Nurul Firmansyah

DALAM REFLEKSI-KONTEMPLASI

Konflik Perkebunan Aie Maruok, Pasaman Barat

Kronologis Kasus

Pengantar

Kampung Air Maruap secara administrasi berada dalam Jorong VI Koto Nagari Kinali Kab. Pasaman Barat. Sedangkan secara adat merupakan salah satu wilayah adat berdasarkan territorial dan geneologis dalam kenagarian Kinali, dimana masing-masing kampung memiliki ninik mamak yang dituakan secara adat. Di Kampung Air Marup yang dituakan secara adat adalah Tenku Imbang Langit sebagai ninik mamak dan sekaligus sebagai Hakim Tongga di Kenagarian Kinali. Secara adat di Kinali berlaku “Adat Babingkah Tanah”, artinya tanah ulayat di Kinali telah terbagi kepada masing-masing Ninik Mamak dan berada dibawah penguasaannya sesuai dengan wilayah adatnya (kampung).

Tanah ulayat Imbang Langit secara adat Kinali berada di Kampung Air Maruap (Kampung Imbang Langit) dengan batas sipadan digambarkan sebagi berikut : arah Lereng Gunung Pasaman ke utara berbatas dengan Datuak Tan Baraik Lubuk Lanur, Teuku Daulat Parit Batu dan ke Barat berbatas dengan IV Koto dan Langgam, ke timur Gunung Pasaman”( berdasarkan surat pernyataan batas tanah ulayat antara Luhak Anam Koto dengan Langgam menurut adat Kinali tanggal 18 Juli 1977). Kemudian diperkuat dengan surat pernyataan batas tanah antara Luhak dengan Langgam menurut adat Kinali pada tanggal 1 Mei 985 dengan perincian sebagai berikut :

a. Arah ke Gunung Pasaman dari Muaro Anak Aie Pauh (di dekat perbatasan antara kampung Aia Maruok VI Koto dengan Kampung Batang Bamban Langgam) ada 6 buah patok batas menurut pituah adat lamo pusako using, arah ke laut dari Muaro Anak Aie ada 8 buah patok batas menurut adat lamo pusako using”.
b. Arah Ke laut dari Muaro Anak Aie Pauh tersebut di atas ada 8 buah patok batas menurut adat lamo pusako usang.

B. Posisi kasus Tanah Ulayat Imbang Langit

Kasus tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap Nagari Kinali Kab. Pasaman Barat, merupakan konflik tanah ulayat yang pada awalnya diklaim oleh Pemda Kabupaten Pasaman sebagai tanah negara bekas Erfacht Verponding 372 sebagian di Kampung Air Maruap, selanjutnya dicadangkan sebagai lahan untuk perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan kebun inti dan plasma seluas 800 Ha di Kampung Air Maruap. Konflik ini dalam perkembangannya menimbulkan banyak permasalahan dengan melibatkan banyak pihak sehingga kemudian berujung pada tindakan kriminalisasi oleh Polres Pasaman Barat terhadap masyarakat dan Ninik Mamak Kampung Air Maruap.

Dengan kronologis permasalahan sebagai berikut :

1. Bahwa sekitar tahun 1992, sawah-sawah masyarakat Kampung Air Maruap (cucu kemenakan Imbang Langit) dan Durian Kandang yang telah dikeluarkan dari kebun inti PTPN VI pada tahun 1985 karena tidak termasuk dalam areal erfacht maatchappij ophir (Keputusan Panitia B), tergusur kembali dengan keberadaan PT. Tunas Rimba membuka perkebunan sawit di Kampung Air Maruap, hal mana atas dasar tanah negara Erfacht Verponding 372 sebagian yang di Kampung Air Maruap;

2. Bahwa masyarakat yang tergusur oleh PT. Tunas Rimba, kemudian dilakukan pendataan oleh BPN TK II Pasaman, diketahui Camat Pasaman dan Kepala Desa VI Koto Utara, dimana pada tanggal 19 September 1995 daftar nama masyarakat tergusur tersebut telah dilaporkan Ninik Mamak Kampung Air Maruap dan Durian Kandang Desa VI Koto Utara Kec. Perwakilan Pasaman ke Pemda TK II Kab. Pasaman;

3. Bahwa pada tanggal 26 Mei 1996, Bupati Daerah TK II Pasaman mengeluarkan Surat Keputusan No. 025/1276/Perak-1996, perihal pencadangan lahan untuk perkebunan kelapa sawit pada lokasi tanah Erpacht Verponding 372 sebagian di Kampung Air Maruap Kec. Kinali, dengan perincian sebagai berikut :

- Seluas ± 200 Ha untuk kebun Inti PT. Tunas Rimba
- Seluas ± 100 Ha untuk kebun plasma DPRD Pasaman
- Seluas ± 100 Ha untuk kebun plasma Kodim 0305 Pasaman
- Seluas ± 400 Ha untuk kebun plasma masyarakat

4. Bahwa pada tanggal 27 Mei 1996, Bupati Daerah TK II Kab. Pasaman menetapkan nama-nama peserta plasma perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan pada lokasi tanah negara bekas Erpacht Verponding 372 sebagian di Kampung Air Meruap dengan Surat Keputusan No. 188.45/348/BUP-PAS/1996, kemudian dirubah dengan Surat Keputusan No. 138.45/77/BUP-PAS/1996 pada tanggal 31 Juli 1996, memuat 217 orang teridiri dari 47 orang anggota DPRD TK I Sumbar periode 1992-1997, 47 orang anggota DPRD TK II Pasaman periode 1992-197, 73 orang keluarga Makodim 0305 Pasaman dan 50 orang dari masyarakat;

5. Bahwa pada tanggal 23 Juli 1997, KUD Saiyo Air Gadang dengan Bank Nagari Cab. Simpang Empat membuat persetujuan membuka kredit KKPA untuk pembangunan kebun kelapa sawit di areal plasma Keltan. Air Maruap seluas 600 Ha dengan nominal Rp. 19.730.179.600,00. Sedangkan penggerjaannya akan dilakukan oleh PT. Tunas Rimba selaku kontraktor sesuai dengan perjanjian kerjasama pada tanggal 4 Agustus 1997;

6. Bahwa pada tanggal 13 Juli 1998, PT. Tunas Rimba menyatakan menarik diri dari pekerjaannya karena adanya gangguan dari masyarakat Desa Durian Kandangan, Air Maruap dan masyarakat dari orang-orang Talu. Tetapi hingga tanggal 20 Desember 1998, PT Tunas Rimba masih mengerjakan perawatan tanaman di areal plasma anggota DPRD TK I Sumbar dan DPRD TK II Pasaman seluas 200 Ha, selanjutnya diserahkan kepada kepada Kelompok Tani Air Meruap, terhitung sejak tanggal 1 Januari 1999;

7. Bahwa pada tanggal 6 Mei 1999, Bupati Daerah TK II Kab Pasaman mengeluarkan surat keputusan No. 188.45/1718/BUP-PAS/1999 tentang perubahan sebagian nama peserta plasma perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan pada lokasi tanah negara bekas erpach verponding No 372 sebagian di Desa VI Koto Utara Kec. Kinali. Dimana nama peserta plasma seluruhnya berjumlah 335 orang, terdiri dari 47 orang anggota DPRD TK I Sumbar dan 47 orang DPRD TK II Pasaman, 176 orang masyarakat kampung Air Maruap (anggota Kodi), 36 masyarakat di Kampung Durian Kandang, 29 orang masyarakat di Kampung Langgam, dengan luas lahan masing-masing 2 Ha;

8. Bahwa sampai pada tahun 2000, kebun plasma kelapa sawit Keltan. Air Maruap seluas ± 600 Ha yang terealisasi menjadi kebun (berisi sawit) diperkirakan hanya seluas ± 165 Ha, sedangkan sisanya terlantar dan menjadi rimba kembali, kemudian diolah dan digarap kembali oleh masyarakat (anak cucu kemenakan Datuk Imbang Langit) Kampung Air Maruap menjadi kebun kelapa sawit;

9. Bahwa pada tanggal 8 Mei 2000 Bank Nagari, PTPN VI dan KUD Saiyo Air Gadang mengadakan rapat pembentukan Tim inventarisasi dan pengukuran ulang lahan plasma Keltan. Air Maruap Unit sawit KUD Saiyo Air Gadang (areal 200 Ha dan 400 Ha), karena banyaknya terjadi permasalahan dalam pengelolaan perkebunan plasma kelapa sawit Keltan. Air Maruap (masalah lahan dan kredit macet);

10. Bahwa pada tanggal 23 Juni 2007, Drs H. BGD Letter mewakili Mantan Anggota DPRD Prop Sumbar dan Drs. Jufri Hadi mewakili Mantan Anggota DPRD Kab. Pasaman periode 1992-1997, menyurati Pimpinan Cab. Bank Nagari BPD Simpang Empat, perihal mohon penghapusan bunga kredit kebun sawit mantan anggota DPRD Kabupaten Pasaman dan mantan angota DPRD Propinsi Sumbar peride 1992-1997, dengan alasan belum pernah sepersen pun menerima hasil dari lahannya seluas 200 Ha dan kondisi lahan tersebut berisi pohon sawit hanya 30 %, sisanya 70% kembali menjadi rimba dan tidak ada pohon sawitnya;

11. Bahwa pada tanggal 3 Juli 2007, Pengurus Kelompok Tani Air Maruap pimpinan Maesar mengirimkan surat kepada BPD Simpang Empat yang pada intinya persetujuan pindah hak, khusus areal lahan DPRD TK I dan TK II seluas 200 Ha di areal Keltan Air Maruap Kec. Kinali;

12. Bahwa pada tanggal 20 November 2007, Drs H. BGD Letter mewakili Mantan Anggota DPRD Propinsi Sumbar dan Drs. Jufri Hadi mewakili Mantan Anggota DPRD Kab. Pasaman periode 1992-1997 mengirimkan surat Ketua KUD Saiyo Air Gadang untuk memberitahukan jual beli kebun sawit miliknya kepada CV. Tiara Jaya dan pengelolaan selanjutnya diserahkan kepada CV. Tiara Jaya.

13. Bahwa pada tanggal 23 November 2007, KUD Saiyo Air Gadang mengirimkan surat No. 46/KUD-SAG/US/1107, kepada Pengurus Kelompok Tani Air Meruap, perihal pemberitahuan pengelolaan kebun Air Maruap yang pada intinya meminta kepada Pengurus Kelompok berserta jajaran pekerja lapangan untuk menghentikan pengelolaan kebun kelompok tani Air Meruap, khusus areal DPR seluas 200 Ha karena sudah menjadi milik CV Tiara Jaya dan pengelolaannya langsung ditangani oleh CV. Tiara Jaya.

14. Bahwa pada tanggal 27 November 2007, Ninik Mamak Air Maruap mengirimkan surat kepada Drs. H. Djufri Hadi mantan Anggota DPRD Kab. Pasaman periode 1992-1997 dan Drs. H. Bgd. M. Leter, mantan anggota DPRD Prov. Sumbar periode 1992-1997, yang pada intinya meminta mencabut kembali jual beli atas kebun sawit unit masyarakat yang berjumlah 100 Ha kepada CV. Tiara Jaya karena penjualan dilakukan tidak melalui kelompok unit kebun sawit masyarakat Air Meruap;

15. Bahwa pada tanggal 10 Desember 2007, Bank Nagari menyurati KUD Saiyo Air Gadang dan meminta pembatalan surat No 46/KUD-SAG/US/1107 tertanggal 23 November 2007, karena belum adanya penyelesaian kewajiban kredit kepada Bank Nagari dan sertifikat masih agunan kredit sehingga secara hukum CV. Tiara Jaya tidak berhak atas lahan areal tersebut, selanjutnya pada tanggal 11 Desember 2008, KUD Saiyo Air Gadang mengirimkan pembatalannya surat No 46/KUD-SAG/US/1107 kepada CV. Tiara Jaya dan meminta menghentikan pengelolaan kebun Keltan. Air Meruap terutama areal DPRD seluas 200 Ha;

16. Bahwa pada tanggal 12 Desember 2007, Bank Nagari Cab. Simpang Empat mengeluarkan surat Nomor : SR/1053/SE/CL/12-2007 kepada KUD Saiyo Air Gadang, perihal Sertifikat Hak milik (SHM) Keltan. Air Maruap yang pada intinya disampaikan SHM anggota Keltan. Air Maruap yang telah diterbitkan BPN Lubuk Sikaping dan telah diterima Bank Nagari Cab. Simpang Empat sebanyak 94 Persil dengan perincian 47 persil Mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan 47 Persil Mantan Anggota DPRD TK I Sumbar.

17. Bahwa pada tanggal 13 Desember 2007, Ninik Mamak Air Meruap mengirmkan surat kepada Bupati Pasaman yang pada intinya meminta Bupati Pasaman memfasilitasi penyelesaian kebun masyarakat Air Meruap terutama areal unit mantan anggota DPRD Pasaman periode 1992-1997 karena lahan yang diperjualbelikan merupakan kebun inti yang telah dikuasai masyarakat bukan lahan anggota DPRD;

18. Bahwa pada tanggal 24 Desember 2007, Ninik Mamak Air Meruap mengirimkan surat kepada Direktur CV. Tiara Jaya yang pada intinya meminta penangguhan pembayaran jual beli kebun kelapa sawit Air Meruab a.n unit mantan anggota DPRD Provinsi Sumbar 1992-1997, sebelum ada penyelesaiannya lebih lanjut;

19. Bahwa pada tanggal 7 Januari 2008, Ninik Mamak Air Meruap mengirimkan surat kepada Direktur CV. Tiara Jaya, yang pada intinya meminta menghentikan kegiatan perluasan penebasan di dalam areal kebun kelapa sawit, baik dalam areal 100 Ha maupun yang telah melampaui batas kebun milik masyarakat sebelum diukur ulang kembali oleh BPN dan disahkannya jual beli plasma kebun sawit yang dimaksud oleh Pemda Kab. Pasaman Barat;

20. Pada tanggal 3 Maret 2008, mulai Jam 08.00 Wib masyarakat anak cucu Imbang Langi melakukan demonstrasi dengan tertib ke lahan kebun masyarakat yang dikuasai oleh CV Tiara Jaya dan membuat portal berupa galian bandar seluas 1,5 M untuk menghambat jalur transportasi kegiatan CV Tiara Jaya, sebelumnya CV. Tiara Jaya juga membuat portal dengan besi melintang jalan.

21. Bahwa pada tanggal 28 Maret 2008, Bupati Pasaman Barat mengeluarkan surat Keputusan No. 188.45/96/Bup-Pasbar-2008 tentang Pembentukan Tim Indentifikasi tunjuk batas pada lahan erpacht 372 ex lahan anggota DPRD TK I Sumatera Barat periode 1992-1997 dan ex lahan anggota DPRD TK II Pasaman Periode 1992-1997 yang telah dijual kepada CV. Tiara Jaya di Air Meruap Nagari Kinali, Kecamatan Kinali;

22. Bahwa pada tanggal 30 Maret 2008, dibuat surat pernyataan dan kesepakatan bersama antara CV. Tiara Jaya dengan masyarakat cucu kemenakan Imbang Langit yang pada intinya menyatakan Kami sepakat untuk menghentikan aktifitas khusus panen sawit di lingkungan lokasi bermasalah yang dijual oleh mantan DPRD Periode 1992-1997 Kab Pasaman menjelang adanya keputusan menurut hukum yang berlaku yang difasilitasi oleh Pemda Kabupaten Pasaman Barat, bagi yang melanggar akan diselesaikan dengan masyarakat terlebih dahulu, kemudian akan diajukan sesuai hukum;

23. Bahwa pada tanggal 29 April 2008, Bupati Pasaman Barat mengeluarkan surat No 130/352/Pem-2008 yang ditujukan kepada Nazar Ikhwan Imbang Langit dan Pimpinan CV. Tiara Jaya, perihal identifikasi sertifikat lahan 200 Ha, CV. Tiara Jaya yang pada intinya menyatakan hasil identifikasi dan peninjauan ditambah dengan data pendukung peta menunjukan lahan tersebut berada pada sebagian lahan ex erpacht 372 Air Meruap;

24. Bahwa pada tanggal 28 Mei 2008, sekitar Jam 08.00 pagi masyarakat berkumpul di rumah Hasar untuk berangkat ke lahan menggunakan mobil Colt Diesel, dalam perjalanan ditemukan mobil milik CV. Tiara Jaya yang mengangkut buah sawit sekitar 2 Ton. Masyarakat meminta Datuak Bandaro untuk menghalangi pemanenan oleh CV. Tiara Jaya, selanjutnya pada pukul 11.00 WIB masyarakat bersama-sama menurunkan buah sawit dari mobil milik CV. Tiara Jaya dan meletakannya di depan Camp. Pada pukul 14.00 WIB, Sdr. Eti dari CV. Tiara Jaya datang bersama aparat kepolisian dengan memanggil Datuak Bandaro dan mengatakan perbuatan masyarakat yang melakukan pendudukan Camp adalah illegal;

25. Bahwa pada tanggal 31 Juni 2008, sekitar Jam 16.30 WIB, pihak CV Tiara Jaya bersama aparat kepolisian (1 mobil Dalmas) mengangkat sawit sebanyak 2 lansir (hartop) dari lahan dengan tidak ada perlawanan dari masyarakat yang pada saat itu berada di lahan;

26. Bahwa pada tanggal 4 Juli 2008, CV. Tiara Jaya kembali melakukan panen sawit, mulai sekitar jam 10.00-17.00 wib dengan dikawal oleh aparat kepolisian Polres Pasaman Barat (kira-kira sebanyak 14 orang-1 mobil Dalmas) dari pihak CV Tiara Jaya (3 orang atas Eti, Memen dan Beben) dan sekitar 10 orang dari karyawan bekerja memanen sawit. Pada panen sawit dilakukan masyarakat hanya berkumpul di Camp (Camp dibuat masyarakat) berada di atas tanah 200 Ha (objek sengketa). Selain itu polisi juga melakukan penimbunan portal yang dibuat oleh masyarakat sedangkan portal yang dibuat oleh CV. Tiara Jaya yang menghambat jalan ke perkebunan masyarakat tidak disentuh sama sekali.

Sekitar Jam 18.00 wib, panen sudah selesai dilakukan dan sambil pulang datang polisi memanggil Kasmir (sebanyak 3 kali), ketika panggilan ke 3 kali baru polisi menghampiri Kasmir pangilan Simir, ada reaksi dari warga sehingga polisi tersebut kemudian meletuskan tembakan ke udara sebanyak dua kali. Pada saat itu polisi menangkap Kasmir tanpa surat penangkapan (di lahan).

27. Bahwa pada tanggal 4 Juli 2008, Polres Pasaman Barat mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan atas nama Kasmir pgl Simir, karena dugaan melakukan tindak pidana perkebunan sebagaimana dimaksu Pasal 21 Jo 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dan sejak tanggal 5 Juli ditahan di Rutan Polres Pasaman Barat;

28. Pada tanggal 5 Juli 2008, lebih dari 100 masyarakat mendatangi Kapolres sampai disana sekitar pada jam 11.00 wib untuk menuntut pembebasan warga yang ditangkap oleh Kapolres dan meminta polisi juga menahan mereka, namun polisi menolak. Pada saat itu beberapa orang warga dipanggil dan diproses untuk memberikan keterangan sebagai saksi berkaitan dengan masalah portal, penurunan hasil panen sawit pada tanggal 28 Mei 2008 dan pengusiran CV. Tiara Jaya oleh warga. Warga yang diproses untuk memberikan keteranfan adalah Kalibasa, Sampono, Bandaro dan Basri.

Dihadapan penyidik Datuk Sampono menerangkan bahwa dia tidak ikut membuat fortal (berupa pengalian tanah), tetapi kesepakatan dibuat secara bersama, waktu penurunan buah sawit pada tanggal 28 Mei 2008 dia tidak ikut tetapi hasil panen di atas mobil disuruh turunkan oleh Bandaro atas permintaan dari warga dan warga menghalang-halanginya karena ada perjanjian warga dengan CV. Tiara Jaya.

Datuk Bandaro dihadapan penyidik mengakui menurunkan buah sawit dan melarang panen yang disampaikan atas permintaan warga, sedangkan masalah portal tidak ditanyanya sama sekali, sedangkan keterangan Kalibasa tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan Bandaro. Dari ke- 4 orang tersebut hanya Basri yang tidak diminta keterangannya pada saat itu dengan alasan telah cukup saksi 3 orang.

29. Bahwa pada tanggal 5 Juli 2008, Polres Pasaman Barat mengeluarkan Surat Penangkapan atas nama Rivai (55 th), karena diduga melakukan tindak pidana perkebunan sebagaimana dimaksud Pasal 21 Jo 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dan sejak tanggal 6 Juli 2008, Rivai ditahan di Rutan Polres Pasaman Barat;

30. Bahwa pada tanggal 8 Juli 2008, Polres Pasaman Barat juga mengeluarkan surat perintah penangkapan atas nama Nazar Ikhwan Imbang Langit, karena diduga melakukan tindak pidana perkebunan sebagaimana dimaksud Pasal 21 Jo Pasal 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang perkebunan Jo Pasal 55 Jo Pasal 56 KUHP dan sejak tanggal 9 Juli 2008 resmi ditahan di Rutan Polres Pasaman Barat;

31. Bahwa perkembangan terakhir kasus ini, pada tanggal 2 September 2008, Rivai dipindahkan ke LP Lubuk Sikaping dengan perpanjangan penahanan, sedangkan Kasmir sejak tanggal 2 September 2008 telah dibebaskan dari tahanan, saat ini hanya NI Imbang Langit yang masih berada di Rutan Polres Pasaman Barat dimana masa penahanannya akan berakhir pada tanggal 6 September 2008;

C. ANALISIS

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di atas, maka dapat ditarik beberapa analisis atau cacatan penting dalam kasus ini, yakni sebagai berikut :

1. Bahwa tindakan Pemerintah Daerah TK II Kab. Pasaman mengklaim tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap sebagai tanah negara bekas Erfacht Verponding 372 dengan mengeluarkan izin (HGU) PT. Tunas Rimba pada tahun 1992 dan Surat Keputusan Bupati Kepada Daerah TK II No. 025/1276/Perak-1996 tanggal 26 Mei 1996 perihal pencadangan lahan untuk perkebunan kelapa sawit pada lokasi tanah Erpacht Verponding 372 sebagian di Kampung Air Maruap Kec. Kinali adalah :

a. Merupakan tindakan sepihak dan bertentangan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Jo Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Jo Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada intinya memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk di dalamnya hak atas tanah ulayat;

b. Keberadaan Tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap merupakan harta kekayaan Ninik Mamak Kampung Air Maruap yang diperoleh secara turun temurun sebagai lahan cadangan yang diperuntukan bagi anak cucunya dikemudian hari, memiliki batas-batas yang jelas dan telah mendapat pengakuan secara adat dari pihak batas sipadan sebagaimana dimaksud dalam surat pernyataan batas tanah ulayat antara Luhak Anam Koto dengan Langgam menurut adat Kinali tanggal 18 Juli 1977, dimana batas sipadan tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap adalah “arah Lereng Gunung Pasaman ke utara berbatas dengan Datuak Tan Baraik Lubuk Lanur, Teuku Daulat Parit Batu dan ke Barat berbatas dengan IV Koto dan Langgam, ke timur Gunung Pasaman”;

c. Keberadaan tanah ulayat di Minangkabau, termasuk tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap berlaku ketentuan hukum adat Minangkabau yang menyatakan “tak sejengkal-pun tanah di Minangkabau yang tak berpunya (bertuan), sebagaimana disebutkan dalam pepatah adat “sawah bapiring lah diagieh lantak, ladang babidang lah diagieh batumpak, tanah nan sabidang lah diagieh bamilik”, diperkuat juga dengan pepatah adat, tanah ulayat tidak dapat diperjualbelikan “Tajua indak dimakan bali, tak gadai indak dimakan sando, aienyo nan buliah diminum, buahnyo nan buliah dimakan, kabau tagak kubangan tingga, luluak sado nan tabao dibadan”. Oleh karenanya klaim tanah negara bekas Erfacht Verponding 372 di atas tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap tidak dapat dibenarkan secara adat karena di Minangkabau tidak dikenal adanya tanah negara;

d. Keberadaan tanah ulayat Imbang langit di Kampung Air Maruap juga diperkuat dengan adanya persetujuan Panitia B (Panitia Pemeriksaan Tanah Permohonan HGU PTP VI) dalam Risalah Pemeriksaan Tanah pada huruf C angka 2 tentang kepentingan orang lain dan kepentingan umum secara tegas disebutkan “Panitia B telah menyetujui permintaan masyarakat pemilik sawah (anak cucu kemenakan Imbang Langit) agar sawah-sawah rakyat yang terletak disekitar Patok X dikeluarkan dari kebun inti PTP VI karena sejak dahulu sawah tersebut telah ada dan tidak termasuk dalam areal Erfacht Maatchappij Ophir yang dimohonkan PTP VI”. Halmana juga diperkuat dengan Surat Pemerintah Propinsi Daerah TK I Sumbar Direktorat Agraria tanggal 31 Agustus 1985 yang pada intinya meminta PTP VI agar segera melakukan perubahan gambar situasi sesuai dengan hasil pemeriksaan Panitia B dan membuat patok-patok batas tanah dengan tanah penduduk yang telah dikeluarkan dari perkebunan PTP VI.

2. Bahwa tindakan Bupati Kepada Daerah TK II Kab. Pasaman yang mencantumkan nama-nama mantan anggota DPRD TK I Provinsi Sumbar periode 1992-1997 sebagai anggota plasma di atas lahan seluas 600 Ha dalam Surat Keputusan No. 138.45/77/BUP-PAS/1996 tanggal 31 Juli 1996 Jo surat keputusan No. 188.45/1718/BUP-PAS/1999 tanggal 6 Mei 1999 dan diterbitkan sertifikat hak milik (SHM) oleh BPN TK II Pasaman pada tahun 1997 bertentangan dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah TK II Kab. Pasaman No. 025/1276/Perak-1996 tanggal 26 Mei 1996 yang tidak ada memperuntukan lahan bagi mantan anggota DPRD TK I Provinsi Sumbar periode 1992-1997;

3. Bahwa tindakan mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan DPRD TK I Provinsi Sumbar periode 1992-1997 melakukan proses penjualan lahan plasma kebun kelapa sawit di areal Keltan. Air Maruap seluas seluas 200 Ha kepada CV. Tiara Jaya pada tanggal 20 November 2007, patut dipertanyakan keabsahan secara hukum karena :

a. Bertentangan Surat Keputusan Bupati Pasaman No. 138.45/77/BUP-PAS/1996 tanggal 31 Juli 2006 Jo surat keputusan Bupati No. 188.45/1718/BUP-PAS/1999 tanggal 6 Mei 1999 tentang penetapan nama-nama peserta plasma perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan pada lokasi tanah ex. Erpacht Verponding 372 sebagian di Kampung Air Maruap karena dalam penetapannya pada bagian ketiga nomor 3 (tiga) disebutkan Peserta Plasma tidak diperkenankan melakukan pemindahtanganan lahan tanpa seizin Bupati Pasaman;

b. Lahan plasma kebun kelapa sawit di areal Keltan. Air Maruap seluas seluas 200 Ha yang perjualbelikan oleh mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan DPRD TK I Provinsi Sumbar periode 1992-1997 kepada CV. Tiara Jaya merupakan angunan kredit KKPA Bank Nagari Cab. Simpang Empat berdasarkan persetujuan kerjasama kredit KKPA Bank Nagari Cab. Simpang Empat Pasaman dengan KUD Saiyo Air Gadang Nomor : 001/SE/KOP/INV/0797/0709 tanggal 23 Juli 1997 Jo perjanjian Addendum I Nomor : 002-001/SE/ADD/0198/0797 tanggal 5 Januari 1998 dengan nominal Rp. 19.730.179.600,00. Halmana dipertegas dengan Surat Bank Nagari Cab. Simpang Empat Nomor : SR/1053/SE/CL/12-2007 tanggal 12 Desember 2007 kepada KUD Saiyo Air Gadang, perihal Sertifikat Hak Milik (SHM) Keltan. Air Maruap yang pada intinya menyatakan SHM anggota Keltan. Air Maruap telah diterbitkan BPN Lubuk Sikaping dan telah diterima Bank Nagari Cab. Simpang Empat sebanyak 94 Persil dengan perincian 47 persil Mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan 47 Persil Mantan Anggota DPRD TK I provinsi Sumbar periode 1992-1997;

c. Proses penjualan lahan plasma kebun kelapa sawit di areal Keltan. Air Maruap seluas 200 Ha kepada CV. Tiara Jaya juga terdapat kejangalan-kejangalan dalam hal izin usaha perkebunan milik CV. Tiara Jaya, dimana izin usaha perkebunan milik CV. Tiara diduga tanpa dilengkapi dokumen AMDAL dan lebih dahulu dikeluarkan oleh Bupati Pasaman Barat tertanggal 31 Juli 2007 dari pada proses pembelian lahan oleh CV. Tiara Jaya pada tanggal 20 November 2007.

4. Bahwa tindakan Polres Pasaman Barat melakukan penangkapan, penahanan dan intimidasi kepada Ninik Mamak dan masyarakat Kampung Air Maruap, sejak tanggal 4 Juli 2008 hingga sekarang adalah tindakan sewenang-wenang, karena :
a. Sengketa penjualan lahan plasma kebun kelapa sawit seluas 200 Ha oleh mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan DPRD TK I Provinsi Sumbar periode 1992-1997 kepada CV. Tiara Jaya yang menimbulkan sengketa dengan Ninik Mamak dan Masyarakat Kampung Air Maruap adalah murni sengketa perdata, hal mana sedang dalam penyelesaian Tim berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kab. Pasaman No. 188.45/96/Bup-Pasbar-2008 tanggal 28 Maret 2008;

b. Terjadinya tindakan diskriminasi dan keberpihakan dari Polres Pasaman Barat kepada CV. Tiara Jaya dalam sengketa, dimana Polres Pasaman Barat secara langsung terlibat sebagai backing dalam panen kelapa sawit di lahan sengketa oleh CV. Tiara Jaya pada tanggal 28 Mei 2008, 31 Juni 2008 dan 4 Juli 2008, tindakan mana telah melanggar kesepakatan status quo atas lahan sengketa dan sekaligus mengabaikan keberadaan Tim yang dibentuk dengan Surat Keputusan Bupati Kab. Pasaman No. 188.45/96/Bup-Pasbar-2008 tanggal 28 Maret 2008.

c. Tindakan Polres Pasaman Barat sebagaimana tersebut di atas, merupakan tindakan yang telah melampaui kewenangannya dan berakibat terlanggarnya hak-hak Ninik Mamak dan masyarakat Kampung Air Maruap, berupa pelanggaran :
- Pelanggaran hak pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana terdapat dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang;

- Pelanggaran terhadap hak pengakuan dan jaminan keamanan masyarakat hukum adat untuk mengelola dan mempertahankan hak ulayat selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara serta peraturan yang lebih tinggi dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 Jo Pasal 5 Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;

- Pelanggaran terhadap beberapa hak sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terutama hak Sipil Politik, berupa hak :
a. Hak atas keadilan Pasal 17 Jo Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2);
b. Hak atas rasa aman sebagaimana di atur Pasal 30 Jo Pasal 9 ayat (1) dan (2);
c. Hak atas kesejahteraan sebagaimana di atur dalam Pasal 36 ayat (1) dan (2), Pasal 37 ayat (1) Jo Pasal 38 ayat (1);
d. Hak atas pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal (6).

- Pelanggaran terhadap hak untuk kebebasan dan keamanan pribadi sebagaimana termuat dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

D. Rekomendasi

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam posisi kasus sebagaimana tersebut di atas, maka berkaitan dengan pendampingan kasus yang akan dilakukan oleh LBH Padang, maka direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut :

1. Sengketa lahan kebun plasma di areal Keltan. Air Maruap seluas 200 Ha yang perjualbelikan oleh mantan anggota DPRD TK II Pasaman dan anggota DPRD TK I Provinsi Sumbar, mestinya dilihat sebagai bagian yang tidak terpisah dari sengketa tanah ulayat Kampung Air Maruap yang klaim secara sepihak oleh Pemda TK II Pasaman sebagai tanah negara bekas Erfacht Verponding 372;

2. Kriminalisasi terhadap Ninik Mamak dan masyarakat Kampung Maruap, sejak tanggal 4 Juli 2008 sampai sekarang, mesti dilihat sebagai bagian dari skenario berbagai pihak (termasuk Pemda Kab. Pasaman Barat) untuk mematahkan (membungkam) perjuangan Ninik Mamak dan masyarakat Kampung Air Maruap, sekaligus upayanya untuk memperkuat legitimasi tanah negara bekas Erfacht Verponding 372 di atas tanah ulayat Ninik Mamak Kampung Air Maruap;

3. Berkaitan dengan pendampingan hukum terhadap Ninik Mamak dan masyarakat Kampung Air Maruap dalam permasalahan di atas, dapat dilakukan dalam 2 (dua) bentuk pendampingan :

a. Pendampingan hukum secara litigasi (di pengadilan), terutama pendampingan 3 orang Ninik Mamak dan masyarakat Kampung Air Maruap;

b. Pendampingan hukum secara non litigasi terutama advokasi terhadap upaya-upaya penyelesaian kasus tanah ulayat Imbang Langit dengan Pemda Kab. Pasaman Barat dan Perusahan perkebunan sawit.

E. Penutup

Demikianlah gambaran posisi kasus, kronologis dan beberapa catatan penting pada kasus tanah ulayat Imbang Langit di Kampung Air Maruap Kec. Kinali Kab. Pasaman, semoga dapat dipergunakan untuk membantu dalam –upaya upaya pendampingan kasus ini , terima kasih.

[+/-] Selengkapnya...

Batas Wilayah Harus Diprioritaskan

Padang Panjang, Singgalang
Pemerhati masalah-masalah adat dan kebudayaan di Kota Padang Panjang, Uncu Affandi, meminta kepada Pemerintah Kota (Pemko) Padang Panjang untuk memprioritaskan penyelesaian batas-batas wilayahnya dengan Kabupaten Tanah Datar. Sementara Nagari Jaho mengaku telah jadi korban ‘perluasan diam-diam’ kota berjulukan Serambi Mekah itu.
“Ada beberapa kawasan yang kini telah berada di dalam wilayah Padang Panjang. Kami meminta agar Pemkab Tanah Datar dan Pemko Padang Panjang dapat menyelesaikan tapal batas itu sesegeranya. Bila tidak, masalah-masalah yang akan timbul di kemudian hari akan sulit diselesaikan,” ucap Plt. Walinagari Jaho, Kecamatan X Koto, Tanah Datar, Zulmurni menjawab Singgalang, Kamis (5/2), di ruang kerjanya.
Pengakuan Zulmurni, kawasan yang biasa disebut dengan Kelok Anjing dari arah Tugu Monas, Padang Panjang Timur, dan Pengairah Rupiah, dahulunya berada dalam wilayah Nagari Jaho, tapi kini secara diam-diam telah berada dalam wilayah administrasi pemerintahan Padang Panjang. Guna menghindari terjadinya konflik perbatasan di kemudian hari, Zulmurni berharap, tapal batas kedua daerah harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Nagari Jaho, sebutnya, sebelah utara berbatasan langsung dengan Kelurahan Ekor Lubuk, Kota Padang Panjang, sementara di sebelah selatan berbatasan dengan Nagari Tambangan, di Barat dengan Kabupaten Padang Pariaman dan di Timur dengan Nagari Batipuah Baruah. Nagari ini, jelas Zulmurni, telah berhasil menyelesaikan peta nagari. Namun, karena menyangkut administrasi pemerintahan, patok wilayahnya dengan Kota Padang Panjang harus didudukkan oleh kedua pemerintah. Biaya pembuatan peta nagari itu sendiri dibantu oleh mantan Gubernur Sumbar H. Hasan Basri Durin selaku putra daerah.
Sementara itu, selaku warga Kota Padang Panjang yang mempunyai perhatian terhadap persoalan-persoalan nagari dan kebudayaan, Uncu Affandi meminta Pemko Padang Panjang mau menyahuti keinginan Pemkab Tanah Datar untuk membuat komitmen bersama guna mencapai kesepakatan soal tapal batas. Karena, alasnya, urusannya akan banyak berkait dengan kepentingan masyarakat di kedua daerah, baik dari sisi hukum adat maupun urusan-urusan keperdataaan.
“Saya ikut mendorong Pemko Padang Panjang untuk memperjelas tapal batas itu. Bisa saja, kedua daerah telah main serobot-menyerobot wilayah administrasi pemerintahan. Kalau itu terjadi, nanti persoalan keperdataan akan jadi rumit, misalnya dalam hal pensertifikatan tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di kedua daerah,” tegasnya.

Menurut Uncu, sesungguhnya dalam hal bernagari, batas-batas nagari sudah jelas, yakni parik, banda dan pilar. Hanya tiga patokan itulah, sebutnya, yang dapat dipedomani untuk menentukan batas-batas nagari berdasarkan kesepakatan dan aturan adat di Minangkabau.
Sebagaimana diberitakan Singgalang kemarin, Pemkab Tanah Datar menyatakan kesiapannya untuk membuat komitmen dan melakukan perundingan dengan Pemerintah Kota (Pemko) Padang Panjang. Perundingan itu diperlukan guna menetapkan tapal batas dan menghindari tindakan sepihak dan penyerobotan teritorial yang akan dapat melahirkan persoalan hukum di kemudian hari. Kesiapan itu diutarakan Kepala Bagian Tata Pemerintahan (Tapem) Setdakab Tanah Datar Drs. H. Armen Yudi, M.si.
Kabupaten yang populer dengan sebutan Luhak Nan Tuo dan mengklaim diri sebagai ‘ayah’ Kota Padang Panjang, tahun ini mengalokasikan Rp100 juta dalam APBD-nya untuk menyelesaikan masalah perbatasan dengan kota/kabupaten yang bertetangga.

Menurut Armen Yudi, berbicara soal tapal batas antara Tanah Datar dengan Padang Panjang, sesungguhnya mengandung banyak persoalan-persoalan yang cukup sensitif. Itu pulalah sebabnya, Armen mengaku selaku membuka diri membuat komitmen bersama dengan Pemko Padang Panjang untuk penyelesaiannya. Tanah Datar, tegasnya, mustahil akan ‘menyerobot’ teritorial Padang Panjang. Alasannya, hubungan kedua daerah diibaratkan hubungan ayah dengan anak. “Tak mungkinlah ayah akan menyerobot harta anak. Tapi kalau harta ayah yang digasak anak, itu sudah lumrah dan sering terjadi,” ucapnya diplomatis. o006

[+/-] Selengkapnya...

Politik Pembangunan Agraria

Oleh Gunawan Wiradi

Pendahuluan

Sebelum masuk ke dalam pembahasan masalah politik Pembangunan dan Pembaruan Agraria, ada beberapa hal yang penting untuk dikemukakan, yang barangkali berguna sebagai pembuka pikiran-pikiran kita.

Kita ini sering mengklaim sebagai orang yang peduli terhadap berbagai ketimpangan dan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat kita, pedulu terhadap bagian masyarakat yang “terpinggirkan”, peduli untuk membela, membantu, dan mendampingi mereka yang lemah, lemah dalam arti ekonomi, sosial maupun politik. Kepedulian itu tidak hanya sebatas wacana, tetapi seringkali juga diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan nyata.

Mereka yang merasa mempunyai kepedulian seperti itu (atau jika boleh disebut sebagai “aktivis kemasyarakatan”) sesungguhnyalah mengemban misi yang tidak ringan. Kesadaran bahwa misinya berat, tidak berarti harus bersikap pesimis. Justru sebaliknya, seorang aktivis kemasyarakatan menghadapi tantangan itu dia justru harus menebalkan semangat baja, dan selalu meneguhkan kepastian sikap sehingga tidak tergiur oleh godaan apapun.

Karena yang digarap adalah masyarakat, dan dia sendiri adalah bagian dari masyarakat, maka seorang aktivis kemasyarakatan perlu menyadari bahwa yang dia garap adalah “jaringan hubungan antarmanusia” yang dia sendiri merupakan salah satu unsur darinya. Dalam konteks inilah seorang aktivis dituntut untuk membekali diri dengan kemampuan tertentu. Dua butir berikut barangkali dapat dijadikan modal awal bagi upaya meningkatkan kemampuan-kemampuan lainnya.

Imajinasi Sosiologis

Seorang aktivis perlu untuk mempunyai kemampuan ber-“imajinasi sosiologis” (IS). Apa yang dimaksud? Di antara sejumlah aspek IS, empat yang terpenting untuk dimiliki adalah: (a) kemampuan untuk menghubungkan secara timbal-balik antara gejala-gejala di tingkat mikro (lokal) dengan tingkat makro (nasional, bahkan dunia); (b) kemampuan untuk meletakkan atau mendudukkan gejala yang diamatinya (atau yang dialaminya) dalam konteks yang mewadahinya, baik konteks tempat maupun, terutama konteks waktu (sejarah); (c) kemampuan untuk secara lincah dan timbal-balik bergeser-geser dari perspektif yang satu ke perspektif yang lain, dari konteks yang satu ke konteks yang lain; dan (d) kemampuan untuk melihat hubungan secara timbal balik antara persoalan-persoalan pribadi atau keluarga, dengan isu-isu umum (publik)

Di dalam membangun kemampuan IS itu, para pakar dunia pada umumnya secara konsisten selalu mempertanyakan tiga hal, yaitu:

(a) bagaimana struktur masyarakat ini, apa saja komponen utamanya? Bagaimana hubungan antara komponen-komponen tersebut? Ciri-ciri utama apa saja yang membedakan masyarakat (kita) ini dengan struktur masyarakat lainnya? Ciri apa yang membuat masyarakat (kita) ini berlanjut dan/atau berubah, dan seterusnya?

(b) Perjalanan sejarah dapat dibagi ke dalam periode-perioder tertentu. Ciri apa yang membuat masyarakat (kita) ini berubah pada periode tertentu? Bagaimana “gambar” masyarakat pada periode yang satu berbeda dari periode sebelum dan/atau sesudahnya, dan seterusnya?

(c) Keragaman manusia (laki-laki dan perempuan) yang bagaimana yang menonjol sekarang ini? Bagaimana kira-kira yang dominan di masa mendatang? “Sifat manusia” macam apa yang mengemuka dalam watak dan pergaulan masyarakat dalam periode tertentu? Bagaimana hal itu terjadi? (Mengapa terbebaskan, mengapa tertindas, mengapa tercerahkan, mengapa terbodohkan), dan seterusnya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak harus terjawab walaupun tentu kita berusaha untuk mencari jawaban. Justru kita perlu mengembangkan pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih lanjut lagi. Kemampuan mengembangkan pertanyaan semacam itulah awal dari kemampuan IS (Cf. C. Wright Mills, 1970:9—32).

Peran Aktivis

Di dalam berbagai latihan dan kursus yang diselenggarakan oleh LSM/Ornop, barangkali sudah terlalu sering dibahas, peran apa yang sebenarnya harus dimainkan oleh para aktivis. Karena itu, makalah ini tidak berisi ulangan mengenai apa yang sudah pernah diuraikan dalam latihan-latihan itu. Namun menurut pendapat saya, ada dua hal yang masih perlu ditekankan (lepas dari apakah hal ini pernah disinggung dalam berbagai latihan di kalangan LSM/Ornop, atau belum). Pertama, sesuai dengan pengembangan kemampuan IS tersebut di atas, seharusnya para aktivis selalu bertanya sendiri di dalam hati: “Peran apakah yang sebaiknya saya ambil, dalam konteks masyarakat tempat saya berkecimpung? Kedua, kegiatan para aktivis, terutama dalam era reformasi dan khusus lagi dalam masa krisis ini, mirip atau bahkan pada hakikatnya sama dengan kegiatan para pejuang (sipil), pendiri republik, dalam gerakan mencapai Indonesia merdeka. Mereka itu hakikatnya adalah “aktivis”. Hanya saja saat itu mereka lebih populer dikenal dengan istilah “kaum pergerakan”. Salah satu peran yang dianggap penting adalah menjadi “guru”. Gurunya masyarakat. Tapi jangan salah paham! Mereka sangat sadar, bahwa yang dimaksud bukanlah guru yang sekadar menularkan pengetahuan, bukan “menggurui” rakyat, bukan “semau gue”, melainkan suatu proses pencarahan dengan cara-cara kritis dan partisipatif. Dengan istilah sekarang, sama dengan proses empowerment (pemberdayaan). Itulah sebabnya Bung Karno pada tahun 1940 menulis tentang “Menjadi Guru di masa Kebangunan”. Dia berkata: “Men kan niet onderwijzen wat men will. Men kan niet onderwijzen wat men weet. Men kan alleen onderwijzen wat men is!” Arti harfiahnya, orang tidak dapat mendidik orang lain “semau gue”; orang tidak dapat mendidik orang lain mengenai apa yang dia ketahui; orang hanya dapat mendidik orang lain mengenai apa sebenarnya dia sendiri itu? Maknanya adalah, secara ringkas, “partisipasi”, dan…. keteladanan untuk bersikap konsisten.

Jadi, menjadi aktivis kemasyarakat di era reformasi, hakikatnya adalah menjadi “guru” di masa kebangunan (bukan pembangunan).

Politik Pembangunan

Istilah dan Pengertiannya

Semula,istilah “pembangunan” sifatnya memang netral. Para pendiri republik, para tokoh tua sebelum Orde Baru, tokoh-tokoh pergerakan pun telah menggunakan istilah tersebut. Secara umum, yang dimaksud adalah suatu kegiatan untuk membangun, mendirikan, membentuk, menciptakan segala sesuatu (baik berupa bangunan-bangunan fisik/material, seperti jalan-jalan, jembatan, gedung, dan sebagainya, maupun yang sifatnya non-material, seperti “character building”, moral-spiritual, kelembagaan, sistem politik, sistem ekonomi, dan sebagainya), dengan tujuan agar kondisi masyarakat secara keseluruhan menjadi lebih baik.

Atas dasar itu “kaum pergerakan” menggunakan istilah “pembangunan” dengan kondisi tekanan pada tiga hal, yaitu:

(a) membangkitkan semangat kemandirian, membangun jiwa merdeka, mengikis mentalitasnya bangsa terjajah;

(b) membangun susunan masyarakat baru yang bebas dari penindasan, yang adil dan demokratis;

(c) membangun sarana-sarana fisik bagi kesejahteraan rakyat. (Istilah “pembangunan” berbeda dari “kebangunan” Karena yang dimaksud dengan kebangunan adalah “kebangkitan”).

Namun, semenjak Orde Baru, makna tersebut di atas diberi nuansa lain, bahkan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang dicanangkan oleh para pendiri bangsa ini. Semboyan Orde Baru” “Politik No, Ekonomi Yes” menuntun kepada pengertian bahwa tekanan pembangunan adalah pembangunan ekonomi saja, yang notabene terbukti tifak menguntungkan rakyat. Para intelektual pun tidak sadar (atau sengaja tidak menyadarkan diri) bahwa semboyan tersebut di atas itu sendiri adalah “politik”, yaitu politik Orde Baru untuk membunuh kesadaran politik rakyat.

Sebenarnya, tidak ada padanan yang tepat dalam bahasa Inggris bagi istilah “pembangunan”. Kata development artinya “proses perkembangan”, atau “proses pengembangan” (lawan dari envelopment). Membangun dalam arti mendirikan atau membentuk, padanannya dalam bahasa Inggris adalah to build atau to construct (karena itu ada istilah character building,pembangunan watak). Jadi, kata pembangunan sebenarnya mempunyai makna yang lebih luas dari kata development. Di Barat, sesudah Perang Dunia Kedua, ketika ada program untuk membangun negara-negara berkembang (bekas jajahan yang kemudian merdeka), istilah yang dipakai adalah development. Ini kemudian menimbulkan perdebatan ilmiah, antara lain dalam konferensi ilmiah di Minnesota, Amerika Seikatr tahun 1955. Salah satu pandangan yang mencuat waktu itu adalah bahwa istilah development yang penggunaannya menjadi sangat populer sesudah Perang Dunia Kedua diartikan sebagai proyeksi, sebagai upaya yang diprogramkan untuk “mengembangkan” negara-negara Dunia Ketiga yang titik beratnya adalah “pengembangan ekonomi”. Tingkat kemajuan dari proses pengembangan itu dikukur dengan tingkat “pertumbuhan ekonomi”. Dengan demikian, semenjak Orde Baru, di Indonesia kata “pembangunan” digunakan sebagai terjemahan dari kata development dengan pengertian seperti itu.

Latar Belakang Sejarah

Atlantic Charter (1941)

Dalam Perang Dunia Kedua, dengan siasat serangan cepat dan mendadak (blitzkrieg), dalam waktu singkat Jerman telah menguasai hampir seluruh Eropa, kecuali Inggris dan Rusia. Waktu itu, antara Jerman (Hitler) dan Rusia (Stalin) memang telah ada perjanjian tidak saling menyerang. Inggris, karena letaknya sebagai kepulauan di luar daratan Eropa, belum berhasil diduduki. Tetapi pesawat-pesawat udara Jerman, dan roket-roketnya sudah mulai mengancam Inffris. Inggris lalu meminta bantuan Amerika, walaupun Amerika sendiri sedang sibuk menghadapi Jepang di Asia. Maka berlangsunglah perundingan antara Presiden Roosevelt dengan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pada bulan Agustus 1941, dan lahirlah apa yang dikenal sebagai Piagam Atlantik (Atlantic Charter-AC) berisi 8 pasal. Meskipun isinya hanya merupakan kesepakatan antara duna negara, tetapi karena dianggap bagus maka jiwa dan semangatnya akhirnya juga diadopsi dalam Piagam PBB. Esensi dari AC adalah (menurut saya):

(a) PD-II bukan “perang wilayah”. Artinya, jika sekutu menang, maka wilayah yang diduduki akan dikembalikan kepada batas-batas semula (Pasal-1 AC).

(b) Jika sekutu menang, maka wilayah-wilayah yang semula merupakan koloni (jajahan) dari negara-negara Eropa harus dibebaskan, yaitu rakyat di situ harus diberi hak menentukan nasibnya sendiri (self determination), Apakah akan tetap berada di bawah bejas penjajahnya, atau merdeka tapi masih dalam ikatan “persemakmuran” dengan bekas penjajahnya, ataukah merdeka penuh.

Dalam tahap-tahap akhir PD-II, ketika dengan detengah putus asa Jerman tidak juga berhasil untuk menyerbu Inggris, Hitler berganti haluan, dan melanggar perjanjiannya dengan Stalin yaitu menyerbu Rusia. Karena itu kemudian Rusia bergabung dengan sekutu. Ketika kemudian sekutu menang, tentu saja ada wilayah-wilayah yang diduduki oleh tentara Uni Soviet Rusia, dan lahirlah negara-negara sosialis di Eropa Timur. Sementara itu, sesudah PD-II itu selesai, bekas-bekas koloni Eropa di Asia, Afrika dan Amerika Latin satu persatu menjadi negara merdeka yang kemudian dikenal sebagai “Dunia Ketiga”.

Sementara itu, negara-negara Eropa yang perekonomiannya berantakan akibat perang, lalu dibangun dengan bantuan Amerika melalui “Marshall Plan”. Ternyata hasilnya bagus. Dalam waktu singkat—kurang lebih lihat tahun—perekonomian Eropa bangkit kembali. Karena itu, dalam rangka perang dingin, Blok Barat berusaha agar negara-negara bari di Dunia Ketiga juga dibangun dengan pola yang serupa. Namun ternyata hasilnya tidak sebagus yang terjadi di Eropa. Maka lahirlah berbagai teori tentang “pembangunan” (development).

Arti penting dari AC sebagai latar belakang sejarah, menurut pendapat saya adalah:

(a) Sekalipun di atas kertas tercermin suatu gagasan “luhur” (yaitu pembebasan bangsa-bangsa terjajah) tetapi agaknya, Amerika mempunyai strategi jangka panjang dalam rangka persaingannya dengan negara-negara Eropa pada umumnya. Dengan bebasnya bekas-bekas koloni itu, Amerika dapat menanamkan pengaruhnya melalui bantuan ekonomi di bekas-bekas koloni itu.

(b) Namun, di lain pihak bekas wilayah pendudukan tentara Uni-Soviet di Eropa Timur itu, meskipun merdeka, menjadi negara-negara sosialis di bawah pengaruh Uni-Soviet Rusia (“negara Dunia Kedua”). Hal ini, ditambah dengan kenyataan bahwa negara-negara Eropa Barat yang non-sosialis masih baru saja sembuh dari luka-luka PD-II, telah mendorong Amerika untuk mencurahkan bantuan ekonomi untuk menanamkan pengaruhnya agar negara-negara baru tersebut tidak jatuh ke dalam pengaruh Uni-Soviet. Pertarungan pengaruh inilah yang dikenal sebagai “Perang Dingin”.

(c) Penanaman pengaruh itu bukan hanya penting bagi kepentingan politik tapi juga kepentingan ekonomi. Barat berkehendak agar dunia ini menjadi satu sistem ekonomi, yaitu sistem pasar bebas yang kapitalistik. Inilah sebenarnya arti “globalisasi”.

Kebijakan Pembangunan di Indonesia sebelum Orde Baru

Sebelum Indonesia merdeka sejarah Indonesia dapat dibahwa menjadi empat periode, yaitu:

(a) Agustus 1945—Desember 1949: Masa revolusi fisik (melawan Jepang; melawan tentara Inggris yang mewakili sekutu; kemudian melawan Belanda);

(b) Januari 1950—Agustus 1950: Masa singkat pemerintahan negara dalam bentuk federal: Republik Indonesia Serikat (RIS), dalam payung Uni Indonesia-Belanda;

(c) 1950—Juli 1959: Masa Demokrasi Liberal dalam Negara Kesatuan RI di bawah UUDS-1950 (sistem parlementer; Presiden hanya sebagai simbol, dan karenanya can do no wrong); dan (d) Juli 1959—1965: Masa Demokrasi Terpinpin di bawah UUD-1945.

Dalam tiga periode yang disebut pertama—kurang lebih lima belas tahun—kondisi Indonesia masih sangat tidak stabil. Bahkan dalam periode ketiga (yang relatif lebih stabil dari masa sebelumnya) pun masih terjadi berbagai gejolak sebagai ekses-ekses revolusi. Ada pemberontakkan APRA, ada RMS, ada pemberontakkan Andi Abdul Aziz, ada pemberontakkan Batalion-426, ada DI/TII, dan kemudian perang saudara, PRRI dan Permesta. Dalam kondisi yang demikian, tentu saja pembangunan dalam bidang ekonomi kurang memperoleh fokus, karena yang menjadi pusat perhatian utama adalah pembangunan sistem politik dan solidaritas nasional sebagai bangsa (nation and character building).

Walaupun demikian, dari sejak awal para pendiri Republik Indonesia sadar bahwa bagaimanapun juga akhirnya pembangunan ekonomi harus diperhatikan. Tapi, sekali lagi, pembangunan diberi makna seperti telah diuraikan di depan (butir II-A-2). Artinya, yang hendak dibangun adalah sistem ekonomi yang demokratis (istilah Bung Hatta ”demokrasi ekonomi”). Kesadaran ini disertai pula dengan dua kesadaran lainnya, yaitu: (a) dalam konteks “Perang Dingin”, Indonesia harus membebaskan diri dari tarikan-tarikan dari kedua kubu (non-alignment); dan (b) latar belakang sejarah masyarakat Indonesia adalah feodal-agraris.

Dengan berbagai kesadaran itulah, dari sejak awal para pendiri negara ini berpandangan bahwa pembangunan itu harus dilandasi oleh suatu penataan ulang strukrur agraria lebih dulu, karena masalah agraria itu melandasi atau mewadahi hampir semua aspek kehidupan. Itulah sebabnya, ketika RI bahkan belum berumur tiga tahun (dan masih dalam masa revolusi fisik), pemerintah sudah membentuk Panitia Agraria (1948) yang bertugas menjajaki dan mempersiapkan perumusan undang-undang agaria yang baru, untuk menggantikan Undang-Undang Agraria kolonial 1870. Melalui pergantian kepanitiaan sebanyak lima kali beriringan dengan dinamika politik saat itu, maka pada tahun 1960 akhirnya lahirlah Undang-Undang No. 5/1960 yang dikenal sebagai UUPA.

Dalam masa Demokrasi Terpimpin sejak Dekrit 5 Juli 1959 (kembali ke UUD-1945), kondisi politik relatif stabil. Mulailah dicanangkan suatu program pembangunan secara terencana delapan tahunan, yang waktu itu dikenal dengan istilah “Poembangunan Nasional Semesta Bersama”, dan dibentuklah lembaga pusat yang bertugas menangani hal ini, yaitu Dewan Perancang Nasional (DEPERNAS, yang dikemudian hari sejak lahirnya Orde Baru diubah menjadi BAPPENAS).

Sekalipun oleh sementara kalangan masa Demokrasi Terpimpin itu dianggap sebagai masa pemerintahan otoriter, namun visi, misi dan arah kebijakannya jelas, berciri populistik! Berusaha untuk tidak tergantung dari hutang luar negeri, tidak tergantung dari modal asing. Slogan yang terkenal saat itu adalah “berdaulat dalam politik”, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”. Di samping itu, di bidang politik, saat itu masih terdapat sepuluh partai politik yang berwibawa, sehingga presiden tidak dapat begitu saja “semau gue”! Bahwa peran presiden saat itu menjadi sangat dominan, hal itu semata-mata karena kharisma pribadi Bung Karno. Demikian juga, meksipun saat itu korupsi juga ada, tetapi tidak sedasyat korupsi semasa Orde Baru.

Dalam konteks Perang Dingin, upaya negara-negara Dunia Ketiga yang ingin netral dengan melahirkan “Gerakan Non-Blok” oleh Barat dianggap sebagai “halangan” bagi kepentingan mereka. Operasi-operasi terselubung dilakukan untuk menggulingkan pemerintahan-pemerintahan di negara-negara yang bersikap non-blok dengan tuduhan “cenderung ke kiri”. Termasuk Indonesia. Tergulinglah pemerintahan Soekarno.

Kebijakan Pembangunan selama Orde Baru

Kebijakan umum Orde Baru bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan pemerintahan sebelumnya. Disengaja atau tidak, disadari atau tidak, Indonesia sedikit demi sedikit semakin tidak “non-blok” lagi, tapi menjadi “nge-blok” ke Barat.

Pembaruan agraria melalui UUPA-1960 dan UU No. 56 tahun 1960, yang sedianya akan dijadikan landasan pembangunan, tidak digubris lagi. Kedua UU tersebut dimasukkan kotak—untuk selama kurang lebih 11 tahun sebelum akhirnya dikukuhkan kembali tahun 1978. Indonesia mulai mengambil kebijakan politik yang bersifat bukan saja “pintu terbuka” tetapi bahkan “rumah terbuka”. (Tidak hanya tiap departemen, bahkan hambir tiap ditjen ada konsultan dari mancanagara, dari berbagai bangsa). Pembangunan jangka panjang 25 tahun dengan tahapan lima tahunan (Repelita) dirancang dengan mengadopsi paradigma “modernisasi”.

Dalam konteks global, “modernisasi” mencakup empat proses: (a) penanaman modal untuk meningkatkan produksi dan produktivitas; (b) alih teknologi; (c) munculnya organisasi-organisasi berskala besar baik di bidang politik maupun ekonomi; dan (d) proses urbanisasi (Cf. Shepherd, 1998:16—17). Dalam praktiknya, ciri yang segera menonjol adalah bahwa “pertumbuhan ekonomi” adalah segala-galanya.

Berapapun harganya, semua dana dan daya dikerahkan untuk itu, tidak peduli hasil pertumbuhan itu untuk siapa. Salah satu “harga” yang harus dibayar (oleh Barat) adalah bahwa pemerintahan yang otoriter pun harus ditolerir demi stabilitas, karena stabilitas merupakan sarana utama bagi pertumbuhan ekonomi, dan bagi penanaman modal. Tapi toleransi itu sebatas sejauh pemerintah negera yang bersangkutan “tunduk” kepada kepentingan penanam modal. Dalam praktik, teknologi yang dialihkan dari “negara maju” ke negara-negara “terbelakang”, ternyata adalah teknologi “bekas” (lihat juga Dube, 1988:32—34). Dengan demikian, negara-negara Dunia Ketiga menjadi tergantung dari NIM (Negara Industri Maju), paling tidak, dalam dua hal yaitu modal asing dan teknologi.

Disengaja atau tidak, Orde Baru telah membawa Indonesia terjebak ke dalam jerat hutang yang sangat mengerikan, karena terhanyut oleh “arus globalisasi”, terutama semenjak runtuhnya Uni-Soviet dan negara-negara sosialis lainnya. Namun sebenarnya, bencana ini sudah dapat diduga sejak awal kelahiran Orde Baru, yaitu ketika lahir Undang-Undang Penanaman Modal Asing, 1967. (Sebenarnya kebijakan mengundang modal asing adalah sesuatu yang sangat ditentang oleh sebagian besar para pendiri republik). Bersama-sama dengan lahirnya UU Pokok Kehutanan dan UU Pokok Pertambangan, tahun 1967 dengan PMA-nya itu merupakan titik awal dari kebijakan pembangunan yang bersifat ekstraktif, menguras kekayaan sumber alam, semata-mata demi “pertumbuhan ekonomi”.

Singkatnya, ciri utama kebijakan pembangunan selama Orde Baru adalah: (a) menggantungkan diri kepada modal asing, hutang luar negeri, dan bantuan asing; (b) bertumpu kepada yang kuat, yang besar (dengan mitos “tetesan ke bawah”); (c) sentralistik dan represif, atas dasar alasan stabilitas; dan (d) masalah agraria disempitkan maknanya menjadi sekadar masalah tanah, dan masalah tanah dikelola untuk memfasilitasi kepentingan modal.

Dengan demikian, pembaruan agraria yang bersiat kerakyatan dianggap tidak relevan. Yang penting produksi pangan meningkat (melalui Revolusi Hijau), hutan bisa dibabat dan dijual kayunya, tambang bisa digali, laut bisa dikuras, dan seterusnya, semuanya demi pertumbuhan ekonomi.

Sejauh mana kebijakan nasional tersebut di atas berdampak terhadap kondisi daerah, atau bagaimana hubunga antara kebijakan makro nasional itu dengan apa yang terjadi di daerah (seperti di Flores ini), tentu memerlukan analisis tersendiri, dan barangkali para aktivis di daerah lebih mampu untuk melakukan hal ini.

Reforma Agraria (RA)

Masalah “reforma agraria” dan “pembangunan” sebenarnya merupakan satu paket permasalahan, apalagi bagi negara-negar yang pada dasarnya bersifat “agraris” seperti Indonesia ini. Artinya, RA itu seharusnya menjadi landasan dasar bagi keseluruhan program pembangunan.

Memang, inti dari RA adalah “penataan kembali” susunan politik pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah serta sumber-sumber agraria lainnya (hutan, tambang, air dan lain-lain) agar tercipta suatu susunan masyarakat yang adil terutama bagi rakyat banyak”. Inilah yan dahulu disebut dengan istilah “landreform”. (Memang intinya adalah “land”, karena tanah itu memang mewadahi semuanya). Tetapi, “land reform”itu perlu disertai dengan program-program pendukung atau infrastruktur yang akan menunjang keberlanjutannya. Jadi, “landreform” plus berbagai penunjangnya itulah yang sekarang disebut dengan istilah Reforma Agraria (bahasa Spanyol). Inilah yang kita maksud dengan “pembaruan agraria”.

Dalam hubungan ini, terutama jika dikaitkan dengan masalah Otonomi Daerah (Otoda), agara RA dapet berlangsung secara demokratis maka seharusnya rakyat setempat sendiri yang menilai kondisi setempat, dan kmudian merencanakan dan melaksanakan pembaruannya. Namun harus diakui, kemampuan rakyat setempat itu mempunyai keterbatasan-keterbatasan. Dengan demikian, bagaimanapun juga peran pusat tidak dapat diabaikan begitu saja. Untuk semuanya ini, diperlukan proses penyadaran, tapi penyadaran yang bersifat partisipatif, sekaligus kritis. Inilah salah satu tugas aktivis yang peduli terhadap nasib rakyat kecil.

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat agar mampu menangani masalah pembaruan agraria, barangkali beberapa butir berikut ini ada gunanya untuk diperhatikan:

(1) Dalam proses penyadaran yang partisipatif ddan kritis itu, perlu pemahaman mengenai bagaimana persepsi masyarakat setempat tentang apa yang dimaksud dengan “keadilan”.

(2) Apakah susunan (struktur) pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah dan sumber-sumber agraria yang ada itu dianggap sudah adil ataukah tidak. Kalau ya, mengapa, kalau tidak, juga apa sebabnya.

(3) Agar dapat membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, masyarakat setempat sendiri perlu melakukan semacam “registrasi” (sekadar pemetaan) mengenai pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Melalui “peta” itulah masyarakat sendiri kemudian menilai, menurut persepsinya, apakah struktur yang ada itu “adil” ataukah tidak.

Seandainya dianggap tidak adil, dan sudah diketahiu akar sebabnya, pembaruan seperti aa yang dikehendaki masyarakat setempat.

Semuanya itu nampaknya sederhana, tapi sebenarnya bukan hal yang mudah untuk melakukannya. “masyarakat” itu terdiri dari bermacam unsur dan lapisan, yang masing-masing tentu mempunyai kepentingan.

Karena itu semua, maka bagaimanapun juga diperlukan pengetahuan atau pemahaman mengenai pembauran agraria dalam pengertian yang bersifat umum dunia. Dengan bekal semuanya itu, masyarakat sendiri kemudian menentukan apa yang harus dilakukan, secara bertanggungjawab.

Penutup

Demikianlah yang dapat saya paparkan dalam kesempatan ini. Hal-hal dasar yang seharusnya memang perlu diketahui, tapi tak sempat untuk dituliskan dalam makalah ini, dapat dibaca dalam tulisan-tulisan GWR yang lain. (Misalnya soal pengertian istilah “agraria”, istilah “reforma agraria”, istilah “reformasi”, istilah “sumberdaya alam”, dan sebagainya.

Bahan Bacaan

Chodak, Simon, 1973. Social Development, New York: Oxford University Press.

Dube, S.C., 1988. Modernization and Development the Search for alternative Paradigm, London and New Jersey: the United Nations University Zed Books Ltd.

Encyclopedia Americana, 1980, Vol 2, hal. 618.

Gunawan Wiradi, 200. Reforma Agraria: Perjalanan yang belum Berakhir, Yogyakarta: Insist, KPA dan Pustaka Pelajar.

Mills, C. Wright, 1977. The Sociological Imagination, Hardmondsworth, Middlesex, England: Pelican Books, Penguin Books, Ltd.

Shepherd, A., 1998. Sustainable Rural Development, London: Mac Millan press Ltd.

Soekarno, 1941 (?), “Menjadi Guru di masa Kebagunan”,dalam Di bawah Bendera Revolusi (1963), Jilid Pertama, hal. 611—627.

[+/-] Selengkapnya...

Mengapa Diperlukan Reforma Agraria

Oleh Gunawan Wiradi

Pengantar

Ini pengantar dari “pengantar”. Sebab, tulisan pendek ini secara keseluruhan memang hanya sekadar pengantar diskusi. Masalah reforma agraria (yang intinya adalah land reform) sudah terlalu sering saya kemukakan, baik melalui tulisan-tulisan yang sudah diterbitkan maupun melalui makalah-makalah yang disampaikan dalam berbagai kesempatan. Hampir dua tahun yang lalu, di LP3ES (PSDAL) saya menyampaikan masalah agraria. Dengan demikian, barangkali akan membosankan jika harus mengulang-ulang hal yang sama walaupun itu penting. Oleh sebab itu, tulisan ini hanya mengandung dua bagian saja, yaitu: pertama, menguraikan secara amat ringkas konsep Reforma Agraria (RA) dan menjelaskan alasan-alasan mengapa RA diperlukan. Kedua, mencoba menjawab pertanyaan pertama.

Mengapa Reforma Agraria

Dalam sejarahnya yang amat panjang, yaitu lebih dari 2500 tahun, gagasan tentang ”pembaruan agraria” tentu saja mengilhami perkembangan, baik dalam konsptualisasinya maupun modal dan programnya. Namun, intinya tetap sama, yaitu ”penataan-ulang struktur pemilikan dan penguasaan sumber agraria demi kesejahteraan masyarakat, khususnya rakyat kecil, petani dan buruh tani” (Cf. Russel King, 1977). Inilah yang biasa disebut land reform.

Sampai akhir abad XIX, kebijakan land reform pada dasarnya lebih merupakan kebijakan sosial-politik daripada kebijakan ekonomi, karena yang dipentingkan adalah keadilan dan pemerataan. Namun kemudian, aspek ekonomi menjadi pertimbangan penting agar hasil land reform itu sustainable. Demikianlah pada tahun 1880, Bulgaria melakukan land reform yang disertai dengan program-program penunjang di bidang ekonomi (King, 1977: ibid). Inilah yang kemudian disebut dengan istilah Agrarian Reform.

Sesudah Perang Dunia Kedua, gagasan tentang Agrarian Reform ini juga menjadi program berbagai negara, bahkan juiga dipromosikan oleh PBB. Namun, istilah Agrarian Reform itu kemudian diperdebatkan, apakah jika maknanya demikian itu tidak berarti sama dengan Agricultural Development? Penggunaan istilah land reform dan agrarian reform lalu menjadi rancu, dan orang lalu lebih banyak menggunakan istilah Adricultural Development yang memang turut dipromosikan oleh mereka yang pada dasarnya anti-reform, sehingga lama-lama, tanpa disadari, gagasan land reform ditinggalkan. Akibatnya, selama 20 tahun terakhir ini, di berbagai negara berkembang timbul gejolak-gejolak sosial karena terhadinya keridakadilan agraria.

Untuk menghindari kerancuan istilah, maka dalam wacana tingkat dunia, sebagian ilmuwan lalu menggunakan istilah dalam bahasa Spanyol, Reforma Agraria. Makna agraria bukanlah hanya sebatas tanah, apalagi hanya sebatas tanah pertanian.

Mengapa perlu Reforma Agraria?

Mengapa diperlukan Reforma Agraria? Ada dua tujuan utama, yaitu: (a) mengusahakan terjadinya transformasi sosial, dan (b) menangani konflik sosial, serta mengurangi peluang konflik di masa depan.

Dalam proses Reforma Agraria, memang akan terjadi juga konflik, dan ini merupakan social cost yang harus dibayar. Tetapi, menurut seorang pakar, biaya sosial ini akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya sosial jika tidak dilakukan Reforma Agraria (lihat Eric Eckholm, 1979).

Kondisi Keagrariaan Kita Dewasa ini dan 2—3 Tahun Mendatang

Untuk dapat mengantisipasi apa yang akan terjadio di masa datang, diperlukan data yang memadai dan analisis yang cermat. Ini bukan hal yang mudah! Apalagi jika dilihat bahwa ketimpangan yang ada sekarang ini sedang diperumit oleh proses ”tarik-ulur” masalah otonomi daerah, oleh kekuatan-kekuatan neo-liberal melalui slogan ”globalisasi”.

Suatu gejala yang sudah sangat dikenal oleh kita semua adalah bahwa Orde baru telah mewariskan ribuan kasus konflik agraria. Berbagai kasus tersebut tidak diselesaikan secara konfrehensif dan integral, sehingga ketika kemudian Orde Baru ”lengser”, maka kasus-kasus konflik itu meledak melalui ”panggung” lain (konflik antaretnik, antaragama, antarkelompok dan lain-lain), walaupun ”inti ceritanya” sebenarnya sama, yaitu ”agraria”.

Jika didasarkan atas data statistik makro, dan dibandingkan antara hasil sensus pertanian tahun 1963, 1973, 1983, dan 1993, ternyata tringkat ketimpangan itu semakin tinggi, terutama dalam hal distribusi penguasaan tanah pertanian rakyat (diukur dengan Index Gini, berturut-turut keempat sensus itu angkanya adalah o,55; 0,52; 0,57; dan 0,59). Dari 1963 ke 1973, ketimpangan itu nampak menurun, disebabkan oleh pelaksanaan land reform di masa sebelum Orde Baru.

Lebih dari 60% dari total produksi pangan nasional Indonesia (khususnya beras), dihasilkan di pulau Jawa, suatu pulau yang luasnya hanya 7% dari luasan seluruh Indonesia. Tetapi, selama Orde Baru, sampai dengan 1995 saja, tercatat sekitar 22 ribu hektar per tahun tahan pertanian di Jawa beralih fungsi. Padahal, secara agronomis, pulau Jawa-lah yang tanahknya paling subur bagi produksi pangan. Barangkali itulah salah satu sebab mengapa kita akhirnya terpaksa mengimpor beras.

Barangkali, bagaimanapun juga, dalam pembangunan itu, alih dungsi lahan pertanian memang tidak bisa dielakkan. Namun, masalahnya adlah alih fungsi itu perlu diatur secara propoprsional dan terencana dengan mempertimbangkan keadilan dalam hal akses rakyat tani terhadap tanah garapannya. Masalah yang lebih krusial lagi adalah kenyataan bahwa alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian itu ternyata sebagian besar justru menjadi objek spekulasi. Artinya, tanah-tanah rakyat yang sudah ”dibebaskan” (digusur) itu ternyata tidak dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya. Sampai dengan tahun 1998, tanah-tanah tersebut yang sudah dialokasikan untuk perumahan, industri, jasa/pariwisata, dan perkebunan, sebagian besar (berturut-turut, 85%; 88%; 86%; 74%) diterlantarkan (lihat majalah Informasi, no. 224, Th. XVIII, 1998). Alasan ”terlantar” itu bisa saja bermacam-macam. Tapi, di balik itu, motifnya adalah spekulasi tanah.

Semua krisis ekonomi yang pernah dialami dunia sumber pokoknya adalah satu, yaitu merajalelanya praktik spekulasi tanah (lihat Fred Harrison, 1983). Mekanismenya dua macam. Tanah didiamkan saja, tunggu harga naik, lalu dijual. Atau, tanah ditaruh sebagai agunan untuk mendapatkan kredit dari bank, tetapi kredit itu tidak dipakai untuk memanfaatkan atau membangun tanah tersebut sesuai dengan peruntukannya, melainkan dipakai untuk usaha lain. Akibatnya, banyak tanah-tanah ”terlantarkan”. Secara agregat nasional implikasinya adalah (a) pengangguran meningkat; dan (b) produktivitas menurun. Inilah, menurut Harrison, yang menjadi sumber krisis.

Kondisi keagrariaan dalam beberapa tahun mendatang saya kira belum banyak berubah, karena seperti telah disinggung di depan, dalam berbagai hal sikap politik pemerintah maupun pihak legislatif masih belum menentu. Di samping itu, perkembangan kondisi agraria ke depan itu juga tergantung dari hasil ”tarik-ulur” mengenai wewenang antara pusat dan daerah dalam kerangka otonomi daerah.

Jika pemerintah mempunya komitmen kuat untuk melakukan RA dan di lain pihak ”globalisasi” dianggap sebagai given, maka otronomi daerah akan menjadi ”pisau bermata dua”. Di satu sisi otonomi daerah bisa menjadi peluang bagi reform by leverage; tetapi di sisi lain, jika pemda-pemda mempunyai persepsi mengenai globalisasi, mengenai RA, dan mengenai otonomi daerah itu sendiri secara keliru, maka yang akan terjadi adalah kekacauan.

Demikianlah secara amat singkat catatan-catatan yang dapat saya sampaikan sebagai ”pengantar”. Mudah-mudahan isinya dapat merangsang diskusi dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Daftar Acuan

Eckholm, Eric, 1979. The Dispossessed of the Earth: Land Reform and Sustainable Development, Worldwatch Paper-30, Worldwatch Institute.
Gunawan Wiradi, 2001. “Memperkuat Posisi Masyarakat dalam Pendayagunaan Sumberdaya Alam”, Makalah dalam Acara Seminar yang Diselenggarakan oleh PSDAL-LP3ES, Jakarta, Oktober 2001.
Harrison, Fred, 1983. The Power in the Land, Landon: Shepherd-Walwyn (Publisher) Ltd.
King, Russell, 1977. Land Reform: A World Survey, Colorado: Westview Press.

[+/-] Selengkapnya...

    Mega Biodeversity On Malalo's Forest

    Mega Biodeversity On Malalo's Forest
    Raflesia Arnoldi

    Alam dan Manusia " Alam Takambang Jadi Guru"

    Alam dan Manusia " Alam Takambang Jadi Guru"
    Hutan Kami... Hutan Adat ....

    LAM & PK Fakultas Hukum Universitas Andalas

    LAM & PK Fakultas Hukum Universitas Andalas
    Dapur Gerakan Hukum Progresif