Nurul Firmansyah

DALAM REFLEKSI-KONTEMPLASI

Nasib Hak Ulayat Atas Tanah dan Hutan


Oleh
Nurul Firmansyah, SH
(Peneliti Pada Perkumpulan Qbar, Padang (www.Qbar.or.id))

Konflik-konflik hak ulayat atas tanah dan hutan pada tahun 2008 mewarnai perjalanan kehidupan bermasyarakat di sumatera barat. Menurut catatan BPN Propinsi Sumatera Barat (2008), terdapat 801 konflik tanah (agraria) dengan proporsi terbesar di konflik tanah ulayat, sehingga daerah ini menduduki peringkat ketiga Nasional dalam sengketa agraria. Berbagai Konflik-konflik tersebut bila di telaah lebih cermat di bagi atas dua kategori, yakni konflik yang bersifat horizontal, dan konflik yang bersifat vertikal.

Pada kategori pertama berhubungan dengan konflik hak ulayat yang melibatkan masyarakat nagari dengan masyarakat nagari lainnya dan konflik dalam internal masyarakat nagari, seperti; konflik tapal batas nagari muaropingai-saniangbaka di kabupaten solok--- yang terakhir di nagari lubuk basung, kabupaten agam --- dan berbagai konflik tanah kaum dalam nagari. Sedangkan pada kategori kedua berhubungan dengan konflik hak ulayat yang melibatkan masyarakat nagari dengan negara (pemerintah) dan atau pemilik modal, seperti; konflik nagari-nagari dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di pesisir selatan, konflik perkebunan kelapa sawit di kampung aie maruok kabupaten Pasaman Barat, dan berbagai konflik lainnya yang melibatkan peran aktif negara dan pemilik modal dengan masyarakat nagari.

Mengurai Konflik
Konflik-konflik hak ulayat menurut DR. Afrizal ( FISIP UNAND, 2007) berkaitan dengan tekanan kekuatan dari luar komunitas (masyarakat) nagari sehingga melemahkan otonomi nagari dalam meresolusi konflik dan bahkan mengancam eksisitensi penguasaan ulayat itu sendiri, artinya konflik horizontal berhubungan erat dengan konflik vertikal. Kekuatan-kekuatan yang menekan tersebut aktif dilakukan oleh negara dan pemilik modal, baik melalui penerapan hukum formil (baca; hukum negara) represif yang nirperlindungan hak-hak masyarakat adat dengan acap kali dibarengi oleh dukungan modal. Tesis ini secara praksis terlihat dari; Penunjukan kawasan hutan negara secara sepihak, klaim HGU, HPH, dan hak-hak lainnya dari hukum negara terhadap hak ulayat masyarakat nagari. Berbagai kasus di sumatera barat menunjukkan fenomena tersebut, tengok saja konflik hak ulayat di pelbagai kawasan hutan di sumatera barat, konflik tanah ulayat di sentra-sentra perkebunan kelapa sawit, yakni; pasaman barat, solok selatan dan pesisir selatan, dan berbagai konflik hak ulayat lainnya memperlihatkan peran penting negara dan pemilik modal dalam kasus-kasus itu.

Fenomena diatas berakibat pada penghilangan dan atau pengkaburan hak ulayat atas tanah dan hutan. Selain itu berakibat juga pada peruntuhan daya paksa norma-norma adat dalam mengatur lalu lintas pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan hutan bagi anggota masyarakat nagari maupun terhadap kelompok lain di luar masyarakat nagari. Artinya hal ini bukan hanya melulu pada soal konflik hak ulayat, namun telah berlanjut pada konflik hukum, yakni antara hukum negara dengan hukum adat yang hidup di masyarakat nagari yang berpengaruh besar terhadap kebutuhan tertib sosial masyarakat secara lebih luas.

Alpanya Perlindungan hak Ulayat.
Perbedaan paradigma antara hukum negara dengan hukum adat merupakan penyebab utama konflik ini. Paradigma hukum negara yang mengatur tanah dan hutan bersifat individual, formal dan menitikbertakan pada sisi ekonomi bertabrakan dengan paradigma hukum adat yang komunal, informal dan bukan hanya bersisi ekonomi, namun juga kultural - sosial. Perbedaan tersebut nyata-nyata belum diakomodir oleh hukum negara sehingga memunculkan ruang kosong antara hukum negara dengan hukum adat (Legal Gap) yang tentunya mendorong marjinalisasi hak ulayat atas tanah dan hutan dalam hukum negara. Baik itu UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan (UUK) dan UU Pokok Agraria (UUPA) belum tuntas mengakui keberadaan hak ulayat secara utuh atas hutan dan tanah. UUK memposisikan hutan adat (ulayat) determinan atas hutan negara sedangkan UUPA membatasi berlakunya hak ulayat dengan dalil “kepentingan nasional.” Memisahkan hak ulayat dari kepentingan nasional bukanlah hal yang logis sebab kepentingan-kepentingan masyarakat adat seutuhnya bagian dari kepentingan nasional. Pemisahan tersebut tentunya melahirkan stereotipe negatif bagi keberadaan hak ulayat dan masyarakat adat itu sendiri.

Batasan kepentingan nasional dalam UUPA tidak dijelaskan lebih lanjut, sehingga melahirkan interpretasi beragam. Interpretasi itu disesuaikan dengan kebutuhan rezim yang berkuasa di negeri ini. Secara in concreato penafsiran kepentingan nasional acap kali di distorsi sesuai dengan kebutuhan rezim yang berkuasa terutama setelah rezim Orde Baru hadir yang memilih pertumbuhan ekonomi dengan topangan pemilik modal besar sebagai strategi ekonominya, sehingga kebutuhan ekstraksi tanah dan hutan adalah keniscayaan. Sampai saat ini pun kecenderungan tersebut masih berlaku.

Otonomi daerah
Bergulirnya reformasi membuka “kran” politik dan partisipasi masyarakat dalam proses hukum, dibarengi dengan penyebaran kuasa-kuasa negara ke daerah. Pada prinsipnya, otonomi daerah menghargai kebutuhan keberagaman daerah dalam kehidupan bernegara yang tentunya menghargai juga keberagaman identitas masyarakat adat. Propinsi sumatera barat menangkap peluang itu dengan mencoba merekonstruksi ulang nagari sebagai basis pemerintahan dan kesatuan masyarakat adat melalui perda 9 tahun 2000 sebagaimana di rubah dengan Perda No.2 tahun 2007 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari (perda Pemerintahan nagari), sejak itulah semangat kehidupan bernagari bergeliat

Perda pemerintahan nagari secara jelas menyebutkan ulayat nagari sebagai bagian dari harta nagari yang bisa dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan hukum adat yang ada di nagari, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Perda Propinsi Nomor 6 tahun 2007 tentang tanah ulayat dan pemanfaatannya (Perda TUP), Nyatanya hal tersebut belum sepenuhnya terpenuhi akibat benturan kebijakan kehutanan dan pertanahan nasional dan substansi Perda TUP yang belum tuntas mengatur perlindungan hak ulayat atas tanah dan hutan. Dalam Perda TUP , semangat pemanfaatan lebih ketara dari pada semangat perlindungannya, sehingga belum menjawab persoalan mendasar hak ulayat atas tanah dan hutan, hal ini terlihat dari; pertama, masih diadopsinya HGU, dan Hak Pakai dalam memanfaatkan hak ulayat yang selama ini sebagai sumber konflik hak ulayat. Kedua, mendorong sertifikasi tanah ulayat yang berpotensi pada penyerahan hak kepada pihak ketiga di luar komunitas nagari. Ketiga, belum jelasnya mekanisme resolusi konflik pada tanah dan hutan ulayat yang telah dikuasai oleh negara dan atau pemilik modal (pihak ketiga).

Nasib hak ulayat atas tanah dan hutan di sumatera barat nampaknya tidak berbeda jauh dari kondisi sebelumnya, sehingga berbagai konflik hak ulayat niscaya masih berkobar. Namun dari kondisi itu, peluang untuk mencari solusi persoalan hak ulayat atas tanah dan hutan masih terbuka dengan melahirkan kebijakan di tingkat daerah kabupaten dan kota yang mengutamakan perlindungan hak ulayat, bukan pada pada sisi pemanfaatannya saja. Urgensi pengaturan perlindungan hak ulayat terutama di daerah-daerah sentra perkebunan besar dan konsesi kehutanan, yakni kabupaten Pasaman Barat, Solok Selatan dan Pesisir Selatan. Adapun substansi perlindungan tersebut, adalah; pertama; mengukuhkan hak ulayat atas tanah dan hutan, kedua, menghargai pola pemanfaatan yang hidup di nagari, baik itu bagi masyarakat nagari maupun pihak ketiga dan ketiga, merancang resolusi konflik yang utuh terutama pada tanah dan hutan yang telah dikuasai oleh negara dan atau pemilik modal serta peran aktif-partisipatif pemerintah kabupaten dalam menyikapi konflik horizontal hak ulayat dengan pendekatan sosial – kultural. Akhir kata, Semoga persoalan hak ulayat atas tanah dan hutan di tahun 2008 dapat menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua dalam mencari solusi yang baik untuk menjawab pelbagai persoalan tersebut di tahun 2009 ini.

0 komentar:

    Mega Biodeversity On Malalo's Forest

    Mega Biodeversity On Malalo's Forest
    Raflesia Arnoldi

    Alam dan Manusia " Alam Takambang Jadi Guru"

    Alam dan Manusia " Alam Takambang Jadi Guru"
    Hutan Kami... Hutan Adat ....

    LAM & PK Fakultas Hukum Universitas Andalas

    LAM & PK Fakultas Hukum Universitas Andalas
    Dapur Gerakan Hukum Progresif