas HGU (hak-hak yang telah diberikan UUPA). Menyikapi hal tersebut, PALAM Sumbar tetap pada penolakan Draft RPTU, bukan hanya pada penolakan pasal 11 Ranperda, sikap ini termanifest dari aksi yang dilakukan PALAM Sumbar pada tanggal 7 Juli 2004 di gedung DPRD Sumatera Barat.
Pembahasaan RPTU terus berlanjut, namun kemudian aktifitas sidang-sidang pembahasan RPTU mengalami stagnasi karena kesibukan anggota Dewan dalam persiapan pemilu 2004. Akhirnya, di sekitar bulan Agustus 2004 oleh ketua Pansus RPTU menyatakan bahwa pembahasan dan pengesahan RPTU akan diteruskan oleh anggota DPRD Sumatera Barat periode 2004-2009.
D. Keberadaan Pagar Alam Minangkabau (PALAM) Sumatera Barat di tahun 2005- sekarang.
Setelah tertundanya pembahasan Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat oleh DPRD Propinsi Sumatera Barat periode 1999-2004, maka pada awal tahun 2005 sampai dengan 2007, tidak ada pengajuan kembali draft RPTU dari pemerintah propinsi Sumatera Barat kepada DPRD Propinsi Sumatera Barat periode 2004 -2009. Namun pada masa ini, yaitu di akhir tahun 2005, wacana perubahan Perda propinsi Sumatera barat No.9 tahun 2000 tentang pokok-pokok pemerintahan Nagari (perda no. 9/2000) menjadi agenda pemerintah propinsi Sumatera barat untuk di bahas.
Setelah pengesahan perda no.2/2007, maka upaya mengagendakan kembali RPTU oleh pemerintah propinsi sumatera barat yang tertunda sejak tahun 2001 mulai dibahas pada pertengahan tahun 2007, dengan mengajukan kembali draft RPTU. RPTU yang diajukan pada tahun 2007 terdapat perbedaan dengan draft yang diajukan di tahun 2001, yaitu pengaturan tentang tanah-tanah ulayat yang telah diganti dengan hak atas tanah oleh UUPA, setelah masanya berakhir akan kembali kepada masyarakat hukum adat, hal ini terlihat dalam pasal 11, yang menyebutkan:
1) Terhadap Tanah Ulayat yang diberi alas hak erfpacht, hak pakai atau HGU, apabila masa berlakunya sudah berakhir, maka tanah ulayat tersebut kembali kepada masyarakat hukum adat
2) Pengaturan dan pemanfaatan selanjutnya terhadap tanah sebagaiman dimaksud ayat (1) dilaksanakan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) bersama dengan pemerintahan Nagari, sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota, hanya sebagai mediator.
Secara keseluruhan roh pengaturan RPTU ini tidak jauh berbeda dengan RPTU yang diajukan pada inisitif awal, yaitu; secara materil ; pertama, RPTU mengatur ulayat secara sektoral yang mengatur pada soal tanah. Kedua, semangat RPTU masih pada semangat pemanfaatan yang notabene merupakan kepentingan investasi (pengelolaan oleh pemilik modal) , sehingga RPTU belum mampu memberikan semangat perlindungan hak ulayat, ketiga, RPTU tidak membedakan antara tanah milik adat dengan tanah ulayat. Secara formil; RPTU tidak melalui mekanisme kaedah penyusunan Ranperda yang baik, yaitu belum terujinya partisipasi masyarakat, terutama masyarakat adat sebagai pemilik ulayat, selain itu RPTU tidak diiringi dengan naskah akademik.
Dengan diajukannya kembali RPTU oleh pemerintah propinsi sumatera barat kepada DPRD propinsi Sumatera barat, bagi PALAM, memancing geliat kembali untuk advokasi atas Ranperda tersebut. Di bulan agustus 2007, LBH Padang telah menuntaskan naskah akademik tentang hak ulayat sebagai upaya counter draft atas RPTU. Naskah akademik yang disusun oleh LBH Padang kemudian di diskusikan pada tingkat PALAM untuk mendukung advokasi RPTU. Pembahasan tersebut dilakukan di kantor Walhi Sumatera Barat pada tanggal 10 Agustus 2007, dalam diskusi tersebut disimpulkan bahwa; pertama, pembahasan kembali RPTU menemukan momentum baru paska pengesahan UU No.25 tahun 2007 tentang penanaman modal, artinya penetrasi investasi (terutama investasi asing) atas tanah ulayat semakin besar, kedua, naskah akademis yang di susun oleh LBH Padang menawarkan pengaturan tentang pengukuhan dan perlindungan hak ulayat, hal ini sesuai dengan kebutuhan pengaturan hak ulayat di sumatera barat yang selama ternegasikan oleh kebijakan sektoral pengelolaan SDA dan distorsi-distorsi pengelolaan Ulayat (SDA), sehingga PALAM sepakat untuk memberikan masukan atas Naskah akademis tersebut dan menjadi konsep alternatif pengaturan tentang ulayat di Sumatera Barat yang akan diajukan kepada DPRD Propinsi sumatera Barat. Ketiga, menyepakati strategi advokasi RPTU baik pada tingkat konsolidasi basis, maupun pada tingkat negosiasi-negosiasi dengan DPRD Propinsi Sumatera Barat dan kerja-kerja kampanye.
Pengajuan naskah akademis dan draft tandingan terhadap RPTU kepada Pansus RPTU DPRD Propinsi Sumatera Barat oleh PALAM dilakukan pada bulan februari tahun 2008, adapun Draft tandingan tersebut menawarkan pengaturan tentang hak ulayat yaitu; pertama, yang bersifat holistik integral, kedua, Ranperda tersebut bertujuan untuk mengukuhkan dan melindungi hak ulayat masyarakat adat di Sumatera Barat, dan ketiga, mekanisme penyelesaian sengketa hak ulayat, dimana selain menggunakan mekanisme adat untuk sengketa internal dalam hal sengketa eksternal Ranperda memerintahkan negosiasi ulang hak ulayat yang berkonflik dengan pihak ke tiga.
Kenyataannya Perda TUP yang dilahirkan oleh DPRD Propinsi Sumatera Barat dengan materi yang tidak banyak berubah dengan Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat. Dalam bab berikut akan di bahas subsatnsi Perda TUP;
BAB III
Telaah terhadap Substansi Pengaturan
Perda TUP mewarisi sektoralisasi sumberdaya alam yang dibangun oleh perundang-undangan di tingkat nasional. Fokus pengaturan terhadap tanah saja sudah terlihat dari dasar hukum dan sejumlah ketentuan pada batang tubuh yang tunduk pada konstruksi hukum pertanahan nasional. Sektoralisasi ini mempersempit objek ulayat yang bagi masyarakat Minangkabau mencakup sumberdaya alam lainnya seperti sungai, danau, laut, ruang angkasa, hutan dan pertambangan.
Tabel Jenis-jenis Tanah Ulayat
No Jenis Hak Ulayat Sifat Status Pendaftaran Pengemban/
Pemilik Pengurusan
1 Tanah Ulayat Nagari Penguasaan/ Publik HGU, Hak Pakai, Hak Pengelolaan Secara adat dimiliki oleh anak nagari Pengurusan oleh Ninik mamak KAN. Pengaturan pemanfaatan oleh Pemerintah Nagari
2 Tanah Ulayat Suku Kepemilikan/perdata Hak Milik Milik kolektif anggota suatu suku Pengaturan dan pemanfaatan oleh penghulu-penghulu suku
3 Tanah Ulayat Kaum Kepemilikan/perdata Hak Milik Milik kolektif anggota suatu kaum. Pengaturan dan pemanfaatan oleh mamak jurai/ mamak kepala waris.
4 Tanah Ulayat Rajo Kepemilikan/perdata Hak Pakai dan Hak Kelola Laki-laki tertua dari garis keturunan ibu Laki-laki tertua dari garis keturunan ibu
Tabel diatas merumuskan bahwa tanah ulayat nagari memilik aspek publik yang penguasaan dan pengurusannnya dilakukan oleh ninik mamak KAN. Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum merupakan hak milik kolektif anggota suatu suku atau kaum. Sedangkan tanah ulayat rajo merupakan tanah ulayat yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari dari garis keturunan ibu yang masih hidup dibeberapa tempat di Sumatera Barat.
Ada beberapa keraguan terhadap eksistensi tanah ulayat rajo. Hal ini karena masyarakat Minangkabau tidak mengenal keberadaan raja. Hasil Penelitian Tim Penyusunan Draf Ranperda Tanah Ulayat yang dibentuk Pemda Sumbar pada tahun 2001 menyatakan bahwa tanah ulayat rajo hampir sudah tidak dikenal lagi, kalaupun ada dapat digolongkan ke dalam kelompok tanah ulayat nagari. Dahulunya tanah ulayat rajo terdapat di daerah rantau, seperti di Pasaman dan Sawahlunto Sijunjung.
Antara tanah ulayat kaum, tanah ulayat suku dan tanah ulayat nagari memiliki hubungan berjenjang dan pencadangan. Bila tanah ulayat suatu kaum habis, maka tanah ulayatnya menjadi tanah ulayat suku. Bila suatu tanah ulayat suku habis maka tanah ulayatnya beralih menjadi tanah ulayat nagari. Sehingga tanah ulayat tidak akan habis. Hal ini sesuai dengan pepatah yang menyatakan bahwa tanah ulayat itu bersifat samporono habis.
Bab V, Pasal 8 Perda TUP mengatur tentang pendaftaran dan subjek hukum tanah ulayat. Tanah ulayat didaftarkan kepada Kantor Pertanahan (BPN) kabupaten/kota yang tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum dan keperluan penyediaan data/informasi pertanahan. Tanah ulayat nagari didaftarkan menjadi hak guna usaha, hak pakai dan hak pengelolaan. Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum didaftarkan menjadi hak milik. Sedangkan tanah ulayat rajo didaftarkan menjadi Hak Pakai dan Hak Kelola.
Soal pendaftaran tanah ulayat di Sumatera Barat sudah menjadi kontorversi diberbagai kalangan. Ada dua pandangan utama, yaitu pihak yang menganggap hak ulayat sebagai hak yang mandiri dan dipihak lain terdapat anggapan bahwa tanah ulayat perlu mendapat kepastian hukum dari hukum nasional.
Dalam pandangan ekonomi politik yang anti-neoliberalisme, sertifikasi tanah dianggap sebagai prasyarat terciptanya pasar tanah yang didorong oleh lembaga-lembaga internasional. Sedangkan dalam pandangan pluralisme hukum, sertifikasi tanah ulayat menampilkan inkoorporasi antara hukum adat dengan hukum nasional. Namun inkoorporasi itu merupakan penguatan dari sentralisme hukum negara yang mengakomodasi hukum adat untuk mengatasi situasi yang problematis.
Ada beberapa konsekuensi bila tanah ulayat didaftarkan dengan status tanah menurut UUPA. Bila tanah nagari didaftarkan dengan status HGU dan Hak Pakai, maka akan menimbulkan konsekuensi, antara lain: (a) tanah yang diberikan HGU adalah tanah negara, sedangkan Hak Pakai dapat dari tanah negara, tanah milik maupun tanah Hak Penegelolaan; (b) soal batas waktu hak yang dapat diperpanjang dan dapat habis; pembayaran sejumlah uang dari pemanfaatan tanah ulayat; (c) laporan tertulis setiap akhir tahun; (d) tanah ulayat dapat dijadikan penjamin hutang; (e) dan dapat dialihkan melalui juga dapat dialihkan dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan. Demikian pula bila tanah ulayat rajo didaftarkan dengan status Hak Pakai.
Sedangkan pendaftaran tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum menjadi hak milik menguatkan status “kepemilikan” tanah secara komunal. Tetapi seringkali persoalan kuatnya kepemilikan tanah secara komunal, atas nama penghulu dan Mamak Kepala Waris dimanfaatkan bagi kepentingan individu oknum penguasa adat. Praktik ini dicemaskan sebagai suatu upaya individualisasi hak komunal dibawah otoritas penghulu atau mamak kepala waris. Kekhawatiran ini cukup berasalan sebab hukum nasional yang berwatak positivisme hukum mengutamakan hubungan hukum individu dalam banyak sektor. Hubungan hukum oleh masyarakat adat dengan pihak lain belum berkembang pesat dalam pengaturan hukum nasional.
Prinsip utama pemanfaatan tanah ulayat di Minangkabau sebagaimana diadopsi menjadi asas utama pembentukan Perda TUP adalah “jua indak makan bali, gadai indak makan sando” yang maksudnya bahwa tanah ulayat tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat dipindahtangankan pada orang lain. Tetapi masyarakat boleh memanfaatkannya, mengelola, mengolah dan menikmati hasil dari tanah ulayat yang kepemilikannya tetap menjadi milik komunal dan tidak dapat dijadikan milik pribadi. Filosofi ini menegaskan bahwa hubungan antara masyarakat Minangkabau dengan tanah ulayat bersifat abadi.
Pemanfaatan tanah ulayat bagi kepentingan anggota masyarakat adat dilakukan berdasarkan hukum adat. Pemanfaatan tanah ulayat bagi kepentingan umum dilakukan “sesuai dengan ketentuan yang berlaku”, Perda TUP tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan “sesuai dengan ketentuan yang berlaku” itu didasarkan kepada hukum adat atau kepada hukum nasional. Bila mengacu kepada hukum nasional maka akan merujuk kepada Perpres 36/2005 juncto Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Demi Kepentingan Umum. Perpres ini sejak kelahirannya banyak dikritik oleh kalangan masyarakat sipil sebab dianggap sebagai landasan legitimasi perampasan tanah masyarakat.
Pemanfaatan tanah ulayat bersama atau oleh pihak luar (pemerintah atau investor) bila berakhir masa perjanjiannya akan kembali kepada masyarakat adat sesuai dengan adagium ”Kabau tagak kubangan tingga, pusako pulang ka nan punyo, nan tabao sado luluak nan lakek di badan.” Tanah ulayat tetap menjadi milik dari masyarakat adat. Yang dibawa oleh pengusaha adalah hasil-hasil usaha yang diperoleh dari mengelola tanah ulayat. Setelah usaha selesai maka tanah dikembalikan kepada masyarakat adat.
Persoalan pengembalian tanah ulayat kepada masyarakat adat setelah perjanjian kerjasama dengan pihak luar ini merupakan salah satu tema utama yang ditolak dalam pembahasan Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat tahun 2002-2003. Alasan utama penolakan kalangan masyarakat terkait dengan Pasal 11 ayat (1) Ranperda tersebut yang menyatakan: “Terhadap tanah bekas hak ulayat yang telah diganti alas haknya menurut UUPA, dan apabila masanya berakhir, maka tanah dimaksud menjadi tanah yang langsung dikuasai negara”. Rumusan demikian menghilangkan status dan keberadaan tanah ulayat dan pengusaan masyarakat adat terhadap sumberdaya alamnya.
Rumusan Pasal 11 ayat (1) Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat yang ditolak oleh kalangan masyarakat tersebut dihidupkan kembali dalam Perda TUP. Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Perda TUP yang berbunyi: Apabila perjanjian penyerahan hak penguasaan dan atau hak milik untuk pengusahaan dan pengelolaan tanah yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 berakhir, maka status penguasaan dan atau kepemilikan tanah kembali ke bentuk semula.” Meskipun tidak secara tegas menyatakan bahwa setelah pemanfaatan tanah ulayat dengan pihak penguasaha selesai, tanah ulayat menjadi tanah negara, tetapi penggunaan frasa “kembali ke bentuk semula” yang masih memberikan penafsiran jamak. Misalkan terhadap tanah ulayat nagari yang didaftarkan sebagai HGU, Hak Pakai atau Hak Pengelolaan, apakah setelah perjanjian dengan investor berakhir, tanah tersebut akan kembali menjadi tanah ulayat yang dikuasai oleh KAN? Atau akan menjadi HGU, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan yang dikuasai langsung oleh Pemerintah.
BAB IV
Tantangan Implementasi Perda Tanah Ulayat
1) Menyigi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Propinsi Sumatera Barat tahun 2006-2010
Rencana pembangunan Jangka Menengah (RPJM) propinsi Sumatera barat tahun 2006-2010 (kemudian disebut RPJMN 2006-2010) merupakan dokumen legal yang di formalkan melalui Peraturan Daerah No. 4 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Propinsi Sumatera barat tahun 2006-2010. Dokumen ini merupakan instrumen strategis perencanaan arah pembangunan daerah propinsi kedepan. Sebagai dokumen perencanaan, RPJM tidak bisa terlepas dari kaedah umum perencananaan dalam instrument pemerintahan. Perencanaan sendiri merupakan penjabaran lebih lanjut dari tujuan Negara yang multi dimensional. Rencana merupakan alat bagi implementasi tujuan negara dan implementasi seyogyanya berdasarkan rencana. Tidak bisa dibayangkan akibatnya apabila melaksanakan tujuan bernegara tanpa ada rencana yang matang. Dalam hokum administrasi Negara, rencana merupakan bagian dari tindakan hukum pemerintahan, yaitu; suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hokum. Meskipun demikian, tidak semua rencana memiliki akibat hokum langsung bagi warga Negara.
Dengan maksud dan tujuan RPJM 2006-2010 sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 5 Ayat (3) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 150 yang mengamanatkan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagai penjabaran visi, misi dan program Kepala Daerah dan kemudian di implementasikan dalam; pertama, pedoman dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kabupaten/Kota, kedua, pedoman penyusunan Rencana Strategis (RENSTRA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), ketiga, pedoman penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota, maka RPJM 2006-2010 berperan strategis bagi pembangunan daerah dan juga mempunyai implikasi terhadap hak ulayat. Hal ini bisa dilihat dari arah program pembangunan ekonomi dalam RPJM 2006 -2010 pada pembangunan ekonomi berbasis pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang ditunjang dengan pembangunan Sumber Daya manusia.
Dalam RPJM 2006-2010 disebutkan bahwa program pembangunan daerah terutama pembangunan ekonomi berdasarkan pada pembangunan berkelanjutan, yang menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut; (1) untuk kesejahteraan rakyat yang merata dan berkeadilan, (2) berdasarkan kemampuan daya dukung SDA, lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat dengan memanfaatkan kemajuan IPTEK. (3) berdasarkan prinsip kemitraan antara Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Koperasi dengan swasta dan pemerintah. (4) menerapkan prinsip efisiensi dan keunggulan komparatif dan kompetitif dari produk andalan tertentu dengan mengakomodasi kemajuan teknologi. (5) berdasarkan keterbukaan ekonomi sesuai dengan perkembangan ekonomi global (6) menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga dapat memacu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. (7) pencepatan pembangunan infrastruktur uintuk memperlancar, mempercepat mobilitas orang dan barang.
Dari prinsip-prinsip diatas terlihat bahwa pembangunan ekonomi sumatera barat diprioritaskan pada pengelolaan SDA dengan pola keterbukaan ekonomi atau integrasi pada ekonomi global, dengan membuka akses investasi modal asing dan atau modal domestik untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan prinsip-prinsip kemerataan ekonomi, kemitraan dan lingkungan hidup. Untuk itu, maka kedepan pembangunan ekonomi sumatera barat akan mempersiapkan beberapa hal berupa pembangunan infrastruktur yang memadai dan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Karakteristik arah pembangunan ekonomi Sumatera Barat memang merupakan kondisi riil pembangunan ekonomi nasional hari ini. Sebagai gambaran singkat, menurut perhitungan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada tahun 2006, untuk mencapai tingkat pertumbuhan 6,1 % tahun 2006 diperlukan total investasi sekitar Rp. 652,9 triliun. Dari total kebutuhan investasi tersebut hanya sejumlah Rp. 101,6 triliun yang dapat disediakan dari anggaran pemerintah, selebihnya sekitar Rp. 551,3 triliun diharapkan dari invesatsi swasta (domestic maupun asing). Artinya topangan pertumbuhan ekonomi nasional berada pada modal swasta.
Tentunya, kondisi diatas juga berlaku pada konteks sumatera barat. Keterbatasan anggaran pembangunan pemerintah (pemerintah propinsi sumatera barat) sebenarnya dijabarkan dalam RPJM 2006-2010 yang menyebutkan bahwa keterbatasan dana pembangunan diakibatkan oleh krisis ekonomi tahun 1998 yang mengakibatkan penurunan Pendapatan asli daerah (PAD) dari Rp. 64,3 milyar pada tahun anggaran 1997/1998 menjadi hanya Rp. 44,0 milyar pada Tahun 1998/1999, dimana Penurunan yang sangat besar terjadi pada penerimaan retribusi daerah dan pajak daerah. Walaupun sejak tahun 2005 sampai dengan sekarang terjadi tren kenaikan PAD, namun tetap saja RPJM 2006-2010 memandang bahwa; dana pemerintah dalam pembangunan daerah mempunyai keterbatas, sehingga harus diisi dengan dana investasi nasional, maupun asing.
2) Kemungkinan FPIC
Salah satu mekanisme yang berkembang dalam upaya penguatan hak masyarakat adat atas sumberdaya alamnya adalah mekanisme Persetujuan Bebas Tanpa Syarat (Free and Prior Informed Consent/FPIC). Keberadaan mekanisme ini bila dikaitkan dengan doktrin tanggungjawab negara dalam pemenuhan hak asasi manusia maka ia meliputi penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), pemenuhan (to fullfill) hak masyarakat adat terhadap sumberdaya alamnya terhadap setiap tindakan yang dilakukan pihak luar terhadap masyarakat adat.
Free and Prior Informed Consent (selanjutnya disingkat FPIC) semula digunakan untuk melindungi kepentingan pasien di rumah sakit yang semestinya mengetahui setiap proses dan jenis pengobatan yang akan dilaluinya secara pribadi (sebagai perlindungan hak individual pasien). Kemudian konsep ini diadopsi oleh sejumlah ketentuan hukum Hak Asasi Manusia internasional dan lembaga internasional multipihak. Dalam konsep FPIC terdapat empat unsur penting yang berlaku secara kumulatif. Keempat prinsip itu dapat diartikan sebagai berikut:
Free : berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya kesepakatan hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan masyarakat.
Prior : artinya sebelum proyek atau kegiatan tertentu diijinkan pemerntah, terlebih dahulu harus mendapat ijin dari masyarakat.
Informed : artinya informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek yang akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya
Consent : artinya persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri
Konsep FPIC, sebenarnya, bukanlah konsep asing pada masyarakat pedesaan di Indonesia. Sejak lama, konsep ini mengakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat pedesaan di Indonesia (Mac Kay dan Colchester, 2004). Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, klausula ini memberi jaminan bahwa masyarakat yang terkena dampak harus dimintakan persetujuannya tanpa paksa sebelum ijin kegiatan diberikan pemerintah. Negosiasi mendapat persetujuan itu harus didahului dengan pemberian informasi yang menyingkap keuntungan dan kerugian serta konsekuensi hukum atas suatu kegiatan tertentu (Sirait, Widjarjo dan Colchester, 2003).
Pengadopsian mekanisme FPIC semakin gencar dalam sejumlah instrumen hukum dan standarisasi yang dibangun oleh lembaga multipihak. Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on The Rights of Indigenous People) yang disahkan tahun 2006 mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan FPIC, diantaranya sebagai berikut:
Pasal 18 berbunyi:
Masyarakat adat berhak untuk mengambil bagian dalam pengembilan keputusan tentang hal-hal yang akan berpengaruh terhadap hak-hak mereka, lewat wakil-wakil yang mereka pilih sendiri sesuai dengan cara dan prosedur pemilihan mereka, dan juga untuk memelihara dan mengembangkan lembaga pengambilan keputusan mereka sendiri.
Selanjutnya Pasal 19 berbuyi:
Negara patut berkonsultasi dan bekerjasama dengan niat baik yang saling mempercayai dengan masyarakat adat terkait lewat lembaga perwakilan mereka sendiri untuk mendapatkan persetujuan yang bebas, mendahului tindakan, setelah ada informasi yang jelas kepada mereka untuk mendapatkan persetujuan sebelum mengadopsi dan menerapkan tindakan-tindakan legislatif atau administratif yang dapat berdampak terhadap mereka.
Perundang-undangan di Indonesia belum banyak yang mengadopsi mekanisme ini. Baru UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mencoba mengadopsi beberapa konsep FPIC dalam ketentuan tentang hak-hak masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa ketentuan dalam Pasal 60 UU tersebut menyatakan bahwa masyarakat berhak untuk:
a. Memperoleh akses terhadap perairan yang telah ditetapkan HP-3;
b. Memperoleh kompensasi karena hilangnya akses terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. Melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
d. Memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
e. Memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f. Mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
g. Menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;
h. Melaporkan kepada penegak hukum atas pencemaran dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
i. Mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya; serta
j. Memperoleh ganti kerugian.
Disamping dalam peraturan perundang-undangan, penerapan FPIC juga didorong oleh lembaga-lembaga multipihak dalam sektor hutan dan perkebunan. Pada sektor kehutanan misalnya terdapat Forest Stewart Council (FSC) yang memberikan sertifikasi terhadap perusahan kayu yang memenuhi beberapa standar yang mereka buat. Beberapa prinsip dan kriteria FSC mensyaratkan operasi penebangan kayu dengan beberapa ketentuan diantaranya: menghormati hukum adat dan hak atas tanah; memastikan kewenangan masyarakat lokal atas pengelolaan tanah; penguasaan atas tanah dapat didelegasikan kepada pihak lain apabila ada persetujuan tanpa paksa dari masyarakat; memastikan adanya mekanisme yang efektif untuk menyelesaikan konflik; melindungi tempat-tempat yang memiliki nilai-nilai secara sosial, kultural dan ekonomi; memberikan kompensasi kepada masyarakat adat atas pemanfaatan pengetahuan tradisional mereka; dan menghormati hak-hak pekerja sesuai dengan standar Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Pada sektor perkebunan kelapa sawit terdapat lembaga internasional multipihak yang mendorong pengelolaan kelapa sawit yang ramah persoalan sosial dan lingkungan dengan membangun sejumlah standar-standar yang harus dipenuhi oleh perusahaan kelapa sawit. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mendorong pelaksanaan FPIC serta pengakuan terhadap hak-hak adat sebagai standar-standar yang dibangunnya. Hal itu antara lain:
a. Penghormatan terhadap hukum, termasuk hukum internasional yang sudah diratifikasi serta penghormatan terhadap hukum adat;
b. Tidak mengurangi atau menghilangkan hak adat tanpa adanya persetujuan bebas, didahulukan dengan diinformasikan (FPIC);
c. Sistem untuk resolusi konflik diterima dan didokumentasi serta kesepakatan berdasarkan FPIC dapat dicapai;
d. Tidak boleh ada penanaman baru pada lahan masyarakat adat kecuali telah mendapatkan FPIC;
e. Adanya kompensasi yang adil untuk masyarakat adat dan komunitas lokal terhadap setiap pengambilan lahan dan pengambilan hak sesuai dengan FPIC dan kesepakatan.
FPIC tidak hanya diperlukan bagi pelaksanaan program-program pemerintah terhadap tanah ulayat, tetapi juga termasuk rencana investasi terhadap tanah ulayat masyarakat adat. pengadopsian konsep FPIC memiliki beberapa hal penting diantara: (a) untuk mencegah konflik antar masyarakat adat dengan pihak lain; (b) merupakan wujud penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya; dan (c) Menjaga keberlanjutan lingkungan sebab keberadaan masyarakat yang berada pada kawasan sumberdaya alam merupakan aspek terpenting kelangsungan dan pelestarian sumberadaya alam, sehingga masyarakat perlu diutamakan.
Melihat rumusan di dalam Perda TUP, terutama pada bagian pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan pihak lain, seperti kepentingan pembangunan dan investasi, terlihat bahwa rumusan yang diatur belum mencerminkan penerapan konsep FPIC. Ketentuan Pasal 9 sampai Pasal 11 Perda TUP yang menjadi landasan dari sisi hukum negara dalam pemanfaatan tanah ulayat memiliki beberapa kelemahan, diantaranya:
a. Belum memasukkan pentingnya informasi yang berimbang tentang dampak-dampak yang akan didapat masyarakat akibat suatu program pembangunan dan investasi.
b. Pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan umum dilakukan dengan penyerahan tanah kepada instansi yang memerlukan. Tidak diatur bahwa masyarakat dapat menolak pelaksanaan program kepentingam umum versi pemerintah bila senyatanya program tersebut bukan merupakan hal yang penting bagi masyarakat.
c. Tidak diatur bahwa masyarakat bebas memberikan keputusan terhadap program pembangunan dan investasi yang dilakukan terhadap tanah ulayat.
d. Tidak ditegaskan bahwa masyarakat dapat memperoleh sejumlah ganti rugi atas penggunaan lahan yang tidak menguntungkan masyarakat.
e. Tidak dirumuskan pengarusutamaan masyarakat dalam pemanfaatan tanah ulayat, misalkan dengan mensyaratkan pola pembangunan ekonomi nagari yang dapat dilakukan lewat badan usaha nagari atau bentuk lain.
Memasukkan FPIC dalam peraturan hukum nasional maupun daerah merupakan salah satu kunci penting untuk tetap memproteksi masyarakat adat atas suatu ancaman yang datang dari pihak lain. Konsep-konsep ini perlu dikembangkan berdasarkan mekanisme yang hidup di dalam masyarakat Minangkabau supaya nantinya dalam implementasi Perda TUP dapat menjadi alat argumentasi dan senjata negosiasi. Oleh karena itu, penting mengawal SK Gubernur maupun Perda Kabupaten/Kota sebagai tindak lanjut Perda TUP memasukkan klausula-klausula FPIC.
Pada tanah awal, penerapan konsep FPIC bisa diterapkan dalam program sertifikasi tanah ulayat. Hal ini dapat dilakukan dengan menginformasikan konsekuensi yang diterima masyarakat dalam sertifikasi tanah ulayat dan kemudian memberikan kebebasan terhadap masyarakat adat untuk memutuskan apakah akan melakukan sertifikasi atau tidak. Bila masyarakat tidak sepakat dengan model sertifikasi yang cenderung mengarah kepada model pasar tanah, maka pemerintah maupun pemerintah daerah ddituntut untuk membangun mekanisme baru pengakuan keberadaan tanah ulayat, misalkan di luar bentuk sertifikat.
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
1. Jenis-jenis tanah ulayat tediri dari (a) Tanah ulayat Nagari yang penguasanya berada pada Kerapatan Adat Nagari dan pengaturan pemanfaatannya berada pada Pemerintah Nagari; (b) Tanah Ulayat Suku, merupakan milik kolektif seluruh anggota suku yang penguasaan dan pemanfaatannya diputuskan oleh penghulu-penghulu suku; (c) Tanah Ulayat Kaum, merupakan tanah milik seluruh anggota kaum yang penguasaan dan pemanfaatannya diputuskan oleh ninik mamak jurai/mamak kepala waris; (d) Tanah Ulayat Rajo, merupakan hak milik atas sebidang tanah berserta sumberdaya alam yang ada diatas dan didalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup di sebagian nagari di Sumatera Barat.
2. Mekanisme pemanfaatan tanah ulayat terbagai terdiri dari:
a. Hukum adat bagi masyarakat adat yang di nagari.
b. Penyerahan hak masyarakat adat (hak ulayat) untuk kepentingan umum.
c. Perjanjian penyerahan hak untuk investasi (investor).
d. Perjanjian penggunaan tanah badan hukum swasta dengan penguasa hak ulayat.
3. Perda TUP mewarisi sektoralisasi yang dibangun oleh perundang-undangan pada tingkat nasional. Sektoralisasi tersebut bertentangan dengan konsep hak ulayat masyarakat Minangkabau yang memandang tanah dan sumberdaya yang ada didalam dan diatasnya sebagai satu kesatuan.
4. Perda ini belum bisa memberikan jaminan perlindungan terhadap keberadaan hak ulayat di Sumatera Barat
B. Rekomendasi
1. Membentuk Tim Penyelesaian Konflik Tanah Ulayat/Agraria di Sumatera Barat yang salah satu kewenangannya adalah untuk melakukan identifikasi dan invenstarisasi tanah ulayat. Pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria juga merupakan rekomndasi dari RPJM Sumatera Barat 2005-2010 dalam Program Pengelolaan Pertanahan. Di dalam RPJM juga direkomendasikan pembentukan forum lintas pelaku penyelesaian sengketa tanah. Sehinga tuntutan pembentukan Tim Penyelesaian Konflik tersebut harus terdiri dari multipihak.
2. Peraturan pelaksana dari Perda TUP, baik melalui Peraturan Gubernur maupun Perda Tanah Ulayat di Kabupaten kota memasukkan nilai-nilai dasar dari FPIC.
3. Dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat, maka Pemerintah Daerah harus memiliki peranan untuk memfasilitasi penyelesaian konflik horizontal yang terjadi antar nagari berkaitan dengan penentuan tapal batas. Membuat mekanisme penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pengelolaan tanah ulayat antara masyarakat adat dengan investor dan instansi pemerintah. Menghidupkan kembali Peradilan Adat ditingkat Nagari untuk memperkuat resolusi sengketa internal yang substansi dan struktur kelembagaannya sesuai dengan aturan adat yang dikukuhkan melalui Perda Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Daftar Pustaka
Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2. September 2004. Hal 207-218. Diunduh dari: http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September 2008.
Bernadinus Steny, (2005). Free and Prior Informed Consent dan Pergulatan Hukum Lokal, Seri Pengembangan Wacana, HuMa, Jakarta.
Bonnie Setiawan, (2006). Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik “Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial” yang diadakan oleh ‘Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi’ tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta. Hal 4-5
Budi Harsono, (2003). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta.
Herman Soesangobeng, (2000). Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di Padang, 23-24 Oktober 2000.
John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual, dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisipliner, HuMa, Jakarta.
Kurniawarman, (2006). Ganggam Bauntuak Menjadi Hak Milik, Andalas University Press, Padang.
Marcus Colchester dkk, (2006). Tanah Yang Dijanjikan, Minyak Sawit dan Pembebasan Tanah di Indonesia: Implikasi terhadap Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat, Forest People Program, Perkumpulan Sawit Watch, HuMa, dan World Agroforestry Center, Jakarta.
Nurul Firmansyah dkk, (2007). Dinamika Hutan Nagari Di Tengah Jaring-jaring Hukum Negara, HuMa dan Perkumpulan QBAR, Jakarta.
Otje Salman Soemadiningrat, (2002). Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung.
P. Agung Pambudhi, (2006). Peraturan Daerah dan Hambatan Investasi, Jurnal Jentera, Edisi 14. Tahun IV, PSHK, Jakarta.
Rikardo Simarmata, (2007). Pengakuan Hukum Masyarakat Adat Di Indonesia, UNDP, Jakarta.
Tim HuMa (edt), (2005). Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisiplin, HuMa, Jakarta
Tim Peneliti Penyusunan Draft Ranperda Tanah Ulayat, (2001). Eksistensi Tanah Ulayat Dewasa Ini Di Sumatera Barat, Laporan Hasil Penelitian, Padang.
Undri, (2004). Kepemilikan Tanah Di Sumatera Barat Tahun 50-an: Kasus Konflik Kepemilikan Tanah Perkebunan Karet Di Kabupaten Pasaman, Makalah yang dipersiapkan untuk Worskop on the economic Side Of Decolonosatioan. Jonintly Organized by LIPI, Nederland Instituts Voor or logdocumentatie (NIOD), Pusat studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada dan Program Studi Sejarah Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta tanggal 18-19 Agustus 2004. diunduh dari: http://www.indie-indonesie.nl/content/documents/papers-economic%20side/Makalah-Undri.pdf tanggal 1 September 2008.
Van Dijk, (2006). Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
Kamis, Oktober 16, 2008 | Label: advokasi, Hukum Kritis | 0 Comments