Buruh, Kemanusiaan dan Logika Pasar
Outsourching dan kontrak kerja menjadi mantra suci eksploitasi buruh sebagai salah satu faktor produksi yang menafikkan hakekat kemanusian yang asasi. Posisi buruh yang ditempatkan pada faktor produksi selain faktor produksi lainnya (sumber daya alam, dan modal) berakibat pada terperangkapnya buruh dalam lembah dehumanisasi.
Logika Pasar
Mekanisme outsourching dan kontrak kerja yang diadopsi UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah kecenderungan global beberapa tahun terkahir. Sistem ini menuntut fleksibilitas pasar kerja dari pelaku usaha, yang kemudian memunculkan hubungan kerja yang lebih longgar antara pengusaha dan buruh berdasarkan sistem kontrak, dengan menghilangkan hak-hak normatif buruh. Adanya sistem kontrak dan outsourching memposisikan buruh pada posisi yang lemah, karena tidak adanya kepastian kerja, kepastian upah, jaminan kesehatan, pesangon jika di-PHK, dan tunjangan-tunjangan kesejahteraan lainnya.
Sistem outsurching dan kontrak kerja didasari pada logika pasar yang menyelusup di sistem perburuhan, yang menurut Benny Hari juliawan, seorang peneliti perburuhan; buruh yang dilihat sebagai bagian dari faktor produksi di tundukkan pada ideologi pasar berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. Buruh sama dengan faktor masukan lainnya, seperti benang, kain, atau plastik. Posisi buruh nyaris setara dengan komoditas industri tersebut, padahal untuk menghasilkan seorang buruh sangat berbeda dengan proses menghasilkan barang atau bahan industri (kompas, 30 apri; 2008). Paradigma pasar kemudian menjadi ideologi sistem perburuhan nasional (UU No.13/2003) dari hasil kompromi antara pasar dan negara yang melahirkan mekanisme, baik legal maupun formal. Semua itu cenderung mencabut buruh dari hakekatnya sebagai manusia yang mempunyai kehendak, harapan dan hakekat kemanusian lainnya menjadi komoditas barang yang siap diperjual-belikan.
Perlawanan Buruh.
Tuntutan serikat-serikat buruh pada hari buruh Internasional (may day) yang sporadik bergema seantero nusantara untuk penghapusan sistem outsurching dan kontrak kerja layak disebut sebagai perjuangan mengembalikan hakekat buruh sebagai manusia dari kungkungan predasi pasar. Gerakan buruh kontemporer, terutama paska reformasi telah bergerak dari tuntutan normatif hubungan industrial (hak cuti, tunjangan dan lain-lain) menuju pada tuntutan-tuntutan normatif yang lebih komprehensif, yaitu kepastian kerja. Di sisi lain, liberalisasi ekonomi telah menjerat sistem ekonomi nasional, sehingga upaya menghilangkan perlindungan negara atas hak-hak buruh genjar dilakukan. Buruh dihadapkan langsung dengan kekuatan modal nasional dan global, sehingga posisi mereka rentan sebagai alat eksploitasi kepentingan pasar nasional dan global tersebut. Upaya gencar liberalisasi ekonomi ini kemudian vis a vis dengan tuntutan-tuntutan buruh yang menuntut perlindungan negara atas hak buruh.
Revisi UU No. 13/2003 adalah adalah medan peperangan antara dua kekuatan diatas. Kepentingan pasar yang dimotori oleh pemilik modal menginginkan kepastian investasi dengan memposisikan buruh sebagai komoditas murah dan menafikkan hak-hak buruh yang melekat pada kepastian kerja. Tentunya dengan arus pasar modal yang bergerak secara fleksibel mengakibatkan konsepsi kepastian kerja menjadi hambatan pergerakan modal yang dinamis, baik itu pada skop nasional maupun mondial.
Menposisikan buruh secara manusiawi dalam hubungan industrial adalah penghormatan terhadap hakekat kemanusian. Menggunakan konsepsi Hak Asasi Manusia merupakan alat untuk mengembalikan posisi kemanusian buruh tersebut. Hak asasi manusia dalam konteks perburuhan hari ini, nampaknya masih bergerak pada aras kemajuan hak sipil politik, seperti; kebebasan berkumpul, berserikat dan kebebasan aspirasi politik buruh. Sisi lain dari Hak Asasi Manusia yaitu pada aras hak ekonomi, sosial dan budaya dimana kadarnya yang sama dengan hak sipil politik diatas, seakan-akan bergerak poco-poco, seiring dengan masih berlakunya sistem outsourching dan kontrak kerja dalam sistem perburuhan nasional.
Peran Negara.
Hasil survey Forum Ekonomi Dunia (WEF) tahun 2006 menyatakan bahwa faktor penghambat investasi adalah birokrasi pemerintah, infra struktur yang memadai, peraturan perpajakan, korupsi, perburuhan, dan inkonsistensi kebijakan. Dari hasil laporan tersebut, ternyata masalah perburuhan bukanlah faktor dominan penghambat investasi (kompas, 30 april 2008). Genjarnya investasi dan perluasan lapangan kerja berbanding lurus dengan peningkatan kualitas buruh, sehingga mengurangi kemiskinan, pengangguran dan masalah-masalah ekonomi lainnya, hal ini di yakini oleh pemerintah yang kemudian didukung oleh sebagian besar ahli ekonomi negara ini. Namun keliru, bila opini yang mengkaitkan masalah perburuhan sebagai masalah utama dari mandeknya investasi di Indonesia. Masalah-masalah perburuhan yang diwarnai seputar tuntutan-tuntutan kepastian kerja tidak lagi relevan sebagai biang kerok dari keterpurukan ekonomi Indonesia. Tuntutan-tuntutan tersebut merupakan perjuangan kemanusian dan pemenuhan hak asasi manusia untuk melindungi buruh dari buasnya pasar yang menggerogoti sistem perburuhan nasional.
Dalam pemenuhan Hak asasi Manusia dalam konteks perburuhan hari ini, baik itu hak sipil politik dan hak ekonomi, sosial serta budaya, adalah tanggung jawab negara yang harus dipenuhi. Legitimasi negara yamg kemudian dilimpahkan kepada eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR RI) menjadi tumpuan terakhir buruh sebagai pelindung hak-hak asasi mereka. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi, tentunya bukan menjadi alasan dehumanisasi buruh untuk penghambaan kekuatan modal. Revisi UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang menghapus sistem outsourching dan kontrak kerja serta menguatkan kepastian kerja dalam hak-hak normatif buruh adalah gema tuntutan buruh yang perlu didengar oleh pemangku kekuasaan (eksekutif dan legislatif) sebagai pemegang mandat negara.
Selasa, September 16, 2008
|
Label:
Hukum Kritis,
Nurul
|
This entry was posted on Selasa, September 16, 2008
and is filed under
Hukum Kritis
,
Nurul
.
You can follow any responses to this entry through
the RSS 2.0 feed.
You can leave a response,
or trackback from your own site.
0 komentar:
Posting Komentar