Potret Buram Kejaksaan RI
Meruyaknya skandal suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan dengan artalyta Suryani alias “Ayin” seputar kasus Korupsi BLBI yang kemudian berlanjut pada; terungkapnya pembicaraan beberapa pejabat teras Gedung Bundar (baca; Untung Udji Santoso dan Kemas Yahya Rahman) yang penuh kontroversi terkait skandal tersebut, menyibak fenomena gunung es prilaku konruptif penegak hukum (baca kejaksaan RI) dalam penanganan kasus korupsi.
Lazimnya pembicaraan seputar korupsi, baik itu pada mimbar-mimbar akademis maupun dalam wacana publik, menyiratkan dengan lugas bahwa; korupsi sebagai tindakan penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian nasional. Begitu beratnya dampak korupsi bagi keberlangsungan sebuah negara, teruji seiring dengan hancurnya berbagai rezim korup dalam mempertahankan keberlangsungan Negaranya. Rezim Uni soviet adalah salah satu contoh dari hancurnya sebuah tatanan formal Negara akibat prilaku koruptif pengurus Negara.
Masifnya dampak praktek korupsi tentunya menjadi perhatian khusus bagi rezim berkuasa hari ini dan juga elemen masyarakat (rakyat), guna mencoba membangun gerakan bersama pemberantasan korupsi. Sungguh menarik pendapat William J Chambliss (UNDP, 1973) dalam melihat akar praktek korupsi, menurutnya; “korupsi sebagai bagian integral dari sebuah birokrasi akibat konflik kepentingan antara segelintir pengusaha, penegak hukum, birokrat dan politisi”. Mereka ini menurut chamblis; “sebagai sebuah jejaring yang tertutup, yang sukar dibongkar dari dalam dan juga sukar dibongkar dari luar.
Pendapat Chambliss diatas relevan dengan fenomena terbongkarnya kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan dengan Artalya Suryani alias ayin oleh KPK yang diringi dengan terbongkarnya pembicaraan Ayin dengan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata usaha Negara (Jamdatun) Untung Udji Santoso dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman beberapa saat setelah penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan yang digelar di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (11/6/08).
Oleh Saldi Isra; bahwa hal diatas berhubungan dengan praktek “jual-beli kasus Korupsi kelas kakap (baca; kasus BLBI)” di lingkungan kejaksaan (Saldi Isra, Kompas 18 juni 2008). Dari fenomena tersebut, di Satu sisi, tentunya menampar kejaksaan RI dan rezim berkuasa atas komitmennya dalam memberantas korupsi, di sisi lain, pengungkapan tersebut merupakan titik awal dalam upaya membongkar lingkaran kepentingan birokrasi Negara (baca; kejaksaan RI) dengan pengusaha dalam praktek korupsi di Negara ini.
Jejaring koruptif antara aparat penegak hukum (kejaksaan RI) dengan pelaku ekonomi koruptif mulai menampakkan wujudnya secara gamblang dan terbuka. Tindakan “extra ordinary” oleh KPK sebagai lembaga “extra ordinary” dalam pemberantasan korupsi yang dilakoni dalam kasus suap dan jual beli diatas patut didukung bersama dalam membongkar kemandekkan pemberantasan korupsi oleh aparat penegak hukum “ordinary” (kejaksaan RI). Upaya-upaya yang dilakukan KPK dalam membersihkan instansi kejaksaan RI belumlah adekuat apabila tidak diiringi dengan political will rezim berkuasa dalam memutus jejaring haram tersebut.
Telanjangnya praktek jual beli kasus di Gedung bundar bukanlah sebuah peristiwa yang tunggal. Praktek ini merupakan kawah kecil dari jejaring yang lebih kuat yang mengancam akuntabilitas instansi kejaksaan secara keseluruhan, Artinya tindakan “extra ordinary” rezim berkuasa tidak cukup hanya mengandalkan pemberantasan kasus suap dan jual beli kasus secara kasuistis, namun juga tindakan “extra ordinary” yang bernas dan berani secara komprehensif dan menyeluruh dari tubuh kejaksaan itu sendiri.
Pengawasan internal yang melekat di tubuh kejaksaan yang dibantu oleh komisi Kejaksaan memerlukan tambahan nutrisi oleh Pemerintahan SBY-JK, baik secara hukum maupun secara politik. Merombak jajaran teras di Gedung Bundar dengan menjaring jaksa-jaksa yang akuntebel adalah kebutuhan jangka pendek hari ini untuk mengembalikan gairah kepercayaan publik terhadap instansi Kejaksaan.
Dalam konteks jangka panjang, tentunya tidak cukup saja pada lingkaran Gedung bundar saja, namun juga harus menyentuh organ Kejaksaan secara keseluruhan sampai pada level terendah di daerah. Reformasi Kejaksaan RI harus disokong secara politik oleh pemerintahan SBY-JK. Reformasi Kejaksaan merupakan titik awal dalam membangun instansi Kejaksaan RI yang akuntebel dan berwibawa, adapun reformasi tersebut berupa; Pertama, Revitalisasi Pengawasan yang melekat di tubuh kejaksaan yang dibantu oleh Komisi Kejaksaan, kedua ; keterbukaan (transparancy) publik atas prilaku dan tindakan yudisial aparat kejaksaan dalam penanganan perkara terutama seputar kasus korupsi, dan ketiga ; keterbukaan informasi publik seputar instansi Kejaksaan RI yang bisa diakses masyarakat banyak, baik itu elemen pers, kampus, dan juga organisasi masyarakat sipil.
Akhir kata, dengan kenyataan hari ini, bahwa jejaring haram yang menjerat instansi penegak hukum (baca; Kejaksaan RI) dengan kepentingan pelaku ekonomi koruptif yang oleh Chambliss sebagai sebuah sistem jejaring yang kuat perlu disibak (di buka) dan dibasmi dari dalam dan dari luar secara kuat juga. Kini saatnya fenomena suap dan jual beli kasus yang melibatkan pejabat teras Gedung Bundar sebagai momentum awal bagi pemberantasan korupsi dari akar-akarnya, baik itu oleh rezim yang berkuasa, maupun rakyat Indonesia secara keseluruhan sehingga mencegah kebangkrutan Negara ini.
Senin, September 15, 2008
|
Label:
Hukum Kritis,
Nurul
|
This entry was posted on Senin, September 15, 2008
and is filed under
Hukum Kritis
,
Nurul
.
You can follow any responses to this entry through
the RSS 2.0 feed.
You can leave a response,
or trackback from your own site.
0 komentar:
Posting Komentar