Nurul Firmansyah

DALAM REFLEKSI-KONTEMPLASI

“TANAH” SEBAGAI IDENTITAS ORANG MINANGKABAU (Suatu Tinjauan dari sudut pandang Sosiologis)




Oleh: Mora dingin


Tanah merupakan suatu benda yang mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam masyarakat adat tak terkecuali di dalam masyarakat adat Minangkabau. Karena tanah merupakan salah satu benda yang tidak akan bisa berubah-ubah bentuknya (mempunyai nilai tetap). Tanah merupakan sumber penghidupan bagi keluarga, tempat tinggal dan sebagainya. Sehingga tak heran lagi bagi kita bahwa tanah mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, dan tak jarang sekali ini menjadi sesuatu hal yang di perebutkan oleh setiap orang.
Di dalam hukum adat, maka antara masyarakat sebagai satu kesatuan dengan tanah yang didudukinya mempunyai hubungan yang erat sekali. Hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat sosiso-religius. Hubungan ini menyebabkan masyarakat memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuhan-tumbuhan yang hidup diatas tanah serta berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu. Hak masyarakat atas tanah ini disebut dengan hak ulayat dan dalam literatur hak ini oleh Van Vollenhoven disebut beschikkingsrecht.
Identitas
Tanah di dalam adat Minangkabau yang mempunyai kedudukan tersendiri. Karena itu dalam tata kehidupan masyarakat hukum adat Minangkabau dikenal bermacam-macam jenis tanah. Ada tanah yang dikuasai oleh kaum, yang dikuasai suku, dan yang dikuasai nagari. Yang dikuasai kaum dinamakan tanah ulayat kaum, yang dikuasai suku disebut tanah ulayat suku, sedangkan yang dikuasai penghulu nagari dikenal dengan tanah ulayat nagari. Tanah ulayat kaum dan ulayat suku biasanya memiliki batas-batas yang jelas serta dimanfaatkan oleh pemiliknya. Berbeda dengan tanah ulayat kaum dan ulayat suku, tanah ulayat nagari pada umumnya belum tergarap atau tanah liar. Tanah liar dapat dikelompokkan menjadi rimbo, biluka dan sasok. Rimbo terkelompok kedalam rimbo tuo, rimbo gadang, rimbo rajo, rimbo nan dalam, rimbo nan lapeh, rimbo aguang, rimbo piatu (Rusli Amran, Sumatera Barat Plakat Panjang, Sinar Harapan, 1981). Setiap anak nagari dari suku manapun boleh mengerjakan tanah ulayat nagari atas sepengetahuan para penghulu, melalui rapat penghulu, yang memiliki otoritas atas tanah ulayat nagari.
Sebagai harta suku, kaum, harta bersama, harta pusaka itu kuat kedudukannya dalam masyarakat Minangkabau karena harta itu hanya boleh diwariskan secara turun menurun, tidak boleh dijualbelikan, apalagi dipindahkan haknya kepada orang di luar kaum atau sukunya. Terhadap harta pusaka (pusaka tinggi), anggota paruik atau jurai, atau kaum, bukanlah yang memiliki harta pusaka itu, mereka hanya mempunyai hak pakai (ganggam nan bauntuak). Dengan demikian, harta pusaka di Minangkabau berada dalam keadaan tetap, warih indak baliah putuih, katurunan buliah punah.
Dari gambaran diatas kelihatan jelas bagi kita kalau tanah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat Minangkabau. Kalau ditinjau dari dari sudut pandang sosiologisnya kedudukan tanah didalam masyarakat Minangkabau merupakan suatu identitas diri karena tanah disini berfungsi sebagai pengikat hubungan baik antara suku maupun kaum sekaligus sebagai bukti asal usul nan bapandam bakuburan , nan basosok bajurami. Dengan adanya tanah sebagai pengikat hubungan antara suku, kaum maka akan tercipta suatu interaksi sosial yang memperlihatkan akan kuatnya eksistensi masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Dalam hal ini juga Hamka mengatakan bahwa tanah, “Pusako Tinggi” adalah “Tiang Agung Minangkabau” yang dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando. Jarang pusako tinggi menjadi pusako rendah, entah kalau adat tidak berdiri lagi pada suku itu. (Hamka, dalam Naim, 1968:29)
Apa maksud pernyataan Hamka ini? Hal ini perlu dipahami betul. Maksudnya adalah harta pusaka itu ibarat tiang utama bangunan rumah. Apabila tiang rumah itu patah maka rubuh pulalah rumah itu. Demikian pula halnya tanah sebagai pusaka tinggi. Apabila tanah itu sudah dikuasai orang luar, orang Minangkabau tidak menguasai tanah airnya lagi, orang Minangkabau akan tersingkir dari negrinya sendiri. Sebagai contoh dapat diketahui terhadap orang Betawi di Jakarta, mereka tersingkir ke pinggir-pinggir kota. Demikian pula halnya orang Melayu di Singapura Penduduk asli menjadi budak di negerinya sendiri. Hal ini jangan terjadi hendaknya di Minangkabau, Hal ini perlu diantisipasi dengan tindakan nyata, di antaranya memberlakukan hukum adat tentang harta pusaka, khususnya mengenai pertanahan ini.
Era globalisasi
Pada saat sekarang ini yang ditandai dengan zamannya era globalisasi, menimbulkan perubahan-perubahan yang begitu cepat terkadang tanpa disadari dalam semua aspek kehidupan. Sehingga tak jarang perubahan itu membawa dampak yang begitu besar terhadap keberlangsungan peradaban suatu komunitas tertentu. Fenomena ini juga bisa kita rasakan dalam perkembangan masyarakat Minangkabau hari ini. Namun harus sama-sama kita sadari bahwa perubahan itu memang akan selalu terjadi karena masyarakat bersifat dinamis bukan statis. Seperti yang dikatakan beberapa orang sosiolog bahwa ada kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan.
Disini penulis ingin menyampaikan bahwa pada saat ini tanah ulayat suku, kaum, dan nagari yang menggambarkan identitas orang Minangkabau di beberapa nagari sudah tak ditemui lagi hal ini disebabkan karena “pudar” dilanda perkembangan penduduk dan sosial ekonomi. Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan penggunaan tanah semakin tinggi untuk tempat pemukiman, dan begitu juga dengan tuntutan hidup dari segi ekonomi yang semakin hari semakin sulit.. Penulis ingin rasanya mengajak masyarakat Minangkabau untuk lebih mengembangkan aspek budaya yang lain yang menunjukkan identitas diri, menurut hemat penulis kita tidak bisa selamanya terpaku atas keberadaan tanah, karena semakin hari keberadaan tanah semakin menyempit. Harapan penulis semoga identitas diri orang Minangkabau tidak akan hilang seiring dengan perkembangan zaman. Amin***
Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi UNAND dan Staf Program Pembaruan Hukum dan Kebijakan, Qbar

[+/-] Selengkapnya...

Hutan Nagari Atau Hutan Desa



Oleh
Nurul Firmansyah, SH.

Hak ulayat bagi nagari tidak dipandang dari sisi ekonomi belaka, namun merasuk pada relung sosial dan budayanya. Keberadaan hak ulayat menjamin ikatan sosial dan budaya, seperti yang tersirat dalam adigium adat; Sako Pusako, yang bermakna; keutuhan struktur sosial masyarakat nagari berbanding lurus dengan keutuhan hak ulayat. Sikap ini kemudian melahirkan kesadaran kolektif masyarakat nagari, bahwa; hak ulayat harus dimanfaatkan, di kelola dan dipelihara untuk keberlangsungan antar generasi.

Telah jamak dipahami tentang eksistensi hak ulayat merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari nagari. Pendapat ini bukan hanya diusung oleh masyarakat nagari sebagai pemangku hak ulayat, namun juga di pahami oleh pelbagai pihak, termasuk didalamnya, para pengambil kebijakan di tingkat daerah (propinsi Sumatera Barat). Setidaknya, hal ini tersirat dalam Nota penjelasan Gubernur Sumatera Barat pada tanggal 4 February 2003 di hadapan Sidang Paripurna DPRD Sumatera barat dalam proses pembahasan Rancangan Perda Pemanfaatan Tanah Ulayat yang menyebutkan; “Pengaturan tanah ulayat mempunyai keterkaitan yang erat dengan prinsip kembali ke nagari sebagaimana di maksud oleh Peraturan daerah Sumatera Barat No.9 tahun 2000 tentang ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Perda No.9 tahun 2000 merupakan suatu titik tolak yang mendasar untuk dapat mengatur dan mengelola tanah ulayat, karena hidup bernagari mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan tanah ulayat dan adat istiadat.”

Realitas Hutan Nagari.
Realitas hak ulayat dalam wacana publik dan konstruksi adat tidak sebanding dengan kenyataan peminggiran hak ulayat oleh kebijakan pengelolaan sumber daya alam terutama kebijakan kehutanan nasional. UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan memposisikan hak ulayat atas hutan (hutan nagari / hutan adat) terabaikan oleh posisi hutan negara yang kemudian diikuti oleh pengikisan sistem pengelolaan hutan nasional terhadap pola pengelolaan hutan secara adat. Proses peminggiran hutan nagari tersebut berawal dari penunjukan sepihak kawasan hutan oleh pemerintah (Departemen Kehutanan) baik itu pada kawasan konservasi, produksi, maupun lindung, yang berakibat pada putusnya hubungan hukum antara masyarakat nagari dengan hutan nagarinya.

Secara empirik, situasi ini diatas menimbulkan pelbagai dampak yang serius bagi nagari dan juga bagi ekosistem hutan. Dari catatan Perkumpulan Qbar di nagari Guguk Malalo, kabupaten tanah datar, dan Nagari Simanau, Kabupaten Solok, dampak-dampak tersebut mencuat, berupa; pertama, hilangnya kearifan lokal (sistem adat) dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat nagari yang tergantikan dengan pola pengelolaan hutan berbasis negara yang sentralistik dan berorientasi ekonomi belaka, kedua, pemiskinan masyarakat nagari akibat hilangnya sumber ekonomi atas hutan, ketiga, deforestasi akibat hilangnya kontrol masyarakat nagari, terutama para pemangku adat ditingkat nagari atas aktifitas pembalakan kayu.

Menggiring Hutan Desa dalam Hutan Nagari
Seraya bergulirnya waktu, Permenhut No. P 49 / menhut – II / 2008 Tentang Hutan Desa (kemudian disebut P49) terbit pada bulan september tahun ini. Bila di telaah dengan cermat, terlihat bahwa P49 lahir dari realitas sosiol ketidakadilan pengelolaan hutan, terutama ketidakadilan bagi masyarakat desa yang hidup di sekitar/dalam kawasan hutan yang notabene adalah masyarakat adat, atau pada lingkup yang lebih kecil yaitu nagari. Semangat diatas terproyeksi dari klausul menimbang dalam permenhut ini, namun sayangnya, P49 belum tuntas mengacu semangat tersebut dalam konstruksi norma-normanya, karena; P49 belum menyentuh persoalan struktural kehutanan disebabkan P49 hanya membuka ruang bagi desa/nama lain (termasuk Nagari) untuk mendapatkan akses pengelolaan hutan di kawasan hutan (produksi dan lindung), dalam artian membuka akses nagari untuk mengelola hutan negara berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam P 49. Artinya kebijakan ini belum tuntas merubah ketimpangan penguasaan hutan (hutan negara atas hutan adat), dan reduksi-reduksi kearifan lokal dalam watak pengelolaan hutan nasional. Kelemahan itu merupakan konsekuensi logis dari logika perundang-undangan yang hirarkis yang mengacu pada perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu; UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang belum mengakui secara utuh hutan adat.

Terlepas dari kendala-kendala yuridis diatas, tentunya akses yang dibuka oleh P 49 terhadap pengelolaan hutan oleh desa / nagari melahirkan peluang sekaligus tantangan bagi masyarakat nagari untuk mengelola hutan secara adil dan lestari. Adapun tantangan utama yang muncul dari pemberlakukan P 49 yakni; pertama, minimnya peran pemerintah terhadap lembaga desa yang mengelola hutan desa, dimana hanya pada fasilitasi teknis dan manejerial hutan desa, sedangkan dukungan pembiayaan pengelolaan hutan desa diserahkan sendiri oleh lembaga desa. Hal ini memberi peluang bagi pemilik modal untuk memanfaatkan keberadaan hutan desa bagi eksploitasi ekonomi belaka yang menggunakan lembaga desa. Kedua, pengelolaan hutan desa mempunyai jangka waktu tertentu, yaitu 35 tahun, artinya pemerintah dapat mencabut atau memperpanjang keberadaan hutan desa.

Di sisi lain, peluang pengelolaan hutan desa atau hutan nagari di sumatera barat bisa terwujud apabila terdapat kesepahaman multipihak antara nagari dengan pemerintah daerah dan masyarakat sipil. Peluang yang diberikan P 49 harus ditangkap dengan memberikan fasilitasi intens dan serius dari pemerintah daerah dan kekuatan masyarakat sipil lainnya dalam mendorong nagari dalam mengelola hutannya. Dukungan tersebut berupa dukungan terhadap pola kearifan nagari, peningkatan kapasitas, maupun pembiayaan pengelolaan hutan sehingga ekses nagatif maupun peluang kegagalan pengelolaan hutan oleh nagari bisa diminimalisir.



[+/-] Selengkapnya...

    Mega Biodeversity On Malalo's Forest

    Mega Biodeversity On Malalo's Forest
    Raflesia Arnoldi

    Alam dan Manusia " Alam Takambang Jadi Guru"

    Alam dan Manusia " Alam Takambang Jadi Guru"
    Hutan Kami... Hutan Adat ....

    LAM & PK Fakultas Hukum Universitas Andalas

    LAM & PK Fakultas Hukum Universitas Andalas
    Dapur Gerakan Hukum Progresif