Nurul Firmansyah

DALAM REFLEKSI-KONTEMPLASI

Politik Pembangunan Agraria

Oleh Gunawan Wiradi

Pendahuluan

Sebelum masuk ke dalam pembahasan masalah politik Pembangunan dan Pembaruan Agraria, ada beberapa hal yang penting untuk dikemukakan, yang barangkali berguna sebagai pembuka pikiran-pikiran kita.

Kita ini sering mengklaim sebagai orang yang peduli terhadap berbagai ketimpangan dan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat kita, pedulu terhadap bagian masyarakat yang “terpinggirkan”, peduli untuk membela, membantu, dan mendampingi mereka yang lemah, lemah dalam arti ekonomi, sosial maupun politik. Kepedulian itu tidak hanya sebatas wacana, tetapi seringkali juga diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan nyata.

Mereka yang merasa mempunyai kepedulian seperti itu (atau jika boleh disebut sebagai “aktivis kemasyarakatan”) sesungguhnyalah mengemban misi yang tidak ringan. Kesadaran bahwa misinya berat, tidak berarti harus bersikap pesimis. Justru sebaliknya, seorang aktivis kemasyarakatan menghadapi tantangan itu dia justru harus menebalkan semangat baja, dan selalu meneguhkan kepastian sikap sehingga tidak tergiur oleh godaan apapun.

Karena yang digarap adalah masyarakat, dan dia sendiri adalah bagian dari masyarakat, maka seorang aktivis kemasyarakatan perlu menyadari bahwa yang dia garap adalah “jaringan hubungan antarmanusia” yang dia sendiri merupakan salah satu unsur darinya. Dalam konteks inilah seorang aktivis dituntut untuk membekali diri dengan kemampuan tertentu. Dua butir berikut barangkali dapat dijadikan modal awal bagi upaya meningkatkan kemampuan-kemampuan lainnya.

Imajinasi Sosiologis

Seorang aktivis perlu untuk mempunyai kemampuan ber-“imajinasi sosiologis” (IS). Apa yang dimaksud? Di antara sejumlah aspek IS, empat yang terpenting untuk dimiliki adalah: (a) kemampuan untuk menghubungkan secara timbal-balik antara gejala-gejala di tingkat mikro (lokal) dengan tingkat makro (nasional, bahkan dunia); (b) kemampuan untuk meletakkan atau mendudukkan gejala yang diamatinya (atau yang dialaminya) dalam konteks yang mewadahinya, baik konteks tempat maupun, terutama konteks waktu (sejarah); (c) kemampuan untuk secara lincah dan timbal-balik bergeser-geser dari perspektif yang satu ke perspektif yang lain, dari konteks yang satu ke konteks yang lain; dan (d) kemampuan untuk melihat hubungan secara timbal balik antara persoalan-persoalan pribadi atau keluarga, dengan isu-isu umum (publik)

Di dalam membangun kemampuan IS itu, para pakar dunia pada umumnya secara konsisten selalu mempertanyakan tiga hal, yaitu:

(a) bagaimana struktur masyarakat ini, apa saja komponen utamanya? Bagaimana hubungan antara komponen-komponen tersebut? Ciri-ciri utama apa saja yang membedakan masyarakat (kita) ini dengan struktur masyarakat lainnya? Ciri apa yang membuat masyarakat (kita) ini berlanjut dan/atau berubah, dan seterusnya?

(b) Perjalanan sejarah dapat dibagi ke dalam periode-perioder tertentu. Ciri apa yang membuat masyarakat (kita) ini berubah pada periode tertentu? Bagaimana “gambar” masyarakat pada periode yang satu berbeda dari periode sebelum dan/atau sesudahnya, dan seterusnya?

(c) Keragaman manusia (laki-laki dan perempuan) yang bagaimana yang menonjol sekarang ini? Bagaimana kira-kira yang dominan di masa mendatang? “Sifat manusia” macam apa yang mengemuka dalam watak dan pergaulan masyarakat dalam periode tertentu? Bagaimana hal itu terjadi? (Mengapa terbebaskan, mengapa tertindas, mengapa tercerahkan, mengapa terbodohkan), dan seterusnya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak harus terjawab walaupun tentu kita berusaha untuk mencari jawaban. Justru kita perlu mengembangkan pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih lanjut lagi. Kemampuan mengembangkan pertanyaan semacam itulah awal dari kemampuan IS (Cf. C. Wright Mills, 1970:9—32).

Peran Aktivis

Di dalam berbagai latihan dan kursus yang diselenggarakan oleh LSM/Ornop, barangkali sudah terlalu sering dibahas, peran apa yang sebenarnya harus dimainkan oleh para aktivis. Karena itu, makalah ini tidak berisi ulangan mengenai apa yang sudah pernah diuraikan dalam latihan-latihan itu. Namun menurut pendapat saya, ada dua hal yang masih perlu ditekankan (lepas dari apakah hal ini pernah disinggung dalam berbagai latihan di kalangan LSM/Ornop, atau belum). Pertama, sesuai dengan pengembangan kemampuan IS tersebut di atas, seharusnya para aktivis selalu bertanya sendiri di dalam hati: “Peran apakah yang sebaiknya saya ambil, dalam konteks masyarakat tempat saya berkecimpung? Kedua, kegiatan para aktivis, terutama dalam era reformasi dan khusus lagi dalam masa krisis ini, mirip atau bahkan pada hakikatnya sama dengan kegiatan para pejuang (sipil), pendiri republik, dalam gerakan mencapai Indonesia merdeka. Mereka itu hakikatnya adalah “aktivis”. Hanya saja saat itu mereka lebih populer dikenal dengan istilah “kaum pergerakan”. Salah satu peran yang dianggap penting adalah menjadi “guru”. Gurunya masyarakat. Tapi jangan salah paham! Mereka sangat sadar, bahwa yang dimaksud bukanlah guru yang sekadar menularkan pengetahuan, bukan “menggurui” rakyat, bukan “semau gue”, melainkan suatu proses pencarahan dengan cara-cara kritis dan partisipatif. Dengan istilah sekarang, sama dengan proses empowerment (pemberdayaan). Itulah sebabnya Bung Karno pada tahun 1940 menulis tentang “Menjadi Guru di masa Kebangunan”. Dia berkata: “Men kan niet onderwijzen wat men will. Men kan niet onderwijzen wat men weet. Men kan alleen onderwijzen wat men is!” Arti harfiahnya, orang tidak dapat mendidik orang lain “semau gue”; orang tidak dapat mendidik orang lain mengenai apa yang dia ketahui; orang hanya dapat mendidik orang lain mengenai apa sebenarnya dia sendiri itu? Maknanya adalah, secara ringkas, “partisipasi”, dan…. keteladanan untuk bersikap konsisten.

Jadi, menjadi aktivis kemasyarakat di era reformasi, hakikatnya adalah menjadi “guru” di masa kebangunan (bukan pembangunan).

Politik Pembangunan

Istilah dan Pengertiannya

Semula,istilah “pembangunan” sifatnya memang netral. Para pendiri republik, para tokoh tua sebelum Orde Baru, tokoh-tokoh pergerakan pun telah menggunakan istilah tersebut. Secara umum, yang dimaksud adalah suatu kegiatan untuk membangun, mendirikan, membentuk, menciptakan segala sesuatu (baik berupa bangunan-bangunan fisik/material, seperti jalan-jalan, jembatan, gedung, dan sebagainya, maupun yang sifatnya non-material, seperti “character building”, moral-spiritual, kelembagaan, sistem politik, sistem ekonomi, dan sebagainya), dengan tujuan agar kondisi masyarakat secara keseluruhan menjadi lebih baik.

Atas dasar itu “kaum pergerakan” menggunakan istilah “pembangunan” dengan kondisi tekanan pada tiga hal, yaitu:

(a) membangkitkan semangat kemandirian, membangun jiwa merdeka, mengikis mentalitasnya bangsa terjajah;

(b) membangun susunan masyarakat baru yang bebas dari penindasan, yang adil dan demokratis;

(c) membangun sarana-sarana fisik bagi kesejahteraan rakyat. (Istilah “pembangunan” berbeda dari “kebangunan” Karena yang dimaksud dengan kebangunan adalah “kebangkitan”).

Namun, semenjak Orde Baru, makna tersebut di atas diberi nuansa lain, bahkan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang dicanangkan oleh para pendiri bangsa ini. Semboyan Orde Baru” “Politik No, Ekonomi Yes” menuntun kepada pengertian bahwa tekanan pembangunan adalah pembangunan ekonomi saja, yang notabene terbukti tifak menguntungkan rakyat. Para intelektual pun tidak sadar (atau sengaja tidak menyadarkan diri) bahwa semboyan tersebut di atas itu sendiri adalah “politik”, yaitu politik Orde Baru untuk membunuh kesadaran politik rakyat.

Sebenarnya, tidak ada padanan yang tepat dalam bahasa Inggris bagi istilah “pembangunan”. Kata development artinya “proses perkembangan”, atau “proses pengembangan” (lawan dari envelopment). Membangun dalam arti mendirikan atau membentuk, padanannya dalam bahasa Inggris adalah to build atau to construct (karena itu ada istilah character building,pembangunan watak). Jadi, kata pembangunan sebenarnya mempunyai makna yang lebih luas dari kata development. Di Barat, sesudah Perang Dunia Kedua, ketika ada program untuk membangun negara-negara berkembang (bekas jajahan yang kemudian merdeka), istilah yang dipakai adalah development. Ini kemudian menimbulkan perdebatan ilmiah, antara lain dalam konferensi ilmiah di Minnesota, Amerika Seikatr tahun 1955. Salah satu pandangan yang mencuat waktu itu adalah bahwa istilah development yang penggunaannya menjadi sangat populer sesudah Perang Dunia Kedua diartikan sebagai proyeksi, sebagai upaya yang diprogramkan untuk “mengembangkan” negara-negara Dunia Ketiga yang titik beratnya adalah “pengembangan ekonomi”. Tingkat kemajuan dari proses pengembangan itu dikukur dengan tingkat “pertumbuhan ekonomi”. Dengan demikian, semenjak Orde Baru, di Indonesia kata “pembangunan” digunakan sebagai terjemahan dari kata development dengan pengertian seperti itu.

Latar Belakang Sejarah

Atlantic Charter (1941)

Dalam Perang Dunia Kedua, dengan siasat serangan cepat dan mendadak (blitzkrieg), dalam waktu singkat Jerman telah menguasai hampir seluruh Eropa, kecuali Inggris dan Rusia. Waktu itu, antara Jerman (Hitler) dan Rusia (Stalin) memang telah ada perjanjian tidak saling menyerang. Inggris, karena letaknya sebagai kepulauan di luar daratan Eropa, belum berhasil diduduki. Tetapi pesawat-pesawat udara Jerman, dan roket-roketnya sudah mulai mengancam Inffris. Inggris lalu meminta bantuan Amerika, walaupun Amerika sendiri sedang sibuk menghadapi Jepang di Asia. Maka berlangsunglah perundingan antara Presiden Roosevelt dengan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pada bulan Agustus 1941, dan lahirlah apa yang dikenal sebagai Piagam Atlantik (Atlantic Charter-AC) berisi 8 pasal. Meskipun isinya hanya merupakan kesepakatan antara duna negara, tetapi karena dianggap bagus maka jiwa dan semangatnya akhirnya juga diadopsi dalam Piagam PBB. Esensi dari AC adalah (menurut saya):

(a) PD-II bukan “perang wilayah”. Artinya, jika sekutu menang, maka wilayah yang diduduki akan dikembalikan kepada batas-batas semula (Pasal-1 AC).

(b) Jika sekutu menang, maka wilayah-wilayah yang semula merupakan koloni (jajahan) dari negara-negara Eropa harus dibebaskan, yaitu rakyat di situ harus diberi hak menentukan nasibnya sendiri (self determination), Apakah akan tetap berada di bawah bejas penjajahnya, atau merdeka tapi masih dalam ikatan “persemakmuran” dengan bekas penjajahnya, ataukah merdeka penuh.

Dalam tahap-tahap akhir PD-II, ketika dengan detengah putus asa Jerman tidak juga berhasil untuk menyerbu Inggris, Hitler berganti haluan, dan melanggar perjanjiannya dengan Stalin yaitu menyerbu Rusia. Karena itu kemudian Rusia bergabung dengan sekutu. Ketika kemudian sekutu menang, tentu saja ada wilayah-wilayah yang diduduki oleh tentara Uni Soviet Rusia, dan lahirlah negara-negara sosialis di Eropa Timur. Sementara itu, sesudah PD-II itu selesai, bekas-bekas koloni Eropa di Asia, Afrika dan Amerika Latin satu persatu menjadi negara merdeka yang kemudian dikenal sebagai “Dunia Ketiga”.

Sementara itu, negara-negara Eropa yang perekonomiannya berantakan akibat perang, lalu dibangun dengan bantuan Amerika melalui “Marshall Plan”. Ternyata hasilnya bagus. Dalam waktu singkat—kurang lebih lihat tahun—perekonomian Eropa bangkit kembali. Karena itu, dalam rangka perang dingin, Blok Barat berusaha agar negara-negara bari di Dunia Ketiga juga dibangun dengan pola yang serupa. Namun ternyata hasilnya tidak sebagus yang terjadi di Eropa. Maka lahirlah berbagai teori tentang “pembangunan” (development).

Arti penting dari AC sebagai latar belakang sejarah, menurut pendapat saya adalah:

(a) Sekalipun di atas kertas tercermin suatu gagasan “luhur” (yaitu pembebasan bangsa-bangsa terjajah) tetapi agaknya, Amerika mempunyai strategi jangka panjang dalam rangka persaingannya dengan negara-negara Eropa pada umumnya. Dengan bebasnya bekas-bekas koloni itu, Amerika dapat menanamkan pengaruhnya melalui bantuan ekonomi di bekas-bekas koloni itu.

(b) Namun, di lain pihak bekas wilayah pendudukan tentara Uni-Soviet di Eropa Timur itu, meskipun merdeka, menjadi negara-negara sosialis di bawah pengaruh Uni-Soviet Rusia (“negara Dunia Kedua”). Hal ini, ditambah dengan kenyataan bahwa negara-negara Eropa Barat yang non-sosialis masih baru saja sembuh dari luka-luka PD-II, telah mendorong Amerika untuk mencurahkan bantuan ekonomi untuk menanamkan pengaruhnya agar negara-negara baru tersebut tidak jatuh ke dalam pengaruh Uni-Soviet. Pertarungan pengaruh inilah yang dikenal sebagai “Perang Dingin”.

(c) Penanaman pengaruh itu bukan hanya penting bagi kepentingan politik tapi juga kepentingan ekonomi. Barat berkehendak agar dunia ini menjadi satu sistem ekonomi, yaitu sistem pasar bebas yang kapitalistik. Inilah sebenarnya arti “globalisasi”.

Kebijakan Pembangunan di Indonesia sebelum Orde Baru

Sebelum Indonesia merdeka sejarah Indonesia dapat dibahwa menjadi empat periode, yaitu:

(a) Agustus 1945—Desember 1949: Masa revolusi fisik (melawan Jepang; melawan tentara Inggris yang mewakili sekutu; kemudian melawan Belanda);

(b) Januari 1950—Agustus 1950: Masa singkat pemerintahan negara dalam bentuk federal: Republik Indonesia Serikat (RIS), dalam payung Uni Indonesia-Belanda;

(c) 1950—Juli 1959: Masa Demokrasi Liberal dalam Negara Kesatuan RI di bawah UUDS-1950 (sistem parlementer; Presiden hanya sebagai simbol, dan karenanya can do no wrong); dan (d) Juli 1959—1965: Masa Demokrasi Terpinpin di bawah UUD-1945.

Dalam tiga periode yang disebut pertama—kurang lebih lima belas tahun—kondisi Indonesia masih sangat tidak stabil. Bahkan dalam periode ketiga (yang relatif lebih stabil dari masa sebelumnya) pun masih terjadi berbagai gejolak sebagai ekses-ekses revolusi. Ada pemberontakkan APRA, ada RMS, ada pemberontakkan Andi Abdul Aziz, ada pemberontakkan Batalion-426, ada DI/TII, dan kemudian perang saudara, PRRI dan Permesta. Dalam kondisi yang demikian, tentu saja pembangunan dalam bidang ekonomi kurang memperoleh fokus, karena yang menjadi pusat perhatian utama adalah pembangunan sistem politik dan solidaritas nasional sebagai bangsa (nation and character building).

Walaupun demikian, dari sejak awal para pendiri Republik Indonesia sadar bahwa bagaimanapun juga akhirnya pembangunan ekonomi harus diperhatikan. Tapi, sekali lagi, pembangunan diberi makna seperti telah diuraikan di depan (butir II-A-2). Artinya, yang hendak dibangun adalah sistem ekonomi yang demokratis (istilah Bung Hatta ”demokrasi ekonomi”). Kesadaran ini disertai pula dengan dua kesadaran lainnya, yaitu: (a) dalam konteks “Perang Dingin”, Indonesia harus membebaskan diri dari tarikan-tarikan dari kedua kubu (non-alignment); dan (b) latar belakang sejarah masyarakat Indonesia adalah feodal-agraris.

Dengan berbagai kesadaran itulah, dari sejak awal para pendiri negara ini berpandangan bahwa pembangunan itu harus dilandasi oleh suatu penataan ulang strukrur agraria lebih dulu, karena masalah agraria itu melandasi atau mewadahi hampir semua aspek kehidupan. Itulah sebabnya, ketika RI bahkan belum berumur tiga tahun (dan masih dalam masa revolusi fisik), pemerintah sudah membentuk Panitia Agraria (1948) yang bertugas menjajaki dan mempersiapkan perumusan undang-undang agaria yang baru, untuk menggantikan Undang-Undang Agraria kolonial 1870. Melalui pergantian kepanitiaan sebanyak lima kali beriringan dengan dinamika politik saat itu, maka pada tahun 1960 akhirnya lahirlah Undang-Undang No. 5/1960 yang dikenal sebagai UUPA.

Dalam masa Demokrasi Terpimpin sejak Dekrit 5 Juli 1959 (kembali ke UUD-1945), kondisi politik relatif stabil. Mulailah dicanangkan suatu program pembangunan secara terencana delapan tahunan, yang waktu itu dikenal dengan istilah “Poembangunan Nasional Semesta Bersama”, dan dibentuklah lembaga pusat yang bertugas menangani hal ini, yaitu Dewan Perancang Nasional (DEPERNAS, yang dikemudian hari sejak lahirnya Orde Baru diubah menjadi BAPPENAS).

Sekalipun oleh sementara kalangan masa Demokrasi Terpimpin itu dianggap sebagai masa pemerintahan otoriter, namun visi, misi dan arah kebijakannya jelas, berciri populistik! Berusaha untuk tidak tergantung dari hutang luar negeri, tidak tergantung dari modal asing. Slogan yang terkenal saat itu adalah “berdaulat dalam politik”, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”. Di samping itu, di bidang politik, saat itu masih terdapat sepuluh partai politik yang berwibawa, sehingga presiden tidak dapat begitu saja “semau gue”! Bahwa peran presiden saat itu menjadi sangat dominan, hal itu semata-mata karena kharisma pribadi Bung Karno. Demikian juga, meksipun saat itu korupsi juga ada, tetapi tidak sedasyat korupsi semasa Orde Baru.

Dalam konteks Perang Dingin, upaya negara-negara Dunia Ketiga yang ingin netral dengan melahirkan “Gerakan Non-Blok” oleh Barat dianggap sebagai “halangan” bagi kepentingan mereka. Operasi-operasi terselubung dilakukan untuk menggulingkan pemerintahan-pemerintahan di negara-negara yang bersikap non-blok dengan tuduhan “cenderung ke kiri”. Termasuk Indonesia. Tergulinglah pemerintahan Soekarno.

Kebijakan Pembangunan selama Orde Baru

Kebijakan umum Orde Baru bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan pemerintahan sebelumnya. Disengaja atau tidak, disadari atau tidak, Indonesia sedikit demi sedikit semakin tidak “non-blok” lagi, tapi menjadi “nge-blok” ke Barat.

Pembaruan agraria melalui UUPA-1960 dan UU No. 56 tahun 1960, yang sedianya akan dijadikan landasan pembangunan, tidak digubris lagi. Kedua UU tersebut dimasukkan kotak—untuk selama kurang lebih 11 tahun sebelum akhirnya dikukuhkan kembali tahun 1978. Indonesia mulai mengambil kebijakan politik yang bersifat bukan saja “pintu terbuka” tetapi bahkan “rumah terbuka”. (Tidak hanya tiap departemen, bahkan hambir tiap ditjen ada konsultan dari mancanagara, dari berbagai bangsa). Pembangunan jangka panjang 25 tahun dengan tahapan lima tahunan (Repelita) dirancang dengan mengadopsi paradigma “modernisasi”.

Dalam konteks global, “modernisasi” mencakup empat proses: (a) penanaman modal untuk meningkatkan produksi dan produktivitas; (b) alih teknologi; (c) munculnya organisasi-organisasi berskala besar baik di bidang politik maupun ekonomi; dan (d) proses urbanisasi (Cf. Shepherd, 1998:16—17). Dalam praktiknya, ciri yang segera menonjol adalah bahwa “pertumbuhan ekonomi” adalah segala-galanya.

Berapapun harganya, semua dana dan daya dikerahkan untuk itu, tidak peduli hasil pertumbuhan itu untuk siapa. Salah satu “harga” yang harus dibayar (oleh Barat) adalah bahwa pemerintahan yang otoriter pun harus ditolerir demi stabilitas, karena stabilitas merupakan sarana utama bagi pertumbuhan ekonomi, dan bagi penanaman modal. Tapi toleransi itu sebatas sejauh pemerintah negera yang bersangkutan “tunduk” kepada kepentingan penanam modal. Dalam praktik, teknologi yang dialihkan dari “negara maju” ke negara-negara “terbelakang”, ternyata adalah teknologi “bekas” (lihat juga Dube, 1988:32—34). Dengan demikian, negara-negara Dunia Ketiga menjadi tergantung dari NIM (Negara Industri Maju), paling tidak, dalam dua hal yaitu modal asing dan teknologi.

Disengaja atau tidak, Orde Baru telah membawa Indonesia terjebak ke dalam jerat hutang yang sangat mengerikan, karena terhanyut oleh “arus globalisasi”, terutama semenjak runtuhnya Uni-Soviet dan negara-negara sosialis lainnya. Namun sebenarnya, bencana ini sudah dapat diduga sejak awal kelahiran Orde Baru, yaitu ketika lahir Undang-Undang Penanaman Modal Asing, 1967. (Sebenarnya kebijakan mengundang modal asing adalah sesuatu yang sangat ditentang oleh sebagian besar para pendiri republik). Bersama-sama dengan lahirnya UU Pokok Kehutanan dan UU Pokok Pertambangan, tahun 1967 dengan PMA-nya itu merupakan titik awal dari kebijakan pembangunan yang bersifat ekstraktif, menguras kekayaan sumber alam, semata-mata demi “pertumbuhan ekonomi”.

Singkatnya, ciri utama kebijakan pembangunan selama Orde Baru adalah: (a) menggantungkan diri kepada modal asing, hutang luar negeri, dan bantuan asing; (b) bertumpu kepada yang kuat, yang besar (dengan mitos “tetesan ke bawah”); (c) sentralistik dan represif, atas dasar alasan stabilitas; dan (d) masalah agraria disempitkan maknanya menjadi sekadar masalah tanah, dan masalah tanah dikelola untuk memfasilitasi kepentingan modal.

Dengan demikian, pembaruan agraria yang bersiat kerakyatan dianggap tidak relevan. Yang penting produksi pangan meningkat (melalui Revolusi Hijau), hutan bisa dibabat dan dijual kayunya, tambang bisa digali, laut bisa dikuras, dan seterusnya, semuanya demi pertumbuhan ekonomi.

Sejauh mana kebijakan nasional tersebut di atas berdampak terhadap kondisi daerah, atau bagaimana hubunga antara kebijakan makro nasional itu dengan apa yang terjadi di daerah (seperti di Flores ini), tentu memerlukan analisis tersendiri, dan barangkali para aktivis di daerah lebih mampu untuk melakukan hal ini.

Reforma Agraria (RA)

Masalah “reforma agraria” dan “pembangunan” sebenarnya merupakan satu paket permasalahan, apalagi bagi negara-negar yang pada dasarnya bersifat “agraris” seperti Indonesia ini. Artinya, RA itu seharusnya menjadi landasan dasar bagi keseluruhan program pembangunan.

Memang, inti dari RA adalah “penataan kembali” susunan politik pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah serta sumber-sumber agraria lainnya (hutan, tambang, air dan lain-lain) agar tercipta suatu susunan masyarakat yang adil terutama bagi rakyat banyak”. Inilah yan dahulu disebut dengan istilah “landreform”. (Memang intinya adalah “land”, karena tanah itu memang mewadahi semuanya). Tetapi, “land reform”itu perlu disertai dengan program-program pendukung atau infrastruktur yang akan menunjang keberlanjutannya. Jadi, “landreform” plus berbagai penunjangnya itulah yang sekarang disebut dengan istilah Reforma Agraria (bahasa Spanyol). Inilah yang kita maksud dengan “pembaruan agraria”.

Dalam hubungan ini, terutama jika dikaitkan dengan masalah Otonomi Daerah (Otoda), agara RA dapet berlangsung secara demokratis maka seharusnya rakyat setempat sendiri yang menilai kondisi setempat, dan kmudian merencanakan dan melaksanakan pembaruannya. Namun harus diakui, kemampuan rakyat setempat itu mempunyai keterbatasan-keterbatasan. Dengan demikian, bagaimanapun juga peran pusat tidak dapat diabaikan begitu saja. Untuk semuanya ini, diperlukan proses penyadaran, tapi penyadaran yang bersifat partisipatif, sekaligus kritis. Inilah salah satu tugas aktivis yang peduli terhadap nasib rakyat kecil.

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat agar mampu menangani masalah pembaruan agraria, barangkali beberapa butir berikut ini ada gunanya untuk diperhatikan:

(1) Dalam proses penyadaran yang partisipatif ddan kritis itu, perlu pemahaman mengenai bagaimana persepsi masyarakat setempat tentang apa yang dimaksud dengan “keadilan”.

(2) Apakah susunan (struktur) pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah dan sumber-sumber agraria yang ada itu dianggap sudah adil ataukah tidak. Kalau ya, mengapa, kalau tidak, juga apa sebabnya.

(3) Agar dapat membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, masyarakat setempat sendiri perlu melakukan semacam “registrasi” (sekadar pemetaan) mengenai pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Melalui “peta” itulah masyarakat sendiri kemudian menilai, menurut persepsinya, apakah struktur yang ada itu “adil” ataukah tidak.

Seandainya dianggap tidak adil, dan sudah diketahiu akar sebabnya, pembaruan seperti aa yang dikehendaki masyarakat setempat.

Semuanya itu nampaknya sederhana, tapi sebenarnya bukan hal yang mudah untuk melakukannya. “masyarakat” itu terdiri dari bermacam unsur dan lapisan, yang masing-masing tentu mempunyai kepentingan.

Karena itu semua, maka bagaimanapun juga diperlukan pengetahuan atau pemahaman mengenai pembauran agraria dalam pengertian yang bersifat umum dunia. Dengan bekal semuanya itu, masyarakat sendiri kemudian menentukan apa yang harus dilakukan, secara bertanggungjawab.

Penutup

Demikianlah yang dapat saya paparkan dalam kesempatan ini. Hal-hal dasar yang seharusnya memang perlu diketahui, tapi tak sempat untuk dituliskan dalam makalah ini, dapat dibaca dalam tulisan-tulisan GWR yang lain. (Misalnya soal pengertian istilah “agraria”, istilah “reforma agraria”, istilah “reformasi”, istilah “sumberdaya alam”, dan sebagainya.

Bahan Bacaan

Chodak, Simon, 1973. Social Development, New York: Oxford University Press.

Dube, S.C., 1988. Modernization and Development the Search for alternative Paradigm, London and New Jersey: the United Nations University Zed Books Ltd.

Encyclopedia Americana, 1980, Vol 2, hal. 618.

Gunawan Wiradi, 200. Reforma Agraria: Perjalanan yang belum Berakhir, Yogyakarta: Insist, KPA dan Pustaka Pelajar.

Mills, C. Wright, 1977. The Sociological Imagination, Hardmondsworth, Middlesex, England: Pelican Books, Penguin Books, Ltd.

Shepherd, A., 1998. Sustainable Rural Development, London: Mac Millan press Ltd.

Soekarno, 1941 (?), “Menjadi Guru di masa Kebagunan”,dalam Di bawah Bendera Revolusi (1963), Jilid Pertama, hal. 611—627.

0 komentar:

    Mega Biodeversity On Malalo's Forest

    Mega Biodeversity On Malalo's Forest
    Raflesia Arnoldi

    Alam dan Manusia " Alam Takambang Jadi Guru"

    Alam dan Manusia " Alam Takambang Jadi Guru"
    Hutan Kami... Hutan Adat ....

    LAM & PK Fakultas Hukum Universitas Andalas

    LAM & PK Fakultas Hukum Universitas Andalas
    Dapur Gerakan Hukum Progresif