Nurul Firmansyah

DALAM REFLEKSI-KONTEMPLASI

Kekeliruan PP No.2 Tahun 2008 dan Ketidakadilan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bagi Masyarakat Adat


Kehadiran PP No.2 tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang mengatur tentang kompensasi perusahaan tambang kepada negara yang beroperasi di kawasan hutan lindung melahirkan kontroversi. Perlu kiranya kita melihat kontroversi ini diawali dari Penafsiran Greenomics Indonesia yang menjelaskan perbandingan ekonomis antara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari PP no.2 tahun 2008 dengan biaya dampak ekologi (lingkungan) yang dilahirkan dari PP tersebut.
Penafsiran Greenomics menunjukkan potensi PNBP yang dapat diraup hanya sekitar 2,78 triliun per tahun, sedangkan dampak ekologinya sebesar 70 triliun per tahun. Artinya melahirkan potensi kerugian negara sebesar 67 triliun per-tahun. Tafsiran Greenomics diatas dihitung secara ekonomis dari dampak ekologi sudah membuat ketakjuban kita akan bahaya yang muncul dari pemberlakukan PP no.2 tahun 2008. Di sisi lain aktifitas tambang bukan hanya memunculkan dampak ekologi, namun juga dampak sosial akibat konflik antara masyarakat yang hidup disekitar hutan (masyarakat adat) dengan perusahaan tambang. Konflik tersebut muncul akibat tumpang tindih konsesi tambang dengan ulayat masyarakat adat.
Perampasan hak ulayat masyarakat adat atas hutan diawali dari penunjukan status hukum kawasan hutan oleh negara, yang kemudian di bagi menjadi kawasan hutan berdasarkan fungsi hutan yang diatur dalam UU no.41 tahun 1999 tentang kehutanan (UUK), yaitu; kawasan produksi, lindung dan konservasi. Ironi sekali memang, PP no.2 tahun 2008 melegitimasi perusahaan tambang melakukan aktifitas penambangan di kawasan lindung yang jelas –jelas berfungsi sebagai penyangga keberlangsungan ekologi (lingkungan) dengan tarif sangat murah bagi perusahaan tambang, yaitu; tiga juta rupiah bagi tambang terbuka horizontal di kawasan lindung dan 2,25 juta bagi tambang terbuka vertikal di kawasan yang sama, atau hanya dinilai rata-rata Rp 120-300 per meternya. Namun, kriminalisasi dan pengusiran kerap tertuju pada masyarakat adat yang hidup di kawasan lindung, seakan-akan masyarakat adat adalah perusak hutan, walaupun sebenarnya hutan tersebut berada diatas hak ulayat mereka.
Menyigi Ketidakadilan Pengelolaan Sumber Daya Hutan.

Eksploitasi tambang terbuka pada kawasan lindung menohok rasa keadilan masyarakat atas atas sumber daya alam. Kerusakan lingkungan dari eksploitasi tersebut sulit dan bahkan mustahil untuk rehabilitasi hutan (reforestasi), yang ada malah kerusakan hutan akut (deforestasi). Mengutip laporan Norman Myers (1995) tentang pengungsi kerusakan ekologi (lingkungan) terutama akibat deforestasi di dunia sebanyak 50 juta orang. Pengungsi tersebut merupakan 53 % dari jumlah pengungsi dunia yang sebagian besar dicerabut dari lingkungannya akibat kekeringan, banjir dan bencana ekologi lainnya. Untuk konteks Indonesia saja, kerusakan hutan sebesar 1,871 juta Ha per-tahun atau setara dengan enam lapangan bola per-menit (FAO (2005)). Dampak-dampak tersebut tentunya dikecap oleh masyarakat yang hidup dan berkehidupan dikawasan dan sekitar kawasan hutan, mereka itulah yang sebagian besar merupakan masyarakat adat.
Keberpihakan PP No.2 tahun 2008 kepada pemilik modal besar (perusahaan tambang nasional dan internasional) berbanding terbalik dengan posisi masyarakat adat dalam pengelolaan Sumber daya hutan. Nagari Guguk malalo, kabupaten tanah datar misalnya, dimana berbagai kebijakan nasional dan daerah memperlihatkan ketidak berpihakannya terhadap hak masyarakat adat (masyarakat nagari) atas hutan. Diawali dari penunjukkan kawasan lindung di wilayah adat (hutan ulayat) masyarakat nagari sehingga mengkaburkan status hak ulayat atas hutan masyarakat nagari tersebut. Selain itu, dengan penunjukkan kawasan tersebut mengakibatkan hilangnya akses masyarakat nagari atas hutan, baik itu kayu (yang dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam nagari), maupun hasil hutan non kayu, seperti; manau, rotan dan lain-lain (Nurul Firmansyah, dkk, Dinamika hutan nagari dalam jerat-jerat hukum negara, HuMa dan Qbar, Jakarta, 2007).
Sumber daya hutan oleh masyarakat nagari Guguk malalo tidaklah muluk-muluk di manfaatkan untuk eksploitasi ekonomi skala besar seperti pertambangan misalnya, namun yang diinginkan hanya penghormatan negera atas hak ulayat mereka. Hak ulayat oleh mereka bukan hanya unsich faktor produksi, namun juga identitas masyarakat nagari Guguk malalo, sehingga keberadaan ulayat sebagai sako sepaket dengan gelar adat sebagai pusako.
Dari gambaran di atas, asumsi keberpihakan pemerintah terhadap kelompok ekonomi kuat terbukti selaras dengan mandeknya pembahasan PP hutan adat yang berguna bagi landasan hukum hak ulayat masyarakat adat atas hutan yang notabene dimandatkan oleh UU no.41 tahun 1999 tentang kehutanan (UUK), namun nyatanya; PP No.2 tahun 2008 yang lahir untuk mengakomodasi kepentingan eksploitasi pertambangan atas hutan. Walaupun jelas-jelas UUK tidak dimandatkan PP ini lahir. Selain itu, PP No.2 tahun 2008 juga berpotensi memberikan dampak kerugiaan ekologi serta ketidakadilan bagi pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia terutama bagi masyarakat adat (masyarakat nagari).(Nurul Firmansyah dari Padang Ekspress, Jumat, 18 April 2008)

0 komentar:

    Mega Biodeversity On Malalo's Forest

    Mega Biodeversity On Malalo's Forest
    Raflesia Arnoldi

    Alam dan Manusia " Alam Takambang Jadi Guru"

    Alam dan Manusia " Alam Takambang Jadi Guru"
    Hutan Kami... Hutan Adat ....

    LAM & PK Fakultas Hukum Universitas Andalas

    LAM & PK Fakultas Hukum Universitas Andalas
    Dapur Gerakan Hukum Progresif