Nurul Firmansyah

DALAM REFLEKSI-KONTEMPLASI

Mengapa Diperlukan Reforma Agraria

Oleh Gunawan Wiradi

Pengantar

Ini pengantar dari “pengantar”. Sebab, tulisan pendek ini secara keseluruhan memang hanya sekadar pengantar diskusi. Masalah reforma agraria (yang intinya adalah land reform) sudah terlalu sering saya kemukakan, baik melalui tulisan-tulisan yang sudah diterbitkan maupun melalui makalah-makalah yang disampaikan dalam berbagai kesempatan. Hampir dua tahun yang lalu, di LP3ES (PSDAL) saya menyampaikan masalah agraria. Dengan demikian, barangkali akan membosankan jika harus mengulang-ulang hal yang sama walaupun itu penting. Oleh sebab itu, tulisan ini hanya mengandung dua bagian saja, yaitu: pertama, menguraikan secara amat ringkas konsep Reforma Agraria (RA) dan menjelaskan alasan-alasan mengapa RA diperlukan. Kedua, mencoba menjawab pertanyaan pertama.

Mengapa Reforma Agraria

Dalam sejarahnya yang amat panjang, yaitu lebih dari 2500 tahun, gagasan tentang ”pembaruan agraria” tentu saja mengilhami perkembangan, baik dalam konsptualisasinya maupun modal dan programnya. Namun, intinya tetap sama, yaitu ”penataan-ulang struktur pemilikan dan penguasaan sumber agraria demi kesejahteraan masyarakat, khususnya rakyat kecil, petani dan buruh tani” (Cf. Russel King, 1977). Inilah yang biasa disebut land reform.

Sampai akhir abad XIX, kebijakan land reform pada dasarnya lebih merupakan kebijakan sosial-politik daripada kebijakan ekonomi, karena yang dipentingkan adalah keadilan dan pemerataan. Namun kemudian, aspek ekonomi menjadi pertimbangan penting agar hasil land reform itu sustainable. Demikianlah pada tahun 1880, Bulgaria melakukan land reform yang disertai dengan program-program penunjang di bidang ekonomi (King, 1977: ibid). Inilah yang kemudian disebut dengan istilah Agrarian Reform.

Sesudah Perang Dunia Kedua, gagasan tentang Agrarian Reform ini juga menjadi program berbagai negara, bahkan juiga dipromosikan oleh PBB. Namun, istilah Agrarian Reform itu kemudian diperdebatkan, apakah jika maknanya demikian itu tidak berarti sama dengan Agricultural Development? Penggunaan istilah land reform dan agrarian reform lalu menjadi rancu, dan orang lalu lebih banyak menggunakan istilah Adricultural Development yang memang turut dipromosikan oleh mereka yang pada dasarnya anti-reform, sehingga lama-lama, tanpa disadari, gagasan land reform ditinggalkan. Akibatnya, selama 20 tahun terakhir ini, di berbagai negara berkembang timbul gejolak-gejolak sosial karena terhadinya keridakadilan agraria.

Untuk menghindari kerancuan istilah, maka dalam wacana tingkat dunia, sebagian ilmuwan lalu menggunakan istilah dalam bahasa Spanyol, Reforma Agraria. Makna agraria bukanlah hanya sebatas tanah, apalagi hanya sebatas tanah pertanian.

Mengapa perlu Reforma Agraria?

Mengapa diperlukan Reforma Agraria? Ada dua tujuan utama, yaitu: (a) mengusahakan terjadinya transformasi sosial, dan (b) menangani konflik sosial, serta mengurangi peluang konflik di masa depan.

Dalam proses Reforma Agraria, memang akan terjadi juga konflik, dan ini merupakan social cost yang harus dibayar. Tetapi, menurut seorang pakar, biaya sosial ini akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya sosial jika tidak dilakukan Reforma Agraria (lihat Eric Eckholm, 1979).

Kondisi Keagrariaan Kita Dewasa ini dan 2—3 Tahun Mendatang

Untuk dapat mengantisipasi apa yang akan terjadio di masa datang, diperlukan data yang memadai dan analisis yang cermat. Ini bukan hal yang mudah! Apalagi jika dilihat bahwa ketimpangan yang ada sekarang ini sedang diperumit oleh proses ”tarik-ulur” masalah otonomi daerah, oleh kekuatan-kekuatan neo-liberal melalui slogan ”globalisasi”.

Suatu gejala yang sudah sangat dikenal oleh kita semua adalah bahwa Orde baru telah mewariskan ribuan kasus konflik agraria. Berbagai kasus tersebut tidak diselesaikan secara konfrehensif dan integral, sehingga ketika kemudian Orde Baru ”lengser”, maka kasus-kasus konflik itu meledak melalui ”panggung” lain (konflik antaretnik, antaragama, antarkelompok dan lain-lain), walaupun ”inti ceritanya” sebenarnya sama, yaitu ”agraria”.

Jika didasarkan atas data statistik makro, dan dibandingkan antara hasil sensus pertanian tahun 1963, 1973, 1983, dan 1993, ternyata tringkat ketimpangan itu semakin tinggi, terutama dalam hal distribusi penguasaan tanah pertanian rakyat (diukur dengan Index Gini, berturut-turut keempat sensus itu angkanya adalah o,55; 0,52; 0,57; dan 0,59). Dari 1963 ke 1973, ketimpangan itu nampak menurun, disebabkan oleh pelaksanaan land reform di masa sebelum Orde Baru.

Lebih dari 60% dari total produksi pangan nasional Indonesia (khususnya beras), dihasilkan di pulau Jawa, suatu pulau yang luasnya hanya 7% dari luasan seluruh Indonesia. Tetapi, selama Orde Baru, sampai dengan 1995 saja, tercatat sekitar 22 ribu hektar per tahun tahan pertanian di Jawa beralih fungsi. Padahal, secara agronomis, pulau Jawa-lah yang tanahknya paling subur bagi produksi pangan. Barangkali itulah salah satu sebab mengapa kita akhirnya terpaksa mengimpor beras.

Barangkali, bagaimanapun juga, dalam pembangunan itu, alih dungsi lahan pertanian memang tidak bisa dielakkan. Namun, masalahnya adlah alih fungsi itu perlu diatur secara propoprsional dan terencana dengan mempertimbangkan keadilan dalam hal akses rakyat tani terhadap tanah garapannya. Masalah yang lebih krusial lagi adalah kenyataan bahwa alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian itu ternyata sebagian besar justru menjadi objek spekulasi. Artinya, tanah-tanah rakyat yang sudah ”dibebaskan” (digusur) itu ternyata tidak dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya. Sampai dengan tahun 1998, tanah-tanah tersebut yang sudah dialokasikan untuk perumahan, industri, jasa/pariwisata, dan perkebunan, sebagian besar (berturut-turut, 85%; 88%; 86%; 74%) diterlantarkan (lihat majalah Informasi, no. 224, Th. XVIII, 1998). Alasan ”terlantar” itu bisa saja bermacam-macam. Tapi, di balik itu, motifnya adalah spekulasi tanah.

Semua krisis ekonomi yang pernah dialami dunia sumber pokoknya adalah satu, yaitu merajalelanya praktik spekulasi tanah (lihat Fred Harrison, 1983). Mekanismenya dua macam. Tanah didiamkan saja, tunggu harga naik, lalu dijual. Atau, tanah ditaruh sebagai agunan untuk mendapatkan kredit dari bank, tetapi kredit itu tidak dipakai untuk memanfaatkan atau membangun tanah tersebut sesuai dengan peruntukannya, melainkan dipakai untuk usaha lain. Akibatnya, banyak tanah-tanah ”terlantarkan”. Secara agregat nasional implikasinya adalah (a) pengangguran meningkat; dan (b) produktivitas menurun. Inilah, menurut Harrison, yang menjadi sumber krisis.

Kondisi keagrariaan dalam beberapa tahun mendatang saya kira belum banyak berubah, karena seperti telah disinggung di depan, dalam berbagai hal sikap politik pemerintah maupun pihak legislatif masih belum menentu. Di samping itu, perkembangan kondisi agraria ke depan itu juga tergantung dari hasil ”tarik-ulur” mengenai wewenang antara pusat dan daerah dalam kerangka otonomi daerah.

Jika pemerintah mempunya komitmen kuat untuk melakukan RA dan di lain pihak ”globalisasi” dianggap sebagai given, maka otronomi daerah akan menjadi ”pisau bermata dua”. Di satu sisi otonomi daerah bisa menjadi peluang bagi reform by leverage; tetapi di sisi lain, jika pemda-pemda mempunyai persepsi mengenai globalisasi, mengenai RA, dan mengenai otonomi daerah itu sendiri secara keliru, maka yang akan terjadi adalah kekacauan.

Demikianlah secara amat singkat catatan-catatan yang dapat saya sampaikan sebagai ”pengantar”. Mudah-mudahan isinya dapat merangsang diskusi dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Daftar Acuan

Eckholm, Eric, 1979. The Dispossessed of the Earth: Land Reform and Sustainable Development, Worldwatch Paper-30, Worldwatch Institute.
Gunawan Wiradi, 2001. “Memperkuat Posisi Masyarakat dalam Pendayagunaan Sumberdaya Alam”, Makalah dalam Acara Seminar yang Diselenggarakan oleh PSDAL-LP3ES, Jakarta, Oktober 2001.
Harrison, Fred, 1983. The Power in the Land, Landon: Shepherd-Walwyn (Publisher) Ltd.
King, Russell, 1977. Land Reform: A World Survey, Colorado: Westview Press.

1 komentar:

paxtonmaaske mengatakan...

The best slots machines with money in one of the - DrMCD
1 of 전주 출장샵 25 — What are the best slots machines with money in one 제천 출장샵 of the largest video 보령 출장안마 poker machines? You'll find slot machines that have 고양 출장샵 the 김제 출장안마 highest payouts in

    Mega Biodeversity On Malalo's Forest

    Mega Biodeversity On Malalo's Forest
    Raflesia Arnoldi

    Alam dan Manusia " Alam Takambang Jadi Guru"

    Alam dan Manusia " Alam Takambang Jadi Guru"
    Hutan Kami... Hutan Adat ....

    LAM & PK Fakultas Hukum Universitas Andalas

    LAM & PK Fakultas Hukum Universitas Andalas
    Dapur Gerakan Hukum Progresif